Di dunia yang penuh gemerlap kemewahan, Nayla Azzahra, pewaris tunggal keluarga konglomerat, selalu hidup dalam limpahan harta. Apa pun yang ia inginkan bisa didapat hanya dengan satu panggilan. Namun, di balik segala kemudahan itu, Nayla merasa terkurung dalam ekspektasi dan aturan keluarganya.
Di sisi lain, Ardian Pratama hanyalah pemuda biasa yang hidup pas-pasan. Ia bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Baginya, cinta hanyalah dongeng yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga, sebuah insiden konyol yang berujung pada hubungan yang tak pernah mereka bayangkan. Nayla yang terbiasa dengan kemewahan merasa tertarik pada kehidupan sederhana Ardian. Sementara Ardian, yang selalu skeptis terhadap orang kaya, mulai menyadari bahwa Nayla berbeda dari gadis manja lainnya.
dan pada akhirnya mereka saling jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Asila27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bergandeng tangan
---
Di dekat kasir, Ardi masih asyik membaca majalah yang tersedia di ruang tunggu. Ia tidak menyadari bahwa di pojok toko sedang terjadi keributan. Pandangannya tetap tertuju pada halaman majalah, sementara telinganya hanya menangkap suara perdebatan antara Nayla dan iqbal.
Andai saja Ardi mendekat, ia pasti akan terkejut karena perempuan yang sedang berdebat itu ternyata adalah majikannya sendiri, seseorang yang diam-diam telah menarik perhatiannya sejak pertama kali bertemu.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggilnya.
“Mas…”
Ardi tidak merespons.
Panggilan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.
“Mas Ar…”
Ardi akhirnya menoleh dan mendapati Nayla berdiri di depannya bersama Dina. Ia langsung bangkit dari duduknya.
“Iya, Mbak Nay. Udah selesai belanjanya?” tanyanya.
“Gak jadi. Gak ada yang cocok. Kita cari di tempat lain aja,” jawab Nayla santai.
Dina yang digandeng Nayla hanya diam. Di dalam hatinya, Dina masih merasa bersalah karena tidak jujur sejak awal tentang perselingkuhan Iqbal. Padahal, Nayla sama sekali tidak mempermasalahkannya. Nayla sudah benar-benar move on dan tidak peduli lagi dengan pria itu. Namun, Dina belum menyadari hal itu sepenuhnya.
“Mas Ar, ayo kita pindah ke toko lain,” ajak Nayla.
“Baik, Mbak. Mari,” jawab Ardi sopan.
Saat mereka bertiga berjalan keluar dari toko, Dina tetap terdiam. Nayla yang menyadarinya akhirnya bertanya.
“Din, lo mikirin apa sih? Dari tadi diam aja. Lo masih kepikiran kalau Iqbal bakal nuntut lo, ya?” tanyanya dengan nada santai.
Dina mengerutkan kening, bingung dengan respons Nayla. Ia mengira Nayla akan marah karena dirinya telah menyembunyikan fakta tentang pengkhianatan Iqbal.
“Ay… lo gak marah sama gue?” tanya Dina hati-hati.
“Kenapa gue harus marah? Emangnya lo ngapain?” jawab Nayla santai.
“Ya… gue kira lo marah karena gue nyembunyiin soal Iqbal. Sorry ya, Ay. Gue gak bilang karena gue takut lo sedih. Gue gak mau sahabat gue terluka.” Dina menundukkan kepala, merasa bersalah.
Nayla tersenyum. “Santai aja, Din. Gue udah move on. Udah gak ada perasaan buat cowok itu.”
Dina mendengus pelan. “Oh iya, gue lupa. Lo kan udah ada yang baru,” godanya sambil melirik Ardi yang berjalan di belakang mereka.
Nayla hanya tersenyum. Ia tahu persis sahabatnya memang selalu bisa membaca isi hatinya.
Dina pun mendekat ke Nayla dan berbisik, “Lo masih inget rencana gue?”
Nayla mengernyit bingung. “Rencana apa?”
“Ya ampun, lo pikun banget sih! Lo masih mau dapetin supir lo gak? Jarang loh sekarang ada cowok polos kayak Mas Ardi. Apalagi suaranya merdu. Kalo lo gak mau, gue sikat nih.” Dina terkekeh.
Nayla mendelik. “Emang lo tega?”
“Gak tega sih,” jawab Dina sambil tertawa kecil.
“Ya udah, buruan kasih tahu rencana lo apa,” desak Nayla penasaran.
“Sabarlah, gue pikirin dulu,” jawab Dina dengan santai.
“Halah, gue paling tau otak lo tuh penuh akal licik. Udah gak bisa dirahasiain lagi.” Nayla menyipitkan mata curiga.
Dina hanya terkekeh. “Yang penting nanti lo ikutin rencana gue. Sekarang kita cari toko lain dulu. Gara-gara ketemu cowok brengsek tadi, gue jadi males belanja di sana.”
“Gimana kalau kita ke butik temen gue aja?” tawar Nayla.
“Oke. Tapi sebelum ke sana, mending cari minum dulu. Kasihan tuh supir lo. Nanti kalo dia haus terus lo gak kasih minum, dia bisa ngundurin diri. Terus lo bakal nangis tujuh hari tujuh malam.” Dina terkekeh menggoda.
Nayla mendengus. “Lo kalau ngomong, sopan dikit, Din. Panggil Mas Ar kek, jangan supir terus. Lagian, kita lebih tua dari Mas Ar, gak sopan ngomong gitu.”
“Cieee, yang gak terima pujaan hatinya diremehin,” ledek Dina sambil mencubit hidung Nayla.
Ardi yang melihat tingkah Nayla dan Dina hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba Nayla berhenti berjalan.
Ardi yang berjalan di belakangnya dengan kepala menunduk tidak menyadari dan langsung menabraknya.
“Aduh!” Nayla terkejut.
Saat menoleh dan melihat siapa yang menabraknya, wajah Nayla langsung memerah. Ia jadi teringat pertemuan pertama mereka, yang juga diawali dengan insiden tabrakan.
“Mas Ar, kenapa sih hobi banget nabrak aku?” protes Nayla pura-pura kesal. “Aku kan jalan di depan, kok masih ketabrak aja?”
Ardi menggaruk kepalanya. “Maaf, Mbak. Gak sengaja. Mbak Nayla tadi berhenti mendadak, saya gak lihat.”
Nayla mendengus. “Iya, lain kali hati-hati biar gak nabrak terus.”
Ardi tersenyum kecil. “Kalau gitu, biar saya gak nabrak Mbak Nayla lagi, saya gandeng tangan Mbak aja, ya?” katanya bercanda.
Nayla terkejut dan langsung menundukkan kepala, wajahnya semakin merah.
Dina yang melihat interaksi mereka langsung menarik tangan Nayla dan menyodorkannya ke Ardi. “Udah, Mas, gandeng aja sekalian. Daripada ketabrak terus, mending ditembak aja,” godanya.
Nayla makin malu. Sedangkan Ardi hanya bisa tersenyum canggung.
“Emang boleh saya gandeng Mbak Nayla? Nanti apa kata orang? Supir kok gandeng tangan majikannya?” tanya Ardi ragu.
Dina mengangkat bahu. “Ya gak apa-apa lah. Kan yang digandeng juga gak masalah.”
Ardi terdiam.
Dina yang gemas akhirnya langsung mengaitkan tangan Nayla ke lengan Ardi.
Nayla makin malu, tapi di dalam hatinya ia tak bisa menyangkal ada perasaan hangat yang menjalar. Ini pertama kalinya ia begitu dekat dengan Ardi, dan entah kenapa, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.