Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SATU
Kamar Suite yang seharusnya menjadi saksi bisu kemesraan pengantin baru Kinara dan Gala, kini malah terasa seperti medan perang tak berdarah. Langit Bali yang mendung menambah suasana suram, seolah-olah alam pun turut berduka atas ketegangan yang terjadi di antara keduanya.
Di tengah kamar yang mewah, terlihat jelas pembatas yang tak biasa; sebuah barisan bantal guling yang mengular memisahkan satu sisi ranjang ke sisi lain. Nara, dengan rambut tergerai dan mata yang tajam, menunjuk ke arah pembatas dengan sikap defensif.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Gala dengan heran."Membuat jarak aman. Tak masalah kita tidur satu ranjang, tapi harus Prof ingat, jangan pernah melewati garis pembatas jika tak ingin kupatahkan tangan Prof," ucap Nara dengan nada penuh ancaman, menambah ketegangan di udara yang sudah cukup pekat.
Di sisi lain, Gala hanya bisa tersenyum, melihat tingkah istrinya yang kekanak kanakan, Gala bukannya marah, pria berahang tegas itu malah geleng kepala, melihat tingkah laku istrinya yang seolah masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka kini adalah suami istri.
"Kita itu sudah menikah, Dek," sahut Gala dengan suara yang berusaha menenangkan, namun tetap terkekeh dalam ketidakpercayaan.
Deru angin yang sesekali menghempas jendela, seakan-akan menerjemahkan kekacauan yang terjadi di dalam hati mereka berdua. Di luar sana, hujan mungkin akan segera turun.
"Uup....Kita memang sudah terikat dalam janji pernikahan, namun harus Prof ingat, kita sudah sepakat tidak akan ada sentuhan fisik kecuali dalam keadaan darurat. Saya harap Prof tidak melanggar kesepakatan itu," ucap Nara dengan tegas, menatap dalam ke mata sang profesor.
"Mengingat? Tentu, Nara,Mas akan selalu ingat" Gala menjawab, suaranya rendah, menyembunyikan rasa frustasi. Dia menekankan nama Nara dengan sedikit penekanan, memberi sinyal bahwa dia mematuhi permintaannya.
"O ya, satu lagi, tolong jangan panggil aku 'Dik.' Namaku Nara, dan aku juga tak akan memanggil Prof 'Mas.' Itu terdengar terlalu... menggelikan," Nara melanjutkan, wajahnya merona sedikit karena ketidaknyamanan.
Gala hanya menarik napas panjang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia melemparkan diri ke atas ranjang, menenggelamkan frustrasinya dalam kesunyian, mengabaikan setiap bisikan ketidakpuasan dari Nara. Dinding di antara mereka, baik secara harfiah maupun figuratif, kian menguat, menciptakan jarak yang tak terjembatani di antara dua hati yang semakin asing.
Gala terlelap dengan damai, tidak menyadari hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara itu, Nara bergelut dengan ketakutan yang menggulung tubuh dan pikirannya.
Suara hujan dan gemuruh guntur seperti membangkitkan kenangan yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Tubuhnya gemetar hebat, jantungnya berdentum tanpa kendali, seolah mencibir kelemahan Nara sendiri.
"Tenang, Nara. Ini hanya hujan," ia mencoba membujuk dirinya sendiri, tetapi suara guntur yang keras menghancurkan tekad itu dalam sekejap. Nara tidak kuat lagi. Rasa takut itu seperti belenggu yang mencengkeramnya erat-erat.
Tanpa pikir panjang, Nara akhirnya menyurukkan wajah ayunya ke dada Gala. Wangi khas tubuh pak dosennya membawa sedikit rasa aman, namun tetap saja tubuh Nara tidak mau berhenti bergetar.
Gala tergugah oleh gerakan Nara. Gala bangkit dengan mata yang masih dipenuhi kantuk, lalu menatap Nara kaget.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara berat yang separuh sadar.
Nara saat itu hanya mampu berbisik dengan napas terputus-putus.
"Aa aku..." merasa malu akhirnya Nara menarik dirinya dari perlindungan Gala. Namun maru saja bergerak menjauh, Gala dengan cepat menarik kembali tubuh sang istri.
Sekilas Nara melihat mata pak dosennya yang begitu teduh.Gala pun segera duduk, menarik tubuh Nara lebih dekat ke pelukannya.
"Tenanglah, Mas di sini," bisiknya dengan lembut. Dalam pelukan itu, tak dipungkiri jika Nara selalu merasa aman. Namun ada satu hal yang mengusik pikirannya, yaitu Semua peraturan yang Nara tetapkan tentang menjaga jarak, kini menjadi tiada arti. Ketakutan yang membara itu jauh lebih besar dari semua batasan yang ia ciptakan.
Hujan perlahan mereda, meninggalkan jejak sisa-sisa dingin di udara. Nara spontan mendorong tubuh Gala menjauh, mencoba menciptakan jarak antara mereka berdua.
Dengan cepat Nara menarik selimut, menutupi tubuhnya hingga ke kepala.
"Maaf, aku…" suara Nara tercekat, teredam di balik kain tebal yang terasa seperti perlindungan terakhirnya.
Gala, menatap punggung Nara, sambil berucap sekenanya.
"Hmm... bukankah ini termasuk situasi darurat? Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya ingin membantumu menghadapi ketakutanmu tadi, tidak ada maksud lain. Tidurlah." Nara menelan ludah, merasa seperti seorang anak kecil yang baru saja dimarahi papanya.
"Terima kasih, Prof," ucap Nara pelan, nyaris seperti bisikan. Namun, ketika kata-kata itu meluncur, Nara tahu perasaan ini tak sesederhana itu.Nara menghela napas panjang di balik selimut, mencoba menenangkan hati yang gelisah.
Rasa malu mulai menyeruak, menyerangnya dengan kejam. Bukankah Nara yang dengan keras mematok aturan untuk menjaga jarak, demi melindungi diri dan perasaan mereka berdua? Tapi justru Nara sendiri yang melanggarnya.
Bukannya Gala yang mencoba mendekat, tapi Nara… Nara yang secara refleks berlindung dalam dekapan pak dosennya.
"Aahhhh...Kenapa aku jadi begini?" batin Nara, sambil menggigit bibir. Nara menutup mata erat, berharap gelap malam bisa menelan rasa canggung itu.
Nara dan Gala akhirnya menghabiskan waktu bulan madu yang monoton, sungguh mereka hanya tidur seranjang tanpa ada kegiatan intom.
Waktu bulan madu pun telah usai, Gala dan Nara kembali meneruskan kehidupan di Semarang. Keduanya harus kembali menyibukkan diri dengan rutinitas di kampus.
Di hari Senin yang cerah, Nara bergegas turun dari mobil Gala. Mereka memutuskan berangkat lebih pagi, sebelum kampus dipadati penghuninya, atas desakan Nara sendiri. Nara tak ingin ada yang mengetahui hubungan mereka.
Saat Nara hendak menutup pintu mobil, tiba-tiba suara Gala memecah kesunyian dan menghentikan gerak tangannya.
"Ada yang kamu lupa," ucap Gala dengan nada yang penuh arti.
Nara, dengan pandangan yang bingung, segera memeriksa barang bawaannya di dalam tas. "Sepertinya semua barangku sudah lengkap," sahutnya. Gala, dengan senyum tipis di wajahnya, menarik Nara untuk kembali masuk ke dalam mobil.
Dengan gerakan lembut, Gala mengulurkan tangannya yang besar kepada Nara.
"Biasakan berpamitan dan mencium tangan suamimu, kamu melupakan itu?" ucap Gala dengan suara tenang namun mendalam."Kamu harus tahu, bahwa di balik ridha suami ada ridha Allah yang selalu menyertaimu," ucapnya, menyelipkan sebuah kelembutan spiritual yang menuntun Nara untuk mendekat dan memenuhi permintaan tersebut.
Nara menelan ludah, matanya terpaku pada tangan Gala yang terulur di depannya. Dengan hati berkecamuk, Nara menggenggam tangan dosen tersebut, menciumnya perlahan. Namun, seketika peristiwa tak terduga terjadi saat Gala tiba-tiba menarik kepala Nara dan mencium keningnya dengan lembut.
"Belajarlah dengan baik," bisik Gala seraya menatap mata Nara sejenak, kemudian beranjak turun dari mobil. Nara terdiam, merasakan pipinya memanas dan jantungnya berdetak kencang, hampir seperti terhenti. Dia berusaha cepat-cepat turun dan melangkah menjauh dengan hati yang galau.
"Demi apa aku tidak mampu memberontak?" gumam Nara lirih, sambil terus merenungi kejadian itu dan mencela dirinya sendiri yang terlalu pasrah. "Mengapa Prof Gala begitu berani, dan mengapa aku, aku... haaa, sial..." Keluhnya, langkahnya semakin cepat seiring dengan kekacauan perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya.
Sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Sasa muncul dengan senyum jahil yang selalu khas darinya.
"Na, kamu kenapa?" tanyanya, sambil melirik wajah Nara dengan tatapan menyelidik. "Tunggu... ini kenapa pipimu merona? Jangan-jangan, ada sesuatu yang luar biasa terjadi,antara kamu dan....?" lanjutnya dengan nada meledek.
"Apaan sih..." sangkal Nara cepat, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Tapi Sasa tidak berhenti sampai di situ,Sasa terus menggoda Nara,dengan jahil.
"Jangan bohong, Nara," bisiknya sambil mendekatkan wajahnya, seolah takut didengar orang lain. "Aku tahu segalanya. Fakta tentang hubunganmu dan Prof Gala..."
Deg! Rasanya tubuh Nara mendadak kaku, pikirannya membeku sejenak mendengar kalimat itu. Nara memandangi Sasa dengan ekspresi tak percaya.
"Apa maksudnya dia sudah tahu? Dari mana? Sejak kapan? Apa yang Sasa katakan barusan?" tanya Nara dalam hati.
"Heeey...kok bengong, panik ya...?" Sasa terkekeh melihat Nara yang gugup.
"Kamu sudah tahu...? Sejak kapan kamu tahu, Sa?" Namun, nada suaranya seolah tidak bisa menyembunyikan ketegangan kecil bercampur ketakutan yang merayapi hati Nara.