Di atas bukit di tengah hutan, lebih kurang lima kilo meter jarak nya dari kampung.Terdengar sayup-sayup untaian suara yang berbunyi melantun kan seperti mantra jika di lihat dari dekat, ternyata dua orang pemuda berumur tujuh belas tahun paling tinggi, dihadapan orang itu tergeletak sebuah foto dan lengkap dengan nasi kuning serta lilin dan kemenyan.
Sesekali mengepul asap kemenyan yang dia bakar dari korek api, untuk mengasapi sebuah benda yang dia genggam di tangan kanan.
Jika di perhatikan dari dekat sebuah benda dari jeruk purut yang telah di keringkan, di lubang dua buah untuk memasukan benang tujuh warna.
Menurut perkataan cerita para orang-orang tua terdahulu, ini yang di namakan Gasing Jeruk Purut, keganasan nya hampir sama dengan gasing tengkorak tapi gasing jeruk purut hanya satu kegunaan nya saja, tidak sama dengan gasing tengkorak,
Gasing tengkorak bisa di gunakan menurut kehendak pemakai nya dan memiliki berbagai mantra pesuruh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MAHLEILI YUYI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Bintang Gilang Gemilang
Dia lalu berdiri, sambil memegang dada nya dengan sebelah tangan, lalu dia berlari ke arah hutan hilir Negeri Kalimuntiang, dengan langkah tertatih-tatih serta mulut nya mengeluarkan darah.
Lalu para warga ingin mengejar nya, namun langkah mereka terhenti, karena larangan Klewang Pandore. Sejak saat itu, masarakat takut melakukan aktivitas, karena takut pada Tuganggo.
Sejak kejadian itu, warga tidak tenang lagi, apa lagi ternak mereka, banyak yang mati, seperti darah nya telah di hisap, kambing, ayam, kerbau dan sapi serta anjing. Setiap bangkai ternak mereka ada luka bekas gigitan manusia di leher nya, hampir semua ternak yang mati, bangkai nya seperti itu, cuma yang dia ambil darah nya saja.
Sejak kejadian itu, masarakat Negeri Kalimuntiang tidak berani pergi lagi sendiri-sendiri, baik ke ladang, ke kebun, atau mencari ikan, pokok nya segala aktivitas ke hutan, Mereka lakukan berkelompok, saat malam di adakan ronda. Bergantian berjaga, setiap malam tetap saja ada ternak yang mati, darah nya habis di hisap, dan juga siang hari. Mereka telah kewalahan menjaga ternak dan menjaga kampung, kejadian itu terus berlanjut hingga delapan bulan.
Dan terakhir kali, tiga orang yang hilang, satu anak- anak berumur tujuh tahun, dan yang dua nya lagi wanita sedang mencari kayu, luka yang sama pada ketiga mayat itu, leher nya di gigit, hingga darah nya mengering.
Karena telah memakan korban manusia, segala pemangku adat mengadakan rapat besar di tanah lapang, di hadiri oleh segala masarakat delapan suku. Semua pemangku adat telah berkumpul, dan mengeluarkan pendapat masing- masing. Mereka menghitung rugi dan laba masalah ini, pada siapa masalah ini akan di pertanggung jawab kan, tidak mungkin ibu nya Tuganggo yang akan bertanggung jawab sendirian.
1). Dari suku Kingkiang Ate, penghulunya bergelar. Tungga Nan Tuo.
Gelar manti nya, Palinduang Tuo.
Gelar malin nya, Ulemu Lauik.
Gelar hulubalang nya, Panglimo Bajau.
2). Dari suku Intan Kayo, Penghulunya bergelar Ari Bijak Sano.
Gelar manti nya, Bangso Cadiak.
Gelar malin nya, Karim Saalam.
Gelar hulubalang nya, Klewang Pandore.
3). Dari suku Tanduak Kuniang, penghulunya bergelar Mangkuto Kabanaran.
Gelar manti nya, Timbangan Adia.
Gelar malin nya, Bulia Katubah.
Gelar hulubalang nya, Sianggo Gaga.
4). Dari suku Dodok Tongah, penghulunya Duri Nanbonea.
Gelar monti nya, Panggonggam Adia.
Gelar malin nya, Pandulang Ulemu.
Gelar hulubalang nya, Ompang Dahan.
5). Dari suku Aro Tinggi, penghulu nyo, Malindo Honang.
Gelar manti nya, Suko Nan Bona.
Gelar malin nya, Mambori.
Gelar hulubalang nya, Langan Gadang.
6). Suku Ome Urai, penghulu nyo Tajau Kayo.
Gelar manti nya, Bidiak Sarambuik.
Gelar malin nya, Hakato.
Gelar hulubalang nya, Ompang Lauik.
7). Suku Lombang Darek, penghulu nyo Jalo Saangkun.
Gelar monti nya, Samo Saangkuah.
Gelar malin nya, Jombang Alui.
Gelar hulubalang nya, Nangkodo Bumi.
8). Suku Batu Pacah, penghulu nyo Pinangan Dunia.
Gelar manti nya, Kayo Kabanaran.
Gelar malin nya, Kitab Ugamo.
Gelar hulubalang nya, Badai Pandata.
Mereka mengutarakan pendapat masing-masing, setelah hampir sore hari baru keputusan telah bulat.
Isi keputusan ialah memburu, dan ibu nya Tuganggo juga mengizinkan tentang keputusan ini, walaupun dengan berat hati, karena dia juga menyandang gelar dalam suku nya, tidak bisa melarang mereka dan juga tidak bisa berbuat banyak, tidak bisa berbicara tentang sanggahan karena akan di cap sebagai tak Adil, sedang kan masalah yang di timbul kan oleh putra nya, sangat merugikan masarakat.
Segala kerugian yang akan terjadi tentang perburuan ini, telah di bicarakan matang-matang tidak ada lagi yang akan berkecil hati, walaupun dengan kehilangan nyawa atau terbunuh semua nya akan di relakan.
Sebab musuh yang akan mereka hadapi tidak tanggung-tanggung, segala senjata, jimat-jimat pusaka-pusaka tua telah keluar malam itu, hingga menunggu hari esok nya lagi.
Semua para wanita, memasak untuk para warga, hari itu ramai tapi terasa sunyi, hari itu manusia berkumpul sangat banyak tapi terasa lengang.
Sungai Galodo Itam pun seperti demikian, seperti ketakutan, seakan dia mengalir perlahan, dan juga burung-burung pun tidak berkicau hari itu.
Pada hari itu, segala hutan di telusuri oleh ribuan masarakat, gunung, bukit, dan segala celah batu tidak luput dari pencarian mereka, semua mereka telusuri, hingga sepanjang sungai Galodo Itam atau sungai kecil- kecil lain nya, apa yang mereka cari belum juga di temukan. Dan sekarang salah satu tetua membuat keputusan baru, bahwa mereka harus berpencar, dan mereka buat sembilan kelompok.
"Ingat!! Jika nanti kelompok mana pun yang menemukan Tuganggo, jangan gegabah, dan jangan menyerang, perintah kan salah satu orang dari kelompok kalian, menemui kelompok yang lain, agar yang tidak kita ingin, tidak terjadi". Ucap salah satu tetua, dia guru silat guru ke empat di bawah sedikit kehebatannya dari tetua yang di cekik beberapa bulan yang lalu oleh Tuganggo dia bergelar Tunggul Buto.
Sudah hampir seharian mereka menelusuri hutan, lembah, dan kawah bukit, serta gunung-gunung pada saat matahari mulai turun, mereka menemukan apa yang mereka cari.
Sebuah tempat, tidak jauh di bawah kaki Bukit Togua, disana ada hutan yang tidak di buat oleh masarakat, karena ini tempat diam harimau putih pincang, di sini juga perbatasan tanah wilayah Negeri Kalimuntiang, atau perbatasan dengan negeri hilir, di sini lah Tuganggo di temukan.
Mereka temukan dalam ke adaan duduk melamun, bau tubuh nya yang tidak enak, pakaian nya, boleh di katakan tidak ada lagi, hanya pinggang celana nya saja yang tersisa, tidak jauh dari dia duduk, ada dua ekor bangkai babi, satu ekor bangkai anjing hutan, mungkin tiga hewan ini dia tangkap, tidak beberapa hari yang lalu, sebab tubuh ke tiga hewan ini baru mulai membusuk. Tapi tubuh Tuganggo tidak seperti beberapa bulan yang lalu, tubuh nya gemuk telah berisi.
Tampa ampun, dan tampa bicara sedikit pun, lalu Tuganggo menyerang mereka, dengan membabi buta, seperti harimau terluka, di rombongan ini tidak ada ikut tetua yang berilmu atau yang sehebat Klewang Pandore.
Dalam keadaan mengelak dan menghindar dari tangkapan Tuganggo, seseorang berteriak memukul kan kayu.
"Praaaak!!". Kayu itu hancur tiba di leher Tuganggo, untung Tuganggo tidak bisa silat atau seni bela diri lainnya, mereka hanya mengulur waktu, menjelang bantuan tiba.
Tuganggo menyerang kian kemari, seperti harimau lapar, tempat itu telah kacau balau, seperti gajah berkelahi, patahan kayu berserakan, kelihatan nya Tuganggo pikiran dan akal nya tidak murni lagi sebagai manusia, sebab dia berkelahi tidak menggunakan senjata, hanya