Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Hari itu, awan mendung masih menggantung di langit pesantren. Tanah yang basah setelah hujan semalam meninggalkan aroma khas yang bercampur dengan debu yang mulai mengering.
Miska berjalan santai menuju asrama setelah menyelesaikan hukumannya. Kakinya melangkah ringan, meskipun tubuhnya lelah.
Hari ini adalah hari terakhir hukumannya. Seharusnya ia bisa sedikit bernapas lega. Namun, bisik-bisik itu masih saja terdengar.
"Lihat, itu dia santri yang terkenal nakal."
"Iya, benar. Berani banget dia masih jalan-jalan di sini."
Miska melirik sekilas tapi hanya membiarkannya. Ah, mereka masih saja membicarakannya. Sudah biasa, dan ia sudah tidak peduli lagi.
Tapi, yang membuat Miska menghentikan langkah adalah kalimat berikutnya.
"Kabarnya dia juga hamil."
"Oh ya? Dari mana kabar itu?."
"Katanya sih ada yang melihat perutnya agak buncit... Ya mungkin, kamu tahu sendiri kan, dia sering ada masalah dengan santri laki-laki..."
Miska membeku. Matanya perlahan menatap ke arah para santri yang sedang berbisik-bisik di dekat pohon mangga, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Wajah Miska langsung mengeras dan berubah warna jadi merah padam. Fitnah ini sudah keterlaluan, pikirnya.
Dengan langkah cepat, ia mendekati sumber suara itu, dan seketika bisikan mereka pun terhenti.
Beberapa dari mereka langsung berpura-pura sibuk, ada yang menunduk dan ada juga yang malah berlagak santai.
"Ulangi," seru Miska terdengar tajam.
Meskipun terdengar jelas, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab.
"Siapa yang barusan bilang aku hamil?," tanya Miska lagi, kali ini lebih tegas.
Tak lama kemudian, seorang santri yang dikenal sebagai penyebar gosip bernama Sarah, menatapnya dengan ragu. Namun, karena gengsi, ia tetap berusaha terlihat tenang.
"Ya, aku dengar kabarnya begitu. Kalau nggak benar, kenapa marah?," katanya, seolah mengejek.
Miska pun terkekeh sinis mendengar jawaban tersebut. "Oh, jadi kamu dengar? Dengar dari siapa? Ayo, sebut namanya."
Sarah membisu. Ia lalu melirik ke samping, seakan mencari dukungan dari teman-temannya, tapi mereka malah menjauh dan tidak ingin terlibat.
Miska pun melipat tangannya di dada lalu berkata, "Lucu, ya. Kalian suka sekali membuat gosip. Mau aku bantu supaya gosip kalian lebih menarik?."
Sarah berusaha membalas perkataan Miska, tapi Miska tidak memberinya kesempatan.
"Dengar baik-baik, ya. Aku ini memang banyak masalah, tapi aku tidak sebodoh itu. Dan satu hal yang harus kalian tahu... Aku bukan orang yang diam saja kalau ada yang memfitnah aku."
Sarah mulai gelisah. Bahkan, beberapa santri yang tadinya hanya menonton mulai berbisik-bisik lagi, tapi kali ini mereka melihat Sarah dengan tatapan tidak nyaman.
Kemudian, Miska melangkah lebih dekat, dan berkata lagi, "Kalau aku dengar satu lagi omongan konyol seperti ini, aku pastikan kalian yang paling pertama merasakan akibatnya. Dan percayalah, aku bukan tipe orang yang suka basa-basi."
Setelah mengatakan itu, Miska berbalik, lalu meninggalkan mereka yang masih diam membeku.
Langkahnya cepat, tangannya mengepal. Dalam hatinya, kemarahan masih mendidih seolah air panas di atas bara api.
Bagaimana mungkin orang-orang bisa sejahat ini? Ia memang tidak suka berada di pesantren, tapi fitnah keji seperti ini sudah kelewatan.
**
Hari-hari selanjutnya semakin terasa menyesakkan bagi Miska. Sejak fitnah keji itu menyebar, tatapan santri lain semakin menghakiminya. Bukan hanya bisikan, bahkan kini ada yang terang-terangan menghindar saat ia lewat, seakan-akan ia benar-benar melakukan sesuatu yang memalukan.
Di ruang makan, saat ia mengambil piring dan hendak duduk, beberapa santri tiba-tiba berdiri dan pergi.
"Astaghfirullah, aku nggak mau duduk bareng orang yang nggak jelas moralnya," bisik salah satu santri dengan cukup keras hingga Miska bisa mendengarnya.
Miska menghela napas panjang dan memutar bola matanya. Ia menatap piringnya, lalu menatap sekitar.
Malam harinya, Miska duduk sendirian di halaman belakang asrama. Cahaya bulan menyinari wajahnya yang tampak lelah.
Ia muak. Ia merasa ingin pergi dari pesantren ini. Secepatnya.
Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berseru,
"Miska..."
Miska pun menoleh dan mendapati Hana berdiri di sana dengan ragu-ragu.
"Kenapa?," tanya Miska datar.
Hana menggigit bibirnya, lalu mendekat. "Aku... Aku nggak percaya dengan gosip itu. Aku tahu kamu bukan orang seperti itu."
"Tapi kamu juga nggak membelaku," balas Miska seraya tersenyum miring.
Seketika Hana pun terdiam karena merasa tertampar.
"Haah... Udah lah, Han. Aku udah biasa sendirian. Aku nggak butuh orang yang datang hanya untuk merasa bersalah. Mending kamu pergi sebelum orang-orang ikutan ngegosipin kamu juga," ujar Miska.
Hana ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya ia memilih mundur. Ia tahu, Miska sedang tidak ingin mendengar apa pun.
**
Sementara itu, di tempat lain, Sarah dan Zoya tampak berbicara serius di sudut lorong asrama.
"Kamu yakin dia nggak bakal buka mulut?," tanya Zoya cemas.
"Dia itu keras kepala. Tapi selama kita bisa terus tekan dia, dia nggak bakal berani ngomong apa-apa," dengus Sarah.
"Tapi kalau dia akhirnya marah dan beneran ngelaporin kita gimana?," balas Zoya yang masih terlihat ragu.
"Justru itu! Makanya kita harus bikin dia semakin terpojok. Kalau perlu, kita kasih 'bukti' supaya orang makin percaya kalau dia benar-benar hamil," jawab Sarah dengan menatap Zoya dengan tajam.
Mereka pun saling bertatapan. Apakah mereka benar-benar akan sejauh itu?
"Kita nggak boleh kalah, Zoya. Kita harus memastikan Miska nggak punya tempat di pesantren ini," lanjut Sarah.
BERSAMBUNG...