NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:470
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sumpah di atas abu

Di sudut timur Jakarta, tepat di bawah naungan pohon flamboyan yang kini mulai berbunga, restoran milik Dika kembali berdiri gagah. Dika bahari , begitu papan kayu di depannya bertuliskan. Tempat itu dulunya nyaris rata oleh amarah dan peluru, kini menjadi tempat hangat bagi banyak orang.

Pak Jaka, sahabat setia Dika semasa hidup, kini dipercaya Merlin untuk mengelola restoran itu. Meski rambutnya mulai memutih dan langkahnya tak lagi secepat dulu, semangatnya tetap menyala. Ia sering berdiri di balik meja kasir sambil tertawa dengan pelanggan setia, mengenang masa lalu dengan getir dan bangga.

Di ruang belakang restoran itu, suara tawa kecil sering terdengar.

Dikara, putri Dika, kini berusia lima tahun. Lincah, cerdas, dan memiliki tatapan tajam seperti ayahnya. Ia diasuh dengan penuh kasih sayang oleh Mbok Atik, ibu kandung Dika yang kini tinggal di rumah belakang restoran. Wajahnya penuh kehangatan, meski keriputnya bertambah setiap tahun.

Dan Laila... gadis kecil yang dulu dipeluk Merlin saat dikejar mafia, kini telah menjadi wanita muda. Usianya baru menginjak dua puluh satu, tapi otaknya jauh melampaui usianya. Ia sudah semester tiga ketika mendaftar kuliah, dan bulan depan—ia akan diwisuda. Jurusan hukum. Ia ingin menjadi seperti "Bunda Merlin", begitu ia memanggilnya.

Sementara itu, Merlin sendiri masih tampak seperti dulu. Rambut hitamnya tetap panjang, kulitnya masih kencang, dan matanya... mata yang dulu memikat para jenderal dan musuhnya, tetap memancarkan cahaya yang sama. Usianya empat puluh, tapi tak ada waktu yang mampu mencuri pesonanya. Mungkin karena ia tak pernah benar-benar berhenti bergerak. Atau mungkin karena dalam dirinya, bara itu memang tak pernah padam.

Bayangan itu selalu datang saat langit mulai gelap.

Sebuah pantai senja. Tawa dua orang anak kecil. Seorang pria dengan senyum tenang yang memandangnya dari jauh.

Lalu—ledakan.

Darah.

Tangis.

Dan keheningan.

Kapten Merlin terbangun dari lamunannya. Sudut matanya basah, tapi ia tak menyeka. Di ruangan yang remang itu, hanya terdengar suara kipas angin tua berdecit dan detik jarum jam yang berdetak pelan. Ia duduk di meja kerjanya yang lama, kini kembali menjadi miliknya setelah hampir satu tahun absen dari lapangan.

Ia telah kembali.

Jakarta Timur, sektor paling keras yang pernah dipimpinnya, menyambutnya dengan wajah lama yang belum berubah—korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan yang semakin halus menyamar dalam rutinitas harian.

Tapi bukan itu yang menghantam dadanya paling dalam malam ini.

Tangannya menyentuh perut bagian bawah. Luka operasi kecil di dalam tubuhnya masih terasa—bukan karena sakit, tapi karena makna.

Ia telah memasang alat kontrasepsi permanen. Satu keputusan yang ia ambil setelah Dika dan Gilang tewas dalam penggerebekan besar satu tahun lalu. Sejak hari itu, ia tahu—ia tak akan pernah bisa membangun keluarga lagi. Tidak akan ada cinta yang lain. Tidak akan ada anak. Tidak akan ada suami.

“Aku tidak akan pernah lagi menjadi lemah karena cinta,” bisiknya pelan.

Pintu diketuk dua kali.

“Masuk,” ucap Merlin, suaranya sudah kembali stabil, seperti seorang komandan.

Reno masuk membawa map berisi data.

“Kita dapat sinyal baru,” katanya. “Ada jaringan judi online besar yang terhubung ke luar negeri—Kamboja.”

Merlin bangkit dari kursinya, mengambil map itu.

“Aku akan pergi ke sana.”

Reno menatapnya, ragu. “Sendiri?”

“Ya. Kau tetap di sini dan pantau dari jauh.”

Reno mengangguk pelan. Tapi ia tahu, sejak kembali dari neraka itu, Merlin bukan lagi wanita yang dulu.

Dan di balik matanya yang tenang, ada bara yang belum padam.

Malam turun dengan lembut di rumah tua peninggalan orang tua Merlin, yang kini hanya dihuni olehnya, Laila, dan sesekali Mbok Atik datang menginap dari restoran. Lampu taman menyala redup, memantulkan bayangan pohon mangga di halaman. Merlin duduk di teras, menyesap teh jahe hangat sambil membuka berkas dari Reno.

Suara motor berhenti di depan pagar.

Tak lama kemudian, Reno muncul, membawa sekantong plastik berisi gorengan dan kopi susu kemasan. “Tumben malam-malam datang bawa bekal,” sindir Merlin, angkat alis. “Jangan-jangan kamu kesepian, atau... lapar rindu?”

Reno nyengir. “Dua-duanya, Bu Komandan.”

Mereka duduk bersisian. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan kenangan lama.

“Kamu udah tiga puluh sekarang ya, Ren,” kata Merlin sambil meliriknya dari atas gelas. “Tapi belum kawin juga. Jangan-jangan... nungguin aku janda lagi?”

Reno terkekeh. “Wah, jangan goda saya, Bu. Bahaya.”

Merlin tertawa pelan, suara tawanya langka akhir-akhir ini.

Reno melirik ke dalam rumah, lalu berkata setengah bercanda, setengah serius, “Kalau Bunda berkenan... Laila aja, deh. Pinter, cantik, calon pengacara. Lumayan buat pendamping hidup.”

Merlin melotot kecil. “Reno! Dia masih terlalu muda buat kamu.”

Reno nyengir lebih lebar. “Lho, umur saya cuma beda sembilan tahun. Gak beda jauh dari jarak Bunda sama Dika dulu, kan?”

Tawa Merlin pecah, kali ini lebih lepas. Untuk sesaat, beban yang menekan pundaknya terasa sedikit ringan.

Tapi di balik canda dan tawa itu, mereka tahu... badai besar sedang menunggu di depan.

Reno menatap Buk Merlin serius setelah tawa mereka mereda.

“Jadi... gimana persiapan ke Kamboja, Buk?” tanyanya pelan.

Buk Merlin menghela napas panjang. “Sudah hampir selesai. Identitas baru beres tadi siang. Aku akan pakai nama Marlina Iskandar—investor dari Malaysia yang tertarik menanam modal di sektor ‘hiburan’.”

Reno mengangguk pelan. “Target Buk masih promotor itu?”

“Ya,” jawab Buk Merlin. “Namanya Han. Dia sering muncul di daftar transferan perusahaan cangkang yang terkait jaringan situs online ilegal. Tapi mukanya belum pernah muncul di media. Cuma satu foto buram dari hasil pengintaian. Sisanya, masih gelap.”

“Dan orang bernama Chen itu?” Reno bertanya, mencoba menyamakan titik.

Buk Merlin menggeleng. “Belum jelas siapa dia. Nama itu muncul beberapa kali di email terenkripsi yang berhasil kita bongkar. Tapi belum ada data pasti. Entah dia pelaku utama, penengah, atau sekadar nama samaran.”

Reno bersandar, pandangannya kosong sejenak. “Buk yakin gak mau bawa pasukan kecil?”

“Gak bisa,” jawab Buk Merlin tegas. “Aku harus jadi orang luar, bukan aparat. Kalau mereka curiga sejak awal, semuanya bisa gagal. Fokus kita cuma satu: masuk ke lingkaran dalam tanpa membuat mereka merasa diburu.”

Reno menatapnya lekat. “Buk tahu ini berbahaya, kan?”

Buk Merlin mengangguk, senyum tipis di wajahnya. “Aku lebih takut kalau diam dan tak melakukan apa-apa.”

Suasana restoran milik almarhum Dika sore itu agak sepi. Hanya ada dua meja yang terisi, dan aroma rendang serta ayam bakar menguap lembut dari dapur belakang.

Buk Merlin duduk di pojok dekat jendela besar, menikmati teh hangat sambil menatap ke arah Rendi yang sedang duduk di meja kasir.

Pemuda itu tampak sibuk dengan ponselnya, senyum-senyum sendiri, kadang tertawa lirih.

“Ngapain lu, Ren, ngomong sendiri?” tegur Buk Merlin dari kejauhan.

Rendi kaget, buru-buru menyembunyikan ponselnya. “A-anu... Buk... ini cuma aplikasi kontak jodoh. Maklum, bujang lapuk... hehehe.”

Merlin bangkit dari kursinya dan melangkah santai ke arah Rendi. “Jangan-jangan lu main judol ya?” tanyanya curiga.

“Enggak lah, Buk. Tengok sendiri nih,” jawab Rendi sambil menunjukkan layar ponselnya.

Merlin memperhatikan aplikasi itu sekilas. Tampilan seperti aplikasi pencarian teman, tapi dengan fitur live-chat dan rekomendasi wajah.

Tiba-tiba matanya terpaku pada salah satu profil yang sedang aktif.

Dia menyipitkan mata.

Han? Wajah itu mirip dengan foto buram yang ia simpan di dokumen penyelidikan.

“Aku pinjam dulu hp lu,” katanya cepat.

“Eh, Buk mau cari jodoh juga?” goda Rendi dengan cengiran lebar.

Merlin melotot ke arahnya. Rendi langsung tutup mulut.

“Buk, serius... itu siapa? Kenal?” tanya Rendi pelan, melihat ekspresi Merlin yang berubah tegang.

“Tutup mulutmu. Dan jangan bilang siapa-siapa tentang ini,” bisik Merlin dingin.

Di layar, nama profilnya hanya tertulis: "MR_H"

Lokasi: Phnom Penh, Kamboja.

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!