Irene, seorang gadis cantik yang gampang disukai pria manapun, tak sengaja bertemu Axelle, pria sederhana yang cukup dihindari orang-orang, entah karna apa. Sikapnya yang dingin dan tak tersentuh, membuat Irene tak bisa menahan diri untuk tak mendekatinya.
Axelle yang tak pernah didekati siapapun, langsung memiliki pikiran bahwa gadis ini memiliki tujuan tertentu, seperti mempermainkannya. Axelle berusaha untuk menghindarinya jika bertemu, menjauhinya seolah dia serangga, mendorongnya menjauh seolah dia orang jahat. Namun anehnya, gadis ini tak sekalipun marah. Dia terus mendekat, seolah tak ada yang bisa didekati selain dirinya.
Akankah Irene berhasil meluluhkan Axelle? Atau malah Axelle yang berhasil mengusir Irene untuk menjauh darinya? Atau bahkan keduanya memutuskan untuk melakukannya bersama setelah apa yang mereka lalui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sam Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Afraid
Irene membuka pintu rumah dengan ragu, ia sungguh takut jika sesuatu terjadi pada mereka. Tapi tak ada pilihan, ia harus kembali untuk mengambil barangnya didalam sana. Dia hanya harus cepat mengangkut semuanya, jangan sampai orang itu menyadari bahwa ia telah mengetahui semuanya. Irene teringat salah satu film action yang pernah ditontonnya, disana ada adegan yang sama seperti yang dilakukannya, didalam ada seseorang yang bersembunyi dengan senjata tajam. Irene bergidik membayangkannya, mudah-mudahan kali ini tak ada yang seperti itu didalam sana.
Irene dan Axelle memasuki apartemen dengan langkah pelan, seketika itu juga mereka membeku. Semuanya telah berantakan, barang-barang Irene tercecer dimana-mana, sepertinya semua laci telah digeladah. Sepertinya kamar Irene juga tak kalah berantakan, itu terlihat karna ada beberapa buku tergeletak didepan pintu.
"Diam disini, biar gw periksa dulu..." Ujar Axelle, tangannya menahan Irene yang akan melangkah masuk. "Kalo ada apa-apa, loe teriak aja. Ngerti?"
Axelle berjalan dengan pelan, tanpa menunggu jawaban Irene. Ia menatap sekelilingnya, di meja itu ada bunga mawar merah yang tergeletak begitu saja, sepertinya itu bunga baru. Dengan waspada, Axelle menghampiri dan mengambilnya. "Apa ini?" Ujarnya sambil menarik sebuah kartu ucapan disana, ia membukanya.
"Hai, Manis!!"
Bugh!!
Sebuah tendangan mendarat tepat di kepala Axelle, sesaat setelah Axelle mendengar suara yang menyerukan isi surat itu. Axelle langsung terjatuh ke lantai dengan kepala yang terasa sakit, ia memegang kepalanya dan mengerang kesakitan.
"Akhirnya loe kejebak juga, ya?" Ujar seseorang itu, membuat Axelle menoleh kearahnya. "Memang benar, kelemahan seorang pria hanyalah seorang gadis cantik, bahkan buat pria dingin kayak loe."
Axelle memegang kepalanya, ia perlahan berdiri. Ia menatap pria itu tajam, membuat pria itu tersenyum sinis.
"Aaa!!"
Axelle menoleh kearah suara teriakan Irene, ia terdiam kala melihat Irene berada disana, dengan pisau di lehernya.
"Gimana? Loe siap kehilangan seseorang lagi? Semakin loe berontak, loe bakal kehilangan banyak orang yang loe sayang."
"Lepasin dia, Daffa!! Dia gak ada hubungannya dengan ini, lepasin dia, gw mohon!!"
"Gak semudah itu, Winter. Atau perlu gw panggil Axelle?"
"Loe gila!!" Teriak Axelle, kesal. "Jangan sentuh dia atau gw bakal bunuh loe semua!!" Teriaknya, lagi.
"Woahhh, baru kali ini gw liat loe semarah itu? Apa dia ini sangat berharga? Dia pacar loe, ya?"
Axelle melihat Irene, mata gadis itu berkaca-kaca, tapi dia tetap diam. "Lepasin dia!!"
"Sebagai gantinya loe harus ikut kita secara suka rela, gimana?" Ujar Daffa, penuh senyuman.
"Loe licik!!"
"Ahh!!"
"Ya!! Dia terluka!!" Teriak Axelle, ia melihat leher Irene tergores sedikit oleh pisau yang digunakan untuk mengancamnya.
"Loe pengen liat lehernya putus disini, ha? Dengan senang hati, gw akan bikin dia..."
Bugh!!
Tanpa diduga, Axelle memukul wajah Daffa dengan sekuat tenaga. Daffa yang tak memiliki persiapan terjatuh begitu saja, membuat Axelle segera menghampiri Irene.
Dugh!!
Daffa memukul kepala Axelle dengan vas yang ada disana, membuat pria itu kembali jatuh. Axelle meringis, ia menyentuh belakang lehernya, darah. Axelle melihat Daffa yang akan memukulnya, sebelum akhirnya ia menjulurkan kakinya...
Bruk!!
Daffa kembali terjatuh dengan keras, beberapa pecahan vas itu melukai tubuhnya. "Shit!!"
Axelle berdiri, Daffa meraih kakinya, pria itu kembali terjatuh.
Dugh!!
Axelle menendang Daffa hingga pria itu terantuk meja di belakangnya, pria itu meringis, ada bercak darah di sana.
Dugh!!
Axelle menoleh, saat ia mendengar suara hantaman yang cukup keras. Rupanya Irene mendorong pria yang tengah menyanderanya, lalu menginjak kakinya hingga ia terlepas dari kungkungan pria itu.
"Axelle, cepat, sebelum dia bangun!!"
"Ah, ok." Ujar Axelle, ia buru-buru berdiri.
Bugh!!
Axelle menendang kaki pria itu, kala ia akan meraih Irene kembali. Sebuah erangan menyadarkan Irene, ia menoleh. "Ayo, sebelum mereka makin banyak datang kemari!!"
Pria itu meraih tangan Irene, lalu membawanya berlari kearah lift yang tak jauh dari mereka.
"WINTER SI*LAN!!"
Axelle segera menghentikan taksi, saat ia berhasil keluar dari gedung apartemennya. Benar saja, mereka tak sendiri. Ada beberapa orang yang terlihat akan mengejarnya lagi, tapi Axelle keburu naik taksi.
"Loe gak papa?" Tanya Axelle, Irene sedari tadi diam, sepertinya ia shock atas apa yang terjadi barusan. "Luka loe gimana? Parah?"
Irene menutup mulutnya, tangannya gemetaran. "Barusan... Dia mau bunuh gw? Kenapa? Apa salah gw?"
"Tenang, loe udah aman."
"Kenapa mereka mau bunuh gw? Kenapa mereka nodong pisau ke gw? Sedikit aja, sedikit aja gw kena, mereka bisa menggal gw." Teriak Irene, ia begitu shock.
"Rene, tenang!! Ini udah aman, mereka gak akan ngejar kita. Ok? Kita kerumah gw, sekalian obatin luka loe juga."
"Gimana kalau gw tadi..."
Grep!!
Axelle memeluk Irene, pria itu membiarkan Irene menumpahkan air matanya ke baju yang ia pakai. "Nangis aja gak papa, gw minta maaf karna udah bikin situasi loe kayak gini. Loe tenang aja, gw bakal lindungin loe, apapun caranya."
Irene terdiam, air matanya mengalir begitu saja. Ia pasrah dipeluk Axelle, lagipula ia membutuhkan pelukan itu untuk menenangkannya.
"Gw janji loe gak bakalan ngalamin hal kayak gini lagi, loe bisa pegang janji gw!!"
Taksi pun berhenti didepan gedung apartemen Axelle, pria itu segera menarik Irene keluar. "Loe bisa jalan?" Tanyanya, begitu melihat Irene masih diam. "Mau gw gendong?"
Irene diam, kala Axelle menggendongnya menuju apartemen miliknya. Axelle sendiri tak tega melihat gadis shock itu harus berjalan tanpa nyawa seperti itu, ia lupa akan rasa sakit yang ditimbulkan luka-lukanya akibat bertarung tadi.
Axelle mendudukkan Irene di sofa, ia segera mencari alat p3k yang memang selalu ia butuhkan kala ia harus keluar rumah. Beruntungnya ia bisa kembali ke rumah kecilnya, hal itu membuat hidupnya semakin berat kala ia juga harus menjaga Irene.
Irene meringis pelan, saat Axelle menyentuh lukanya dengan anti-septik. Axelle terlihat begitu hati-hati mengobatinya, Irene menatap wajah serius Axelle.
"Al..."
"Hmm?"
"Tadi gw denger pria itu bilang, loe pengen kehilangan orang yang loe sayang lagi, apa sebelumnya ada yang kayak gw juga?"
Axelle menatap Irene, ia sedikit heran. Gadis ini tadi shock, tapi begitu tenang malah bertanya hal yang tak terduga.
"Maaf, mungkin itu privasi loe..." Ujar Irene, pelan.
"Temen gw, gw kehilangan temen gw karna mereka." Ujar Axelle, ia menghela nafas pelan. "Gw... Harus kehilangannya hanya karna dia tau hal yang gak boleh dia tau, itu alasan mereka membunuhnya."
Irene terdiam, ia tak bisa berkata-kata lagi.
"Loe keren tadi, gw gak nyangka loe seberani itu."
Axelle mengusap wajah Irene, senyuman manis terpatri di bibirnya. "Beda sama temen gw, dia terlalu penakut untuk menanggung semuanya."
Irene menutup mulut Axelle, saat pria itu akan meneruskan ceritanya. "Loe gak perlu cerita banyak, kalau loe belum siap." Ujarnya, lembut.
Axelle meneruskan kegiatannya kembali, Irene tersenyum kearahnya. "Kenapa?"
"Gw gak tau apa yang loe alamin selama ini, tapi gw bangga loe bisa lewatin ini semua sendirian, Axelle..."
Axelle menatap Irene, tatapannya tertuju ke bibir merah gadis itu. "Boleh gw cium?"
"Bo... Hah?"
Axelle mengalihkan pandangannya, ia menutup luka Irene dengan plester. "Lupakan!!" Ujarnya, pelan. Axelle akan berdiri, tapi Irene menahan lengannya, membuatnya urung beranjak dari tempatnya.
Irene menggenggam lengan Axelle, lalu mendekatkan wajahnya. Axelle terdiam, ia menutup matanya, kala Irene mengecupnya, hanya menempel, tapi membuat tubuh keduanya seolah memanas.
Irene menyudahi kecupannya, ia tersenyum. "Makasih..."
Tapi Axelle kembali memagutnya, kali ini pria itu memberanikan diri untuk melakukannya lebih jauh. Irene kembali menutup matanya, tangannya melingkar di leher Axelle, saat Axelle meraih pinggangnya.
Axelle tiba-tiba memekik, saat Irene menyentuh luka yang mereka lupakan di belakang leher Axelle tadi.
"Yaampun, Axelle, loe berdarah..." Ujar Irene, panik. "Loe gak papa? Perlu ke rumah sakit?"
"Ah, gw baik-baik aja, gak papa."
Wajah pria itu memerah, kala menyadari apa yang barusan mereka lakukan. Ia beranjak dari duduknya, menjauhi Irene yang masih panik melihat darah ditangannya. Tapi Irene tak melihat situasi itu, dia menarik Axelle duduk di hadapannya, lalu melihat luka Axelle yang ternyata cukup parah itu.
"Sini gw obatin, kalo loe gak mau ke rumah sakit."