Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batu Kalsit
Mata Sikara Lewa masih tak berkedip menatap tajam ke arah Panalung Tikan – menterinya itu, ia ingin jawaban yang memuaskan akan keluar dari bibir pejabatnya itu.
“Katakan, Panalung Tikan!, beri kami jawaban yang memuaskan.” Kata Sikara Lewa.
Panalung Tikan menegakkan posisi duduknya, dan berusaha untuk menghilangkan keraguannya.
“Tetua,” kata Panalung Tikan, “saya sudah berulang kali meneliti beberapa bebatuan yang kita miliki,” ia terhenti sesaat, lalu lanjutnya “salah satu bebatuan yang saya anggap memiliki energi yang cukup baik adalah batuan Kalsit.”
Sikara Lewa mengerutkan dahinya saat mendengar Panalung Tikan menyebut nama batuan itu, sebab ia sudah mengetahui bahwa sudah berapa kali batuan itu diuji coba.
Namun masih saja belum menunjukkan hasil yang diinginkan. Namun kali ini ia sengaja membiarkan Panalung Tikan untuk melanjutkan presentasinya. Ia menunggu penjelasan menterinya itu.
Melihat tatapan Sikara Lewa yang seperti meragukan argumentasinya, Panalung Tikan tak membiarkan Tetua klan itu semakin larut dalam amarahnya, ia segera berdiri dan kemudian mengambil sesuatu dari balik jubahnya.
“Tetua, “ kata Panalung Tikan, “batu yang saya pegang ini adalah awalnya adalah batu Kalsit biasa,” ia melihat batu itu, seperti ingin Tetua melihatnya lebih jelas lagi.
“Namun, Anda bisa lihat sendiri sekarang,” lalu sejurus kemudian tiba-tiba Panalung Tikan melepaskan batu itu, dan seketika batu itu melayang di udara melawan grafitasi.
Mata Sikara Lewa melebar melihat kejadian itu, nampaknya ia mulai nampak tertarik dengan penemuan menterinya itu. Demikian juga semua yang hadir di ruangan itu, mereka nampak kagum dengan kemampuan Panalung Tikan dengan batunya itu.
Panalung Tikan melanjutkan atraksinya, sementara batu Kalsit masih melayang di hadapannya, ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya lagi, itu adalah dedauan Meditrana yang sudah ia haluskan, dan ia masukkan ke dalam sebuah botol yang berukuran kecil. Dibukanya tutup botol itu, dan kemudian dituangkan isinya ke telapak tangan kirinya.
Serbuk daun Meditrana yang berwarna kuning keemasan itu mengeluarkan cahaya yang cukup terang, cukup menyilaukan walau saat itu adalah siang hari. Dan saat serbuk daun itu berada di telapak tangannya, reaksi yang ditunjukkan oleh batu Kalsit tadi cukup mengejutkan semua yang hadir, karena tiba-tiba saja batu Kalsit itu menyerap semua serbuk daun yang berada di telapak tangan Panalung Tikan.
Tidak sampai di situ saja, perlahan setelah menyerap semua serbuk daun itu, batu itu tiba-tiba bergetar hebat, ia memancarkan cahaya yang lebih terang dari cahaya serbuk itu, bahkan lebih kuat.
Batu itu terus bergetar hebat, kemudian ia berputar sangat cepat, semua yang hadir tampak melotot melihat keajaiban itu. Namun pertunjukkan itu barulah sebuah awal, sebab saat melihat batu itu mulai berputar cepat, dengan sigap Panalung Tikan memasukkan botol yang masih berisi serbuk itu, ia dengan cepat memasukkannya kembali ke balik jubahnya, dan setelah itu dengan kedua tangannya ia menangkap batu yang masih bergetar dan berputar itu.
Semua yang hadir dapat melihat dengan jelas, getaran batu itu begitu hebat, tubuh Panalung Tikan seperti tak mampu menahannya, dan ia mulai terangkat ke atas bersama batu itu, semakin tinggi hingga hampir menyentuh langit-langit balairung Bannaruma. Tapi Panalung Tikan tidak melepaskan pegangannya, ia terus sekuat tenanga menahan batu itu agar tidak terlepas. Tubuhnya masih menggantung di langit-langit balairung berpegangan pada batu itu.
Masih dalam posisinya yang melayang di langit-langit balairung, sejurus kemudian Panalung Tikan melepaskan satu tangannya, dan dengan tangan itu ia menyelipkan tangannya seperti hendak mengambil sesuatu di balik jubahnya. Sebuah kain kecil seperti sapu tangan berwarna hitam terlihat ia ambil dari balik jubahnya, dan kemudian dengan sapu tangan itu, ia tutupkan ke batu itu.
Setelah batu itu berhasil dibungkus dengan sapu tangan hitam itu, perlahan getarannya mulai mengendur dan sesaat kemudian batu itu terdiam, dengan gerakan yang tangkas, Panalung Tikan segera memasukkan bungkusan yang berisi batu Kalsit itu ke dalam saku jubahnya, kemudian ia kembali turun ke bawah dengan gerakan yang indah, ia bertumpu dengan satu lututnya saat mendarat di lantai balairung.
Suasana tegang yang terjadi saat Panalung Tikan melayang ke udara itu kembali normal, dengan langkah tegap Panalung Tikan membungkuk memberi hormat kepada Sikara Lewa, kemudian ia kembali ke tempat duduknya semula.
“Tetua!” kata Panalung Tikan, “seperti yang sudah Anda saksikan sendiri, batu ini bereaksi terhadap serbuk daun Meditrana.” Ia menarik napas sejenak. “Dan energinya cukup kuat untuk mengangkat tubuh saya melayang ke udara.”
“Benar, “ jawab Sikara Lewa, “aku sudah menyaksikannya sendiri.” Katanya, “Tapi apa yang dapat kau sampaikan dari atraksi tadi? Apa artinya?” Alis Sikara Lewa mengernyit masih belum bisa menangkap arti dari atraksi yang ditunjukkan oleh Panalung Tikan. “
“Itulah yang saya maksudkan,” Panalung Tikan menaikkan volume suaranya, “reaksi batu Kalsit itu saat mendapat serbuk Meditrana.” Jawabnya.
Namun Sikara Lewa belum sepenuhnya mengerti apa maksud menterinya itu, memang batu itu mampu mengangkat seseorang sampai melayang ke udara, namun ada manfaatnya? Setidaknya begitulah yang ada di benaknya.
“Reaksi?” tanya Sikara Lewa.
“Benar Tetua,” jawab Panalung Tikan, “reaksi yang dihasilkan oleh serbuk itu terhadap batu Kalsit adalah sebuah energi yang kita butuhkan.” Ia berhenti sejenak, “iya, energi itulah yang kita butuhkan sebagai pengganti dari ketergantungan kita terhadap pasokan batang pohon Nadira dari kampung Londata.”
Sikara Lewa terdiam sejenak, ia menatap mata menterinya itu, sepertinya kali ini lumayan juga jawaban yang diberikannya. Ia nampak menganggukkan kepalanya sedikit, seperti akan mengiyakan penjelasan itu namun masih ada pertanyaan yang masih ingin ia sampaikan.
“Pengganti pohon Nadira ya?” guman Sikara Lewa, namun nadanya suaranya cukup keras.
“Betul Tetua!” jawab Panalung Tikan mantap. Dan ia bersiap dengan jawaban selanjutnya.
“Jika batu Kalsit itu mampu menghasilkan energi yang seperti itu, ketergantungan kita terhadap pasokan batang Nadira bisa diatasi, Tetua.” Kata Panalung Tikan memberi penekanan. Tapi ia ragu untuk melengkapi penjelasan itu, matanya terlihat jelas menunjukkan bahwa sebenarnya masalahnya belum benar-benar selesai.
Dengan keluasan pengetahuan yang dimilikinya sebagai tetua klan, Sikara Lewa dapat langung menangkap keraguan dari mata menterinya itu.
“Lalu, bagaimana dengan serbuk Meditrana itu?” Tanya Sikara Lewa mengejutkan Panalung Tikan, walaupun ia sudah menduga bahwa Tetua akan menanyakan hal itu, namun nampaknya ia belum siap dengan jawabannya.
Dengan agak gugup, Panalung Tikan mencoba menjawab pertanyaan itu. “Benar Tetua, reaksi batu Kalsit itu terjadi berkat serbuk Meditrana.” Jawabnya sambil kembali menundukkan kepalanya. Inilah masalahnya, daun Meditrana itu haru didatangkan juga dari kampung Londata, dan berarti belum sepenuhnya menyelesaikan permasalahan.
Sikara Lewa tak dapat menyembunyikan kegeramannya mendengar jawaban Panalung Tikan. Ia membentaknya dengan suara keras.
“Daun Meditrana katamu!” kata Sikara Lewa dengan mata melotot ke arah Panalung Tikan. “Wah .. wah... sungguh jawaban yang cerdas Panalung,” ia semakin murka, “apa kau anggap pertemuan ini hanya sebuah lelucon untuk melihat pertunjukkan konyolmu itu!” bentaknya.
Panalung Tikan semakin panik, dan sebelum kemarahan Sikara Lewa memuncak, ia buru-buru memberikan jawaban.
“Be...begini Tetua, ma..maksud saya, saya sudah mempunyai kesimpulan.” Jawab Panalung Tikan.
“Kesimpulan?” kata Sikara Lewa, napasnya masih terlihat naik turun menahan amarah, “Kesimpulan apa!”
Panalung Tikan mencoba menenangkan amarah tetuanya itu.
“Maksud saya adalah,” ia menarik napasnya agar suaranya tidak parau, “ setelah saya pelajari , semua energi yang dihasilkan oleh daun itu, dan ini juga termasuk batang pohon Nadira, mempunyai pola yang sama Tetua.” Pungkasnya.
“Pola yang sama?” tanya Sikara Lewa.
“Iya, Tetua,” Panalung Tikan terhenti sejenak. “Yang saya maksud adalah pola dari semua energi itu sama, yaitu berasal dari pancaran energi Tana’ Bulan.” Jawabnya.
Mendengar jawaban dari menterinya itu, bukannya semakin reda amarahnya, Sikara Lewa malah nampak semakin marah mendengar penjelasan yang semakin sulit dimengerti arahnya itu.
“Tana’ Bulan? .... Hmm... teka-teki apalagi ini? Panalung?” gertak Sikara Lewa.
“Maaf Tetua,” Panalung Tikan menghela napasnya sejenak. “ bukankah akhir-akhir ini ada rumor yang mengatakan bahwa ada makhluk asing yang tersesat di kampung itu?” jawab Panalung Tikan yang malah seperti membuat pertanyaan lainnya yang lebih rumit.
“Sudah-sudah,...! “ Sikara Lewa semakin tak sabar, ia kembali melotot menatap tajam mata menterinya itu.
“Jika sampai akhir bulan ini, kamu belum bisa menunjukkan perkembangan yang signifikan,” Sikara Lewa menarik napasnya, “maka bersiap sajalah untuk resikonya.”
“Ba .. baik Tetua.” Jawab Panalung Tikan singkat.
Dalam hati ia ingin menjelaskan maksud ucapannya tadi, namun melihat reaksi tetuanya seperti itu, ia mengurungkan niatnya.
Dan ancaman dari Sikara Lewa bukanlah isapan jempol belaka, ia tahu betul hal itu, karenanya otaknya semakin panas memikirkan nasibnya.
Jika dalam waktu satu bulan ia belum juga dapat menunjukkan perkembangan yang memuaskan, maka .... ia tak sanggup membayangkan resiko itu.