Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Menuju Tingkat 2
Semua sunyi sesaat.
Vivi terengah, namun senyumnya muncul di balik luka-luka kecil di wajah dan lengannya. Maelon berdiri dengan napas berat, matanya masih menyala biru pucat. Mereka tak bicara, hanya saling menatap—sepakat dalam diam bahwa pertarungan ini lebih dari sekadar ujian. Ini adalah pijakan mereka menuju sesuatu yang lebih besar… atau lebih gelap.
Dari tubuh lunatics yang mati, tiga batu inti Doctrina jatuh—masing-masing memancarkan aura khas: kekuatan bumi, emosi, dan logam. Maelon memungutnya perlahan, menyimpannya dalam kantung kulit di pinggangnya, masih hangat oleh sisa energi.
Langit telah berubah menjadi jingga kemerahan, malam menjelang. Mereka kembali menyusuri jalan ke desa, langkah lebih lambat dari sebelumnya, bukan karena letih, tapi karena beratnya makna dari apa yang baru mereka alami.
Daniel berjalan paling belakang, masih tanpa banyak bicara. Tapi dari raut wajahnya, ada pengakuan diam-diam. Mungkin murid-murid ini… memang akan bertahan.
Saat malam menggulung desa dalam sepi, Maelon dan Vivi melangkah pelan kembali ke gubuk reyot yang kini mulai terasa seperti rumah. Di tangan mereka, ada batu-batu yang menyimpan jejak pertempuran. Di dada mereka, ada keberanian yang baru mulai bertunas. Dan di balik semua itu, dunia di atas sana... mulai mengarahkan tatapannya ke arah mereka.
Udara malam itu terasa lebih berat, seakan dunia sendiri menutupkan kelopak matanya untuk perlahan menelan segala yang baru saja terjadi di balik rimbun pohon-pohon gelap. Cahaya bintang mulai menembus awan tipis, menciptakan pantulan lembut di atap-atap kumuh desa pinggiran. Suara serangga malam berdengung rendah, nyaris seperti gumaman rahasia dunia yang tak bisa dipahami manusia.
Daniel mengangguk pendek, tanpa sepatah kata pun, sebelum memisahkan langkah dan berjalan menuju gubuk penjaga. Tubuhnya yang besar membelah udara malam seperti bayangan, diam, namun menyimpan kesiagaan permanen yang tak pernah benar-benar padam. Ia tidak menoleh ke belakang.
Sementara itu, Maelon dan Vivi melangkah menuju gubuk reyot yang mulai mereka kenali sebagai titik pulang—tempat pertemuan antara luka, rasa lapar, dan keheningan. Langkah mereka tak tergesa. Vivi tampak kelelahan, namun tetap menjaga sikap diamnya yang baru-baru ini menjadi kebiasaannya setelah pertarungan. Ada keintiman sunyi yang tumbuh di antara mereka; tidak dibangun oleh kata-kata manis, tapi oleh pertarungan berdarah dan kepercayaan yang hanya bisa lahir dari luka bersama.
Ketika mereka mendorong pintu kayu gubuk itu dan masuk, aroma daging kering dan minyak lampu menyambut mereka. Seperti biasa, Roy sudah menunggu. Duduk tenang di kursinya yang reyot, topeng lamanya masih membungkus wajahnya dengan kesenyapan yang tak bisa ditembus siapa pun. Hanya matanya yang tampak—samar di balik celah—memerhatikan mereka seperti menilai sesuatu yang belum tuntas.
"Bagaimana pertarungan kalian?" tanyanya tanpa intonasi berlebihan. Suaranya seperti bergema dari dalam sumur—tenang, dalam, dan tak memberi ruang untuk menyembunyikan kebenaran.
Maelon tak langsung menjawab. Ia membuka kantong kulit di ikat pinggangnya dan meletakkan keempat batu Doctrina itu di atas meja yang retak dan dipenuhi noda lilin. Batu-batu itu bersinar lemah, masing-masing dengan aura berbeda. Tiga dari mereka berasal dari para lunatics terakhir—dan satu, sisa dari pertarungan sebelumnya. Salah satu di antaranya memancarkan tekanan yang lebih kuat, seperti denyut jantung yang terlalu cepat untuk tubuh manusia biasa. Batu itu adalah milik lunatic pengguna Terraclysm tingkat dua.
Roy diam sejenak. Matanya menajam, menelusuri bentuk batu itu, lalu berpindah menatap Maelon dan Vivi bergantian.
“Ini... tingkat dua,” katanya pelan, seakan menegaskan kenyataan yang sudah mereka sadari. “Kalian masih tingkat satu. Jika kalian menyerap ini tanpa memisahkannya… tubuh kalian akan hancur dari dalam. Jiwa kalian akan pecah, atau lebih buruk, terbakar perlahan menjadi sesuatu yang bukan lagi manusia.”
Maelon menelan ludah, dan Vivi tanpa sadar menggenggam ujung pakaiannya.
“Gunakanlah batu kosong,” lanjut Roy. “Pisahkan kekuatan itu. Biarkan ia terbagi... dan bisa kalian serap perlahan, seperti racun yang dijadikan obat.”
Tanpa bertanya, Maelon merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah batu putih polos—batu kosong Doctrina. Warnanya tak mencolok, namun saat didekatkan ke batu tingkat dua, permukaannya mulai berdenyut pelan seperti spons yang menyadari adanya air di sekitarnya. Roy mengangguk lambat.
“Sentuhkan ujungnya ke batu utama. Biarkan ia menyerap, tapi jangan terburu-buru. Bila kau terlalu cepat... kekuatan itu bisa lepas kendali.”
Maelon melakukannya perlahan. Batu kosong itu tampak menghisap energi dari batu tingkat dua, kilau lembut menyelubungi keduanya, dan dalam beberapa menit, kekuatan itu mulai terpecah. Seperti embun yang membentuk dua tetes dari satu sumber. Suasana menjadi sangat hening saat proses itu berlangsung. Bahkan api lampu minyak pun seperti menahan geraknya.
Akhirnya, proses itu selesai. Batu kosong kini telah berubah warna—memancarkan aura lemah Terraclysm tingkat satu. Cukup aman untuk diserap, namun masih menyimpan karakter buas dari kekuatan aslinya.
Maelon memisahkannya menjadi dua, lalu meletakkan satu batu hasil pemisahan di depan Vivi. Ia tak berkata apa-apa, hanya memberi anggukan pelan. Vivi menerimanya dengan kedua tangan, dan untuk sesaat, mereka saling menatap dalam hening yang penuh makna.
Roy bersandar kembali di kursinya. “Mulai malam ini, kalian menyimpan darah pertarungan dalam batu-batu itu. Jangan pernah menganggapnya benda mati. Itu adalah sisa kehendak seseorang... yang kini menjadi bagian dari kalian.”
Tak ada yang menjawab. Malam terlalu sunyi untuk dibantah.
Lampu dibiarkan menyala redup saat Maelon dan Vivi melangkah ke kamar mereka masing-masing, membawa batu baru dan beban yang tak kalah berat di dada mereka. Dunia di luar sana masih mempersiapkan lebih banyak luka dan rahasia. Tapi malam ini, mereka pulang… dan selamat.
Untuk sementara.
Gubuk itu tenggelam dalam keheningan malam, ditemani hanya oleh suara angin yang mengusap pelan dinding kayu tua dan gelegak kecil dari api minyak di sudut ruangan. Di balik dinding kasar kamarnya, Maelon duduk bersila di atas jerami tipis yang telah mengeras oleh waktu dan keringat. Ia sudah terlalu terbiasa dengan kerasnya alas tidur itu—bahkan lebih nyaman daripada kenyamanan palsu yang pernah dijanjikan oleh dunia di dalam tembok.
Di tangannya, batu doctrina bersinar dengan pancaran lembut, seperti jantung kecil yang memancarkan denyut harapan dan kegilaan dalam satu waktu. Sudah menjadi rutinitas malam—ritus sunyi yang ia lakukan tanpa kata, menyerap satu per satu batu dari mereka yang telah jatuh. Sebuah proses yang lebih dari sekadar kekuatan; ini adalah pewarisan kehendak, kehancuran, dan bisikan.
Saat energi mulai mengalir dari batu itu ke dalam tubuhnya, Maelon merasakan arus halus yang merambat dari ujung jarinya ke sumsum tulang belakang. Namun malam ini, bisikan itu terdengar lebih nyaring. Bukan hanya gema samar... tapi seperti suara yang mencoba merobek tabir pikirannya dari dalam. Lamat-lamat, kenangan yang tak ia miliki muncul di benaknya—kilasan dunia yang bukan miliknya: seseorang yang berdiri di puncak reruntuhan kota yang terbakar, tangan mereka menengadah ke langit yang terbelah, diselimuti cahaya Aetheron yang membutakan.
Nafas Maelon menjadi berat. Ia menutup mata, mencoba menjaga pikirannya dari hancur. Tapi bisikan itu terus menyusup.
“Kau belum cukup dalam… Lapsus berikutnya… menanti...”
Tiba-tiba, tubuhnya seperti ditarik ke dalam pusaran energi. Bukan sakit… tapi tekanan batin, seperti tenggelam dalam kolam hitam di mana pikirannya sendiri menjadi penghalang utama. Ia bisa merasakan dorongan itu. Sebuah dorongan untuk naik. Untuk menembus Lapsus selanjutnya.