NovelToon NovelToon
Karyawanku Bahagia, Aku Menguasai Dunia

Karyawanku Bahagia, Aku Menguasai Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Anak Lelaki/Pria Miskin / Slice of Life / Menjadi Pengusaha
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Sukma Firmansyah

"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11: Koper Usang dan Kunci Penthouse

Rian memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper kain yang retsletingnya sudah macet.

Tidak banyak barang yang ia miliki. Hanya beberapa potong kaos, satu kemeja lusuh (yang dulu ia pakai melamar kerja), ijazah, dan foto usang kedua orang tuanya. Sisanya—kasur busa yang kempes, lemari plastik yang pintunya copot, dan ember bolong—ia tinggalkan begitu saja.

Ia menatap sekeliling kamar kos ukuran 3x3 meter itu. Dindingnya penuh jamur, atapnya ada bekas bocor kecokelatan yang membentuk peta abstrak. Tempat ini adalah saksi bisu tiga tahun penderitaannya di Jakarta. Saksi saat ia menangis kelaparan, saat ia sakit sendirian tanpa obat, dan saat ia berdoa minta keajaiban.

"Terima kasih sudah menampung gue," gumam Rian pelan, menepuk dinding lembap itu. "Tapi gue nggak bakal kangen sama lu."

TOK! TOK! TOK!

Pintu diketuk dengan tidak sabaran. Rian sudah hafal ketukan ini. Itu suara Ibu Kost, Bu Dedeh. Wanita paruh baya yang punya hobi menagih uang kebersihan di tanggal tua sambil nyinyir.

Rian membuka pintu.

Benar saja. Bu Dedeh berdiri di sana dengan daster batik dan roll rambut, tangannya berkacak pinggang. Tatapannya langsung menyapu koper di samping kaki Rian.

"Lho? Mau kemana kamu, Yan? Mau kabur ya?" tuduh Bu Dedeh nyaring, membuat tetangga kamar sebelah mengintip. "Uang air bulan ini belum lunas lho! Jangan mentang-mentang kamu sering nunggak terus main srendet pergi aja!"

Rian menghela napas. Padahal tagihan air cuma 20 ribu per bulan.

"Saya mau pindah, Bu. Bukan kabur," jawab Rian tenang.

Bu Dedeh mendengus meremehkan. "Pindah kemana? Kolong jembatan? Atau numpang di masjid? Halah, gaya banget pake koper segala. Paling isinya baju rombeng."

Rian tersenyum tipis. Dulu, kata-kata seperti ini akan membuatnya sakit hati seharian. Sekarang? Rasanya seperti mendengar gonggongan anjing chihuahua. Tidak berarti apa-apa.

"Saya pindah ke apartemen di Jakarta Pusat, Bu. Lebih dekat sama tempat kerja baru," jawab Rian sopan.

"Hah! Apartemen? Mimpi di siang bolong!" Bu Dedeh tertawa cempreng. "Kerja serabutan aja belagu. Paling juga ngekos di gang senggol lagi kan? Udah lah, bayar dulu sini 50 ribu! Itung-itung ganti rugi kamu sering telat bayar!"

Tiba-tiba, suara mesin mobil halus terdengar berhenti tepat di depan pagar rumah kos yang sempit itu.

Warga sekitar yang sedang nongkrong mendadak heboh.

"Wuih! Mobil siapa tuh? Alphard hitam mengkilap!"

"Gila, platnya cantik banget. Tamu siapa nih?"

Pintu mobil mewah itu terbuka otomatis (sliding door). Keluarlah seorang pria tegap berseragam safari hitam rapi, berkacamata hitam, dan memakai earpiece di telinga. Itu Pak Teguh. Auranya yang sekarang 100% berbeda dari Pak Teguh si tukang sansak pasar malam. Ia terlihat seperti pengawal pejabat tinggi.

Bu Dedeh melongo. Mulutnya terbuka lebar sampai lalat bisa masuk.

Pak Teguh berjalan tegap memasuki halaman kos, membelah kerumunan warga yang minggir dengan segan. Ia berhenti tepat di depan Rian, lalu membungkuk hormat sedikit—gestur yang sopan namun tegas.

"Selamat siang, Pak Bos," suara bariton Pak Teguh terdengar jelas. "Semua sudah siap? Unit di Sudirman Park sudah selesai dibersihkan. Kuncinya sudah saya pegang."

Rian mengangguk. "Siap, Pak Teguh. Tolong bawakan koper saya ya."

"Siap, Bos."

Pak Teguh mengangkat koper butut Rian seolah itu berisi emas batangan.

Rian menoleh kembali ke Bu Dedeh yang kini pucat pasi. Wanita itu memandang Rian, lalu ke mobil Alphard, lalu ke Pak Teguh, lalu kembali ke Rian. Otaknya error mencoba memproses situasi.

"I-itu... mobil kamu, Yan?" tanya Bu Dedeh gagap. "Kamu... kamu kerja apa sekarang? Ngepet?"

Rian tertawa kecil. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet kulit (yang baru ia beli di pasar kemarin). Ia menarik dua lembar uang merah.

"Bu, ini 200 ribu. Buat bayar air 20 ribu, sisanya buat traktir Ibu beli bakso. Anggap aja kenang-kenangan dari penghuni kamar paling miskin ini."

Rian menyelipkan uang itu ke tangan Bu Dedeh yang kaku.

"Permisi, Bu. Assalamualaikum."

Rian melangkah santai menuju mobil. Pak Teguh membukakan pintu untuknya, melindunginya dari panas matahari dengan tangannya. Begitu Rian masuk ke kabin mobil yang dingin dan wangi kulit premium, ia merasakan perbedaannya.

Kursi empuk, AC dingin, kedap suara.

Dunia di luar sana—gang sempit, bau got, tatapan iri tetangga, dan mulut nyinyir Bu Dedeh—seakan menjadi film bisu yang tidak relevan lagi.

Mobil melaju pelan meninggalkan gang itu.

Di dalam mobil, Pak Teguh melirik lewat spion tengah.

"Puas, Bos?"

Rian menyandarkan kepalanya. "Lumayan, Pak. Tapi jangan sering-sering ya. Nanti saya jadi sombong."

Pak Teguh tertawa. "Sesekali perlu, Bos. Biar orang tahu, berlian itu kalau ditaruh di lumpur tetap berlian."

Satu jam kemudian.

Mobil berhenti di lobi sebuah apartemen mewah di pusat kota. Rian turun, disambut hormat oleh satpam gedung (yang juga memberi hormat ekstra pada Pak Teguh karena sesama orang keamanan).

Unit Rian ada di lantai 25. Bukan Penthouse paling atas yang harganya ratusan miliar, tapi tipe 3 Bedroom yang sangat luas dengan pemandangan city light Jakarta. Rian menyewanya langsung setahun penuh seharga 300 juta. Receh bagi saldonya yang masih 99 Miliar sekian.

Rian membuka pintu unit barunya.

Lantai marmer dingin. Sofa kulit Italia. Jendela kaca raksasa (floor-to-ceiling) yang menampilkan hutan beton Jakarta. Dapur bersih yang lengkap.

Rian meletakkan koper bututnya di tengah ruang tamu yang mewah itu. Kontrasnya sangat mencolok. Koper itu adalah masa lalu. Ruangan ini adalah masa depan.

Ia berjalan ke arah jendela, menatap jalanan macet di bawah sana yang terlihat seperti semut.

"Sistem," panggil Rian.

[Ya, Host?]

"Gue punya rumah, punya bisnis, punya tim. Apa selanjutnya?"

[Saran Sistem: Tingkatkan kualitas personal Host. Penampilan Anda saat ini tidak mencerminkan status Anda. Orang kaya dinilai dari detail kecil: Jam tangan, sepatu, dan teknologi yang mereka bawa.]

Rian melihat pantulan dirinya di kaca. Kaos oblong yang lehernya mulai melar, celana jeans yang warnanya pudar, dan sandal jepit gunung.

Benar juga. Kalau dia mau ketemu investor atau orang penting nanti, dia nggak bisa pakai baju gembel begini.

"Oke," Rian tersenyum. "Besok kita belanja. Kali ini, gue nggak bakal liat price tag."

Rian merebahkan dirinya di sofa empuk itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidur tanpa takut atap bocor menetes ke wajahnya.

1
Purbalingga Jos
jangan kelamaan thor
Sukma Firmansyah: adohhhh, kopinya mana kopinyaaaa
biar author semangat wkwkwkkww
total 1 replies
Paulina al-fathir
wiiihh ceritamu memang the best lah 👏👏👏🤩🤩👍👍
Purbalingga Jos
jangan kelamaan dong
Sukma Firmansyah: baik diusahakan
total 1 replies
Paulina al-fathir
bagus banget ceritanya 😍😍smpi deg2an bacanya.mantap 👍💪
Denn King
gasss thorrr
Purbalingga Jos
lanjuuut donk
Travel Diaryska
mantull
Travel Diaryska
ini ceritanya bagus banget, tolong dilanjutin sampe tamat ya thorr🙏✨
Sukma Firmansyah: terimakasih atas support nya, jangan lupa like dan vote
agar author tetap semangat
total 1 replies
DREAMS
ini dilanjutkan atau sampai sini aja?
Sukma Firmansyah: baik
dibantu like/upvote
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!