Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Foto
"Pa, hari ini aku ulang tahun, lho. Mana ucapan ulang tahun buat aku?"
"Kamu sudah besar. Nggak penting ucapan ulang tahun segala. Jangan terlalu berlebihan."
"Tapi adikku dirayain. Kenapa aku enggak?"
"Dia ya dia. Kamu ya kamu. Jangan memperbesar masalah sepele. Papa tidak suka kamu begini."
Kilasan percakapan dirinya dan sang ayah beberapa tahun silam berputar di kepala. Saat itu Syailendra masih kecil, masih terlalu dini untuk memahami semuanya. Dari tahun ke tahun, ia selalu menunggu keluarganya mengucapkan selamat ulang tahun. Nyatanya, makin meningkat umur, ia jadi tahu arti dirinya di keluarga itu. Sampai akhirnya Syailendra terbiasa tidak menerima ucapan ulang tahun dari siapa pun. Ia mulai menganggap hari kelahiran bukanlah hal yang terlalu penting untuk dirayakan. Walau tak dipungkiri tiap hari ulang tahun datang ia merasa sakit. Oleh karena itulah Syailendra melupakan hari ulang tahunnya.
Dan hari ini, setelah 17 tahun hidup di bumi, Syailendra akhirnya mendapat ucapan selamat ulang tahun untuk pertama kalinya. Mungkin ini biasa bagi semua orang. Tapi bagi anak semenyedihkan dirinya, hal itu sangat berarti.
"Happy birthday! Sekali lagi makasih udah lahir ke bumi!" sorak Ratu heboh. Tiap kata dalam kalimatnya seolah menunjukkan betapa berharganya Syailendra. Betapa penting arti nyawanya bagi orang lain.
Lama Syailendra terdiam, hingga membuat Ratu bingung karena ucapannya tidak digubris.
"Hei, kenapa bengong? Aku benar kan? Kamu hari ini ulang tahun kan? Jangan bilang tanggal di kartu pelajar ini salah?" Ratu cemberut.
Syailendra menggeleng, menyembunyikan luka di baik wajah tenangnya. "Nggak salah. Ini benar hari ulang tahunku."
Senyum Ratu kembali. Gadis itu mengusap puncak kepala Syailendra dengan berani. Hal itu membuat Syailendra menoleh gugup.
"Janji sehabis ini kamu bakal lebih percaya diri. Okay?"
Syailendra menatap wajah cantik Ratu lekat-lekat.
"Fighting! Kamu harus jadi peserta utama bareng kita. Kamu harus ikut di perlombaan. Aku kepengen berjuang sama kamu. Please, please, please! Kamu layak, Syai. Percaya sama aku!"
Ratu mengoceh tanpa henti. Bibirnya mengerucut lucu. Seperti kucing yang tengah misuh-misuh di mata Syailendra.
"Kenapa ... kamu percaya aku ini mampu? Banyak yang lebih dari aku."
Ratu mengulur senyum manis. "Karena kamu memang pantas. Kamu layak."
Kata-kata itu mampu membuat dada Syailendra bergetar. Seolah ada semangat yang menyirami gersang hidupnya. Ia merasa terdorong untuk membuktikan diri bahwa dirinya memang layak. Setidaknya, kalau bukan untuk keluarga, ya ia akan membuktikan itu untuknya sendiri.
"Ya. Aku akan coba buktikan kalau aku pantas." Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulut Syailendra.
Ratu tersenyum hangat. Ia ambil tangan Syailendra untuk digenggam. "Jadi, ayo kita berjuang sama-sama. Habis ini kita rayain kamu ya. Kamu harus dirayakan!"
****
Pulang sekolah, Ratu mengajak Syailendra mampir ke sebuah kafe. Kue ulang tahun kecil yang Ratu beli tadi ia letakkan di atas meja. Ada pula lilin angka tujuh belas di atasnya.
"Sweet seventen. Udah 17 aja umur kamu," kekeh Ratu.
Syailendra tersenyum tipis. Tipis sekali hingga Ratu tidak menyadarinya.
"Ayo tiup lilinnya. Make a wish dulu!"
Syailendra agak kaku. Maklum, ini kali pertama baginya. "Iya."
Lalu Syailendra memejamkan mata, mengucapkan doa untuk dirinya sendiri serta permintaan sederhana yang sebenarnya sangat mudah dikabulkan oleh orang tua orang lain.
Aku juga ingin dianggap ada oleh keluargaku sendiri. Terutama Papa....
Dan setelahnya barulah ia meniup lilin bersama semua harapan-harapannya yang diharapkan segera terkabul.
Ratu pun memotongkan kue untuk Syailendra. Ia suapkan pula Syailendra kue tersebut meski awalnya Syailendra malu.
Setelah menyuapi kue, Ratu menaruh kembali piring kertas tersebut. Namun tiba-tiba Syailendra menahan tangannya.
"Kenapa, Syai?"
Syailendra tampak ragu. Diam beberapa detik sebelum akhirnya mengambil piring kue itu, lantas menyuapkan cake tersebut ke mulut Ratu.
"Eh?"
"Suapan pertamaku untuk kamu." Syailendra menunduk malu. Suaranya berubah pelan. "Makasih karena udah peduli sama hari ulang tahunku."
"Ahay! Manisnya!" kekeh Ratu.
"Jangan diledek," gerutu Syailendra.
Ratu terkikik dibuatnya. Happy sekali wajahnya melihat Syailendra malu-malu. Ternyata Syailendra yang kaku itu bisa mengucapkan terima kasih juga ya....
Akhirnya ia menerima suapan dari Syailendra. Mereka saling tatap beberapa detik. Dan akhirnya sama-sama tersipu.
Pertama kali dalam hidupnya Syailendra merasa dadanya berdebar-debar saat berada di dekat perempuan.
Tanpa ia tahu latar belakang perempuan yang dekat dengannya ini.
***
Dua insan berjalan di bawah lembayung senja. Hari ini, Syailendra benar-benar dimanjakan. Full waktu Ratu hanya untuk lelaki itu. Tidak ada gebetan-gebetan Ratu lainnya yang Ratu perbolehkan mengganggu. Khusus hari ini, Ratu milik Syailendra.
"Rumah kamu di mana? Kapan aku diajak main ke sana?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut Ratu sekeluarnya mereka dari mall. Tadinya mereka bermain time zone untuk merefresh pikiran dari soal-soal olimpiade yang memusingkan kepala. Dan tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul 6 sore saja. Ratu mengatakan harus pulang karena jam 7 malam ia ada jadwal les piano.
Lain dengan wajah Ratu yang ceria, Syailendra tampak kaku saat ditanya di mana rumahnya. Lelaki itu berdeham, "kalau mau belajar, ya di luar aja. Jangan di rumahku."
"Lho, kenapa? Aku kan pengen kenal sama Papa Mama kamu."
"Nggak usah. Mereka sibuk."
Ratu tertegun. Ada yang tidak beres dari jawaban Syailendra. Padahal Ratu penasaran ingin tahu siapa orang tua cowok itu. Kata orang-orang, Syailendra sangat tertutup. Belum sekali pun orang tuanya datang ke sekolah walau hanya untuk mengambil rapor.
Ratu jadi berpikir, apa dia malu lihatin rumahnya karena dia hanya lelaki sederhana?
Lelaki sederhana. Pemikiran itu muncul di otak Ratu setelah melihat bagaimana kehidupan Syailendra belakangan ini. Pulang naik bis, beli buku di pasar buku bekas, makan di warung bakso, semua itu cukup menunjukkan latar belakang cowok itu. Namun tidak pernah terpikir oleh Ratu memandang Syailendra dari segi harta. Ia berteman dengan Syailendra apa adanya. Yang terpenting kualitas cowok itu.
Selayaknya tidak mau tahu urusan pribadi orang lain, Ratu pun mengganti topik pembicaraan.
"Yaudah, kalau gitu besok kita belajar bareng ya? Di kafe tadi aja gimana? Bantuin aku kerjain soal matematika. Aku kurang bisa di pelajaran itu."
Syailendra mengangguk. "Iya. Pasti aku bantu."
"Makasih," sahut Ratu, lantas dengan lancang membelai pipi Syailendra.
Belaiannya bagaikan listrik yang menyetrum dengan tegangan tinggi. Jantung Syailendra berdebar tak karuan. Aliran darah dalam tubuhnya memanas. Sungguh, tangan Ratu amat lembut bak sentuhan seorang ibu. Selama ini Syailendra jarang mendapat sentuhan lembut dari wanita. Ia rindu sentuhan tersebut.
"Kamu baik banget. Aku jadi makin nyaman temenan sama kamu," gumam Ratu lembut.
Saat Ratu berniat melepas tangannya, Syailendra pegangi tangan wanita itu. Gantian, kini jantung Ratu yang berdetak tak karuan.
Apalagi saat Syailendra berkata—
"Kamu tahu?" suaranya makin lembut saat menggenggam jemari halus Ratu. "Kamu orang pertama yang rayain ulang tahunku. Makasih, Ratu."
"Lho, selama ini nggak pernah?"
Syailendra diam.
Maka, Ratu peluk tubuh Syailendra erat-erat sambil membelai punggung lelaki itu. Dapat ia rasakan tubuh Syailendra menegang beberapa detik. Tangan lelaki itu terkepal. Sebelum akhirnya terbiasa menerima sentuhan. Ragu-ragu, ia angkat tangannya ke udara, lantas menyentuh punggung Ratu lembut. Ratu tersenyum di balik bahu Syailendra.
"Kamu nggak usah sedih lagi. Okay? Kalau nggak ada yang rayain ulang tahun kamu, aku siap rayainnya setiap tahun."
Perkataan yang mungkin diucapkan oleh Ratu secara asal, namun ucapannya itu dipegang oleh Syailendra. Ia simpan di otaknya, ia catat sebagai memori yang tidak boleh dilupakan.
"Iya. Ayo rayakan bersama," sahut Syailendra pelan.
Tanpa mereka sadari, dua lelaki memakai seragam yang sama seperti mereka melihat dari kejauhan. Mereka duduk di atas motor, baru keluar dari parkiran basemen karena tadi mampir ke mall ini juga.
"Itu Ratu, bukan? Gebetan Galih?"
Teman lelaki itu—yang berada di boncengan—menoleh ke arah mereka. "Oh iya. Lho, bukannya Galih sama dia udah jadian ya? Kok bisa si Ratu peluk-pelukan sama cowok lain?"
"Nggak bener nih. Foto ah, cepuin ke Galih."
Lantas mereka ambil foto tersebut, lalu dikirimkan ke kontak temannya yang bernama Galih. Tak tanggung-tanggung, foto itu mereka kirimkan pula ke ig base sekolah.