NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 Ternyata Imitasi

Arya berdecih, seraya melempar laporan yang harus ia selesaikan hari ini juga. Kabar soal akan munculnya sang pewaris benar- benar membuatnya mual.Sebab, semua orang dari ujung keujung selalu membahas hal yang sama.

"Kenapa harus bikin huru- hara dulu? Kenapa nggak langsung muncul aja?" gerutunya.

Arya memilih bermain ponsel lebih dulu. Dalam pikirannya, menyelesaikan laporan hanya membutuhkan waktu sebentar saja. la berselancar di media sosial,iseng mengetik nama Nirwana Grup dan muncullah semua tulisan tentang perusahaan besar tempatnya bekerja.

"Gak ada satu pun artikel yang membahas keluarga pendiri perusahaan ini. Apa se privasi itu mereka?"gumamnya.

Arya mendongak, menatap seorang office girl yang bertugas membuat minuman setiap harinya.la meletakkan secangkir kopi disetiap meja.

"Siapa namamu?" tanya Arya.

Gadis itu terkejut. "Oh, emm... nama saya Rani, Pak," sahutnya.

"Oh, umur berapa? Kok kayak masih gadis," celetuk Arya, membuat wanita bernama Rani itu malu.

"'Arya, jangan mulai ... ingat kalau dirumah ada yang nunggu. Tiyo, teman kerja Arya ikut menimpali.

"Apa sih? Yang tidak terlihat biarkan saja. Apa yang di depan mata, patut dicoba," kelakar Arya yang membuat Tiyo tertawa.

"Maaf, Pak. Saya harus kembali bekerja," pamit Rani. Ia merasa malu karena terus digoda.

"Eh, buru- buru saja, Ran." Arya berkata seraya berdiri.

"Ini jam kerja, Pak. Saya harus kerja. Bukankah Bapak juga begitu?" Wanita muda dengan lesung pipit di pipi kanan itu menjawab ramah.

"Iya, juga. He he. Ya udah, nanti istirahat aku jemput di tempatmu.Kita makan bareng."

Rani hanya tersenyum. Ucapan Arya hanya ia anggap sebagai candaan saja. Toh, kebanyakan lelaki di kantor itu memang sering menggodanya secara terang-terangan.

"Kamu serius, Ar mau deketin Rani?" Tiyo bertanya.

"Iya. Tak lihat- lihat dia cantik, Yo. Masih gadis lagi. Tapi, dia lupa gak jawab berapa umurnya," tukas Arya.

"Hati- hati, Ar. Kamu kan udah nikah. Gak kasihan sama istrimu?Istrimu juga lagi hamil, kan?"

"Pernikahanku sama Lisna kan cuma pernikahan siri, Yo. Lagian disini juga gak ada yang tahu kalau aku udah nikah. Cuma kamu doang. Itu aja aku keceplosan. Tapi, aku minta sama kamu jangan sebarin kabar pernikahanku sama Lisna."

Tiyo berdecak. "Dasar playboy Arya terbahak. "Mumpung masih muda, bolehlah bersenang- senang."

Sesuai ucapannya, Arya menghampiri Rani, di tempatnya.Gadis itu kaget, tak percaya bahwa Arya benar- benar menyusulnya untuk makan siang bareng. Arya tersenyum penuh kemenangan, dikantor ia adalah pria lajang dan dirumah, ia beristri. la tak peduli,bahwa Lisna sedang hamil.

Rani mengusap keringat didahinya. Siang itu udara terasa pengap meski ia berada di ruangan ber-AC. Sejak bertemu Arya tadi, langkahnya terasa berat. Pria itutak hanya atasannya di kantornya,tapijuga seseorang yang memiliki karisma memikat, menurutnya.Namun, tatapan hangat Arya tadi membingungkan hatinya. Apa maksudnya? Rani menggigit bibir, mencoba mengabaikan debar janggal yang kini membuncah di dadanya.

"Rani," suara berat Arya terdengar dari belakang. Rani menoleh, melihat pria itu berdiri di ambang pintu pantry dengan senyum yang tak pernah gagal meluluhkan hati banyak wanita di kantor.

"Pak Arya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, pura- pura tak tahu arah percakapan ini.

Arya berjalan mendekat,tangannya membawa dua kotakmakan siang yang sudah ia beli."Makan siang bareng? Saya sudah bilang tadi pagi, kan?" ucapnya santai.

Rani menelan ludah. Ia ingin menolak, tetapi mata Arya menyiratkan sesuatu yang sulit dimengerti, yaitu daya tarik yang tak bisa diabaikan.

"Eh, saya biasanya makan dipantry saja, Pak. Tak enak kalau terlalu lama keluar," jawab Rani sambil memalingkan wajah.

Arya mendesah pendek. "Rani, makan siang ini hanya makansiang. Tak lebih. Ayo, saya sudah siapkan tempat yang nyaman di rooftop."

"Rooftop?" Rani makin bingung. Apa pria ini serius?

"Ya, ada meja kecil di sana.Tenang, tak ada yang akan tahu," ucap Arya dengan nada meyakinkan.

Meski ragu, Rani akhirnya mengikuti Arya. Mereka naik kerooftop, tempat yang jarang didatangi karyawan lain. Di sana, pemandangan kota terbentang luas. Angin sore yang sejuk menghapus rasa panas di dadanya. Arya menarik kursi untuknya, memperlakukannya seperti seorang tamu istimewa.

"Silakan duduk," kata Arya sambil meletakkan kotak makan di depannya.

Rani menatap kotak itu, masih enggan menerima perlakuan manisini. Namun, ia duduk juga. Makansiang dimulai dalam keheningan.Arya sesekali melontarkan pertanyaan ringan, sementara Rani hanya menjawab pendek. Di balik sikap manis Arya,hatinya penuh perhitungan. la tahuRani tipe wanita yang lugu yang mudah didekati. Sementara Lisna,istrinya, kini sedang berjuang dengan kehamilan mereka dirumah dan selalu merengek untuk berhenti jadi bidan semenjak ia nikahi. Namun, di mata Arya, Lisna hanya istri yang membosankan sekarang. la merasa pantas mencari kebahagiaan kecil di luar rumah,bahkan jika itu dengan seorang office girl seperti Rani.

"Rani," Arya akhirnya membuka percakapan yang lebih dalam. "Kamu tahu kan, saya ini jarang berinteraksi langsung dengan staf lain? Tapi kamu beda."

Rani menunduk. "Saya hanya office girl, Pak. Tidak ada yang istimewa dari saya."

Arya tertawa kecil. "Kamu merendah. Jujur, saya sering memperhatikan kamu. Cara kamu bekerja, ketelitian kamu. Saya suka itu,"

Kata -kata itu seperti jebakan lembut yang mulai meresap ke hati Rani. Ia bingung harus merasa tersanjung atau waspada. la tak yahu jika Arya adalah seorang pria beristri. Jika ia menerima tawaran untuk dekat dengan Arya, bukankah itu hal yang baik untuk kehidupannya mendatang?

"Pak Arya, saya rasa" Rani mulai bicara, tapi Arya memotongnya.

"Panggil saya Arya saja. Kalau hanya berdua seperti ini, kita tak perlu terlalu formal, kan?"

Rani mengangguk ragu. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang salah di sini. Tapi ada bagian dari dirinya yang menikmati perhatian Arya. Setelah sekian lama menjalani hidup sederhana, tanpa banyak perhatian dari siapa pun, kehadiran Arya terasa seperti angin segar.

Ketika makan siang hampir usai, Arya menatapnya lekat."Rani,saya harap kita bisa makan siang seperti ini lagi. Tapi, saya ingin ini jadi rahasia kita, ya."

Kalimat itu membuat Rani tertegun. Ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Sebuah peringatan samar yang sulit ia abaikan. Namun, senyuman Arya yang teduh membuatnya hanya bisa mengangguk pelan.

Arya berdiri, memberikan satu kotak makan siang untuk Rani sebagai kenang- kenangan. "Untuk makan malam nanti," katanya sambil berlalu pergi. Di sisi lain, di rumah, Lisna sedang duduk di sofa sambil bermain ponsel. Sesekali ia berpose sambil menujukkan perhiasan yang ia kenakan. Ia ingin dunia tahu bahwa ia adalah istri seorang asisten manager di Nirwana Grup.

"Ah, andai saja aku beneran berhenti jadi bidan. Cuma tinggal nunggu suami di rumah saja, duit tetep ngalir," ucapnya.

"Lisna, Lisna?!" Bu Daning menghampiri Lisna dengan tergopoh- gopoh. Ia panik karena baru saja ditagih hutang arisan oleh Bu Padmi.

"'Apa, sih, Bu?!" Lisna menyahut heran.

"Lisna, ibu minta uang dong.Bantuin ibu, ibu tadi ditagih utang sama Bu Padmi," ungkap Bu Daning

setengah berbisik. Ia tak mau jika Pak Abdul mendengar dan berakhir dengan ceramah panjang.

"Berapa emangnya, Bu?"

"Lima juta saja. Kamu pasti punya kan uang segitu?"ucap Bu Daning dengan tatapan penuh harap.

"Emm... aku gak punya uangsegitu, Bu," sahut Lisna, membuat ibunya kecewa.

"Masa kamu gak mau nolongin Ibu, sih? Ibu bisa dimarahi dan dipermalukan sama ibu- ibu yang lain di arisan kalau ibu gak bayar- bayar, Lis." Bu Daning tampak putus asa. Kepalanya terasa pening karena masalah utang ini.

"Lis, gimana kalau kamu jual gelangmnu itu. Kan kamu masih punya banyak perhiasan. Gelangmu itu kalau dijual pasti masih banyak sisa uangnya," cetus Bu Daning. Ia punya ide tersebut saat Lisna berpose sambil bergaya tangan yang diletakkan di dagu.

"Jual?" Lisna bergeming sesaat.

"Nanti kalau Mas Arya nanya gimana, Bu?" tanyanya.

"Bilang aja hilang, terus kamu minta lagi. Ibu yakin kalau kamu bakalan dibeliin lagi."

Lisna manggut- manggut. "Boleh juga ide Ibu. Ya udah, ayo kita ke toko emas. Nanti sisa uangnya bisa aku buat shopping," celetuknya.

Bu Daning dengan penuhs emangat mengangguk. "Ayo!"

Lisna dan Bu Daning, berangkat ke pasar untuk menjual gelang yang dipakai Lisna. Mereka dengan wajah sumringah dan percaya iri berkata ingin menjual gelang emas.

"Mas, jual gelang ini dong. Laku berapa?" tanya Lisna dengan suara keras. Sengaja untuk memancing pengunjung toko untuk melihatnya.

Namun, jawaban karyawan toko itu membuat Lisna dan Bu Daning kaget setengah mati. "Maaf,Mbak. Ini bukan emas asli, tapi imitasi. Jadi gak bisa dijual di sini."

"Hah? Gak mungkin! Mana mungkin emasku ini palsu! Ini loh ada suratnya!" Lisna menunjukkan surat perhiasannya.

"Ini surat palsu, Mbak. Bisa saja Mbak kena tipu. Sudah saya jelaskan, kalau ini emas palsu.

Bahkan cincin sama kalung yang Mbak pakai itu sudah kelihatan palsu," jelas pria berseragam coklat itu. Lisna sontak meraba kalungnya. la ingat ucapan tetangganya tempo hari yangmengatakan bahwa emas yang ia

pakai adalah emas palsu. Benarkah Arya tega memberinya emas palsu?

Lisna merasakan tubuhnya gemetar hebat. Perasaan marah,bingung, dan malu bercampur menjadi satu. la menatap gelang ditangannya, benda yang selama ini ia yakini sebagai simbol cinta dari Arya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Bu, ini pasti ada kesalahan. Mas Arya sendiri yang beli ini buat aku. Masa dia tega beliin aku emas palsu?"

Bu Daning mencoba menenangkan putrinya. "Lis, kita bawa saja gelang ini ke tempat lain untuk diperiksa. Mungkin dia salah." Namun, tatapan penjual perhiasan di hadapan mereka tetap kukuh, penuh keyakinan.

"Silakan saja, Bu," kata penjual itu sambil menata kembali barang dagangannya. "Tapi saya sudah sering melihat emas seperti ini.Biasanya dibuat sangat mirip dengan emas asli, tapi nilainya nol.Bahkan surat- surat palsunya banyak beredar."

Lisna menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. la menarik tangan ibunya dan berkata, "Ayo, Bu. Kita ke toko lain."

Namun, langkah mereka terasa berat. Keramaian pasar yang tadinya terasa biasa kini seperti menusuk ke dalam hati Lisna. Beberapa pedagang tampak memperhatikan mereka, dan iamerasa seolah menjadi bahan bisikan.

Di toko perhiasan lain, Lisna menyerahkan gelangnya kepada seorang penjual perhiasan yanglebih besar dan tampak profesional.Penjual itu memeriksa gelang tersebut dengan kaca pembesar,menimbangnya, lalu mengetuk- ngetuk permukaannya dengan alat kecil.

"Maaf, Mbak," kata penjual itu akhirnya. "Ini memang emas palsu.Bahan dasarnya logam biasa, hanya dilapisi dengan warna emas."

Dunia Lisna seperti runtuh. la menatap ibunya, berharap ada penjelasan lain, tetapi wajah Bu Daning hanya menyiratkan kekhawatiran yang sama.

"Pak, tapi ini dibeli dari toko besar, lengkap dengan suratnya!"protes Lisna, setengah berteriak. Ia menyerahkan surat perhiasan itu kepada penjual. Penjual itu mempelajari surat tersebut dengan saksama. Setelah beberapa saat, ia menggeleng.

"Surat ini juga palsu, Mbak. Kalau boleh tahu, siapa yang beli perhiasan ini?"

Lisna terdiam. Bibirnya gemetar, tetapi kata- kata itu akhirnya keluar juga. "Suami saya."

Penjual itu tersenyum simpati."Sebaiknya Mbak tanya langsung ke beliau. Biasanya, kalau ada kasusseperti ini, ada sesuatu yang disembunyikan."

Dalam perjalanan pulang Lisna dan Bu Daning berjalan tanpa banyak bicara. Di atas boncengan motor, pikiran Lisna dipenuhi pertanyaan. la ingat jelas bagaimana Arya memberinya gelang itu saat ia meminta karena boleh tahu, siapa yang beli perhiasan ini?"

Lisna terdiam. Bibirnya gemetar, tetapi kata- kata itu akhirnya keluar juga. "Suami saya."

Penjual itu tersenyum simpati."Sebaiknya Mbak tanya langsung ke beliau. Biasanya, kalau ada kasusseperti ini, ada sesuatu yang disembunyikan."

Dalam perjalanan pulang Lisna dan Bu Daning berjalan tanpa banyak bicara. Di atas boncengan motor, pikiran Lisna dipenuhi pertanyaan. la ingat jelas bagaimana Arya memberinya gelang itu saat ia meminta karena iri pada Hanin.

"Mas Arya pasti gak mungkin beli yang palsu, Bu," katanya pelan,mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Bu Daning hanya mengelus tangan putrinya."Lis, kita gak tahuapa- apa soal itu. Yang jelas, kamu harus tanya langsung sama dia.Kalau ini benar ada yang gak beres,kamu harus berani ambil sikap."

Lisna menunduk, memandang cincin kawinnya, satu lagi perhiasan yang kini ia ragukan keasliannya. Sesampainya di rumah, Lisna langsung masuk ke kamar dan membuka laci tempat ia menyimpan semua perhiasannya.la mengeluarkan cincin, kalung,dan gelang lain yang Arya pernah berikan. Satu per satu, ia periksa dengan pandangan penuh curiga.

Bu Daning, yang duduk diruang tamu, hanya bisa menghela napas panjang. Sebagai seorang ibu,ia merasa ada sesuatu yang salah dalam rumah tangga anaknya. Arya memang tampak perhatian, tetapi sering kali ia pulang terlambat tanpa alasan yang jelas.

Ketika malam tiba, Arya pulang dengan senyum lelah di wajahnya. "Lis, aku pulang," katanya sambil membuka jasnya dan menggantungnya di kursi.

Lisna yang sudah menunggu di ruang makan berdiri dengan ekspresi dingin. "Mas, kita perlu bicara."

Arya mengerutkan kening. "Ada apa? Kamu kelihatan serius banget."

Lisna mendekat, meletakkan gelang dan surat palsu itu di meja."Mas, apa ini?" tanyanya dengan suara yang hampir pecah.

Arya menatap gelang itu sejenak, lalu mengangkat bahu. "Yaitu gelang yang aku kasih buat kamu. Memangnya kenapa?"

"Ini palsu, Mas!" seru Lisna.

"Aku tadi periksa di dua toko emas,dan mereka bilang ini bukan ema sasli. Bahkan suratnya palsu!"

Arya tampak kaget, tetapi tidak lama. Ekspresinya berubah tenang."Lis, kamu jangan gampang percaya orang. Aku beli itu di toko besar. Mungkin mereka salah."

"Mas, ini bukan soal salah atau benar. Kenapa kamu kasih aku perhiasan palsu? Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku? Kenapa kamu tega?" tuntut Lisna.

Arya terdiam sejenak. la menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. "Lis, aku gak tahu soal ini. Aku yakin barang itu asli waktu aku beli."

"Tapi kenapa suratnya palsu juga?" desak Lisna.

Arya menggertakkan gigi,mulai kehilangan kesabaran."Kamu tuh kenapa sih? Gak cukupkah apa yang sudah aku kasih selama ini?"

Lisna tersentak. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku gak peduli soal emas, Mas. Aku peduli soal kejujuran kamu. Kalau kamu gak bisa jujur, bagaimana aku bisa percaya sama kamu?"

Bu Daning yang mendengar dari dapur akhirnya keluar dan berdiri di antara mereka. "Arya, kalau memang ada masalah, jujur saja. Jangan bikin Lis terus -terusan bertanya- tanya."

Namun, Arya hanya menatap mertuanya dengan ekspresi dingin."Bu, ini urusan saya dan Lisna.Tolong jangan ikut campur!"tegasnya, membuat Bu Daning terdiam.

1
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!