Bagaimana jadinya jika seorang gadis manja harus menjadi pengasuh 3 anak CEO nakal yang tiba-tiba sangat lengket padanya?
Rosetta, seorang gadis cantik yang berusia 19 tahun, adalah putri seorang bupati yang memiliki keinginan untuk menjalani hidupnya sendiri. Namun ayahnya telah membuat keputusan sepihak untuk menjodohkan Rosetta dengan seorang pria tuatua bernama tuan Bramasta, yang memiliki usia dan penampilan yang tidak menarik. Rosetta sangat enggan dengan keputusan ini dan merasa bahwa ayahnya hanya menggunakan dia sebagai alat untuk meningkatkan karir politiknya.
Hingga puncaknya Rosetta memutuskan untuk kabur dari rumah. Di sisi lain ada Zein arga Mahatma, seorang bussiness man dan single parents yang memiliki tiga anak dengan kenakalan di atas rata-rata. Karena kebadungan anak- anaknya juga tak ada yang sanggup untuk menjadi pelayan di rumah nya.
Dalam pelarian nya, takdir mempertemukan Rosetta dan ketiga anak Zein yang nakal, bagaimana kah kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 21
Rosetta terdiam, merasa bingung juga canggung menyelimuti dirinya, setelah mendengar pernyataan yang baru saja di lontarkan oleh Zein. Entah pria itu serius atau hanya asal bicara saat mengatakan nya, tapi yang pasti saat Rosetta melirik pria itu, Zein terlihat sedang menyembunyikan kegugupan nya. Tiba-tiba saja jantung Rosetta berdegup keras, ia merasa seolah-olah terjebak dalam suasana aneh yang tidak pernah ia harapkan. Dalam perjalanan yang tenang ini, keduanya mencoba mengabaikan momen canggung yang baru saja muncul.
Mobil melaju di jalanan kota yang mulai ramai dengan aktivitas. Alvaro dan Alaska terlihat asyik dengan permainan di tablet yang mereka mainkan. Tapi ada sesuatu hal Rosetta sadari sejak tadi, Chiara tampak lebih pendiam saat ini. Gadis kecil yang biasanya ceria itu terlihat murung dan sesekali hanya menyimak kakak- kakaknya. Itu terjadi semenjak Victoria yang melabrak mereka di Timezone tadi. Rosetta kembali mengingat saat Chiara yang terlihat ketakutan ketika Victoria mengamuk.
Rosetta jadi mulai bertanya-tanya. Ia akan menanyakan nya langsung pada Chiara saat mereka kembali nanti.
Setelah perjalanan yang tak terlalu memakan waktu, akhirnya mereka tiba juga di mansion. Beberapa kurir telah mengirimkan baju- baju Rosetta yang di beli di butik tadi.
"Sepertinya aku harus mulai merekrut beberapa pelayan, " kata Zein setiba nya mereka di ruang tengah. Ia menyadari jika hanya ada Rosetta sendiri tidak mampu meng-handle pekerjaan yang lain.
"Baiklah, aku akan mulai mencari beberapa pelayan untuk membantu pekerjaan mu, " kata Zein kemudian sambil menatap Rosetta.
Rosetta mengangguk. "Itu ide yang bagus tuan. Tapi bukankah anda orang yang sangat selektif dalam memilih orang untuk bekerja dengan anda? "
"Ya.Itu sebabnya aku yang akan memilih dan merekrut mereka langsung. "
Rosetta lantas mengangguk- angguk paham.
"Baiklah, aku akan langsung pergi ke kantor setelah ini. Kau di sini dan jaga anak-anak sampai aku kembali. Ingat, langsung hubungi aku apabila terjadi sesuatu. "
Rosetta mengangguk patuh. "Aku mengerti tuan. "
Zein lantas menghampiri anak-anak nya. Mengecup pucuk kepala mereka satu persatu.
"Papa pergi dulu, jaga diri baik-baik di rumah sampai papa pulang. "
"Yaaah.inikan weekend, pah. memangnya Papa mau kemana? " tanya Alvaro dengan raut wajahnya yang menunjukkan kekecewaan.
Zein membuang napas singkat. "Papa ada urusan dengan pekerjaan. Hanya sebentar. "
"Selalu itu- itu saja alasan papa. Selalu tentang pekerjaan, tentang kantor?! " Alvaro tiba-tiba meninggikan nada suaranya, bocah laki-laki yang bulan depan akan berusia 11 tahun itu seperti muak dengan ayahnya yang selalu pergi meninggalkan mereka bahkan saat hari libur datang.
"Iya. Kapan papa memiliki waktu banyak dengan kita?!" Alaska ikut menimpali. Kedua kakak beradik kembar yang hanya berbeda beberapa jam itu tampak menatap ayah mereka dengan kebencian.
"Kami kira setelah ini kita akan ke wahana bermain tapi papa malah pergi meninggalkan kami, " sentak Alvaro yang sepertinya emosinya mulai ia tunjukkan.
Suasana tiba-tiba menjadi memanas. Rosetta lantas menghampiri karena khawatir Alvaro dan Alaska akan semakin memberontak.
Sementara zein terpana, hatinya berdenyut sakit mendengar semua protes anak-anak nya. Zein lantas membungkuk, mengusap wajah Alvaro dan Alaska. "Ini semua juga demi kalian. Demi masa depan kalian. Papa tidak mungkin meninggalkan pekerjaan yang sedang menunggu papa."
Dari keduanya, Alvaro yang paling terlihat kecewa. Ia membayangkan hari libur ini mereka akan habiskan waktu seharian bersama sang ayah setelah enam hari yang panjang ayah mereka tak pernah benar-benar tinggal di rumah karena jadwal yang selalu sibuk.
Alvaro menepis tangan zein, matanya menatap sengit. "Papa pembohong! aku benci papa! " Teriaknya lalu berbalik pergi dengan berlari kencang dan masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu.
Zein menegakkan badannya kembali, menghela napas panjang hanya bisa menatap sendu pintu yang habis di banting keras oleh Alvaro tadi.
Matanya menatap kepada kedua anaknya, Alaska dan Chiara yang memilih diam. Wajah mereka juga tampak menunjukkan kekecewaan mungkin hanya saja mereka tidak menunjukkan kemarahan seperti Alvaro tadi.
"Maafkan papa. "
Alaska mendengkus tampak juga muaknya. "Entahlah, papa hanya bisa minta maaf terus. Memangnya apa susahnya? kita hanya ingin waktu papa. "
Alaska dengan tatapan jengah, menarik tangan adik nya yang paling kecil. "Ayo Chiara. " lalu mereka sama- sama berbalik memunggungi.
Zein ingin mengejar, namun suara dering ponsel dari saku celana, menahan langkah nya.
"Ya.saya akan segera kesana. baik secepatnya! " Setelah menerima telepon, Zein memasukkan kembali ponselnya.
Rosetta kemudian maju mendekati Zein. "Tuan." panggilnya yang lantas membuat Zein menoleh.
"Tuan pergi lah saja, tuntaskan pekerjaan yang memang menjadi tanggungjawab anda. Biar anak-anak saya yang akan menjaga nya, " ujar Rosetta, setidaknya bisa membuat hati Zein sedikit tenang.
Zein lantas mengangguk setelah membuang napas singkat. "Baiklah, aku titip anak-anak ku padamu. "
Rosetta mengangguk. "Anda tidak perlu khawatir tuan. "
Zein menatap lekat sesaat. Tidak menyangka gadis yang ia anggap konyol dan aneh ini ternyata bisa serius dan dewasa dalam situasi dan kondisi yang di butuhkan.
"Hmm, jaga diri mu baik- baik," pungkas zein menepuk pundak Rosetta sesaat lantas berjalan pergi.
Rosetta menatap kepergian zein, dan setelah dia pun ikut menyusul Alvaro, Alaska dan Chiara ke kamar mereka.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cklek!
Rosetta membuka pintu yang tertutup perlahan. Di dalam kamar yang bernuansa anak-anak dengan banyaknya gambar kartun dan mainan yang berada di tempat nya.
Tampak ketiga anak itu sedang duduk dengan jarak yang berjauhan, wajah- wajah mereka menunduk seolah sedang menyembunyikan banyak perasaan yang mungkin hanya bisa di rasakan oleh anak-anak seusia mereka.
"Alvaro, Alaska, Chiara... " Rosetta memanggil nama mereka satu- satu. Ketiganya hanya menoleh sebentar lalu kembali menekukkan wajah.
Dalam situasi seperti ini, Rosetta harus bisa menempatkan diri agar tidak sampai menghakimi mereka. Karena bagaimana pun ia tahu anak-anak hanya ingin menunjukkan tindakan dan sikap dari apa yang sedang mereka rasakan. Dan dia tahu anak-anak ini sedang marah dan kecewa karena ayah mereka lagi- lagi lebih memilih pekerjaan daripada menghabiskan waktu bersama mereka.
Rosetta melangkah lebih dekat, berusaha menciptakan suasana yang lebih nyaman bagi ketiga anak tersebut. Ia tahu betul betapa pentingnya bagi mereka untuk merasa didengar dan dipahami. Dengan nada lembut, ia berkata, "Kalian mau cerita tentang apa yang terjadi barusan?"
Chiara, yang paling kecil di antara mereka, menatap Rosetta dengan mata yang berkaca-kaca. "Kenapa Papa selalu pelgi? Dia bilang mau bekelja, tapi... kami juga butuh dia," keluhnya dengan suara yang hampir bergetar.
Rosetta merasa hatinya teriris mendengar ungkapan mendalam dari bocah kecil itu. "Aku tahu, Chiara. Kadang orang dewasa memang harus melakukan pekerjaan mereka, tetapi itu bukan berarti mereka tidak mencintai keluarga mereka. Papa kalian sangat mencintai kalian," ujarnya sembari berusaha membuat Chiara merasa lebih tenang.
Ucapan Rosetta barusan berhasil mencuri perhatian Alaska yang sejak tadi hanya diam menunjukkan wajah kemarahan. Tapi kami tidak mengerti, kenapa pekerjaan selalu lebih penting dari kami? Apa kami tidak cukup baik untuk dia?" tanyanya. Pernyataan polos dari anak yang hanya ingin kasih sayang orang tuanya.
Rosetta tersenyum lembut. "Kadang, kesibukan bisa membuat orang dewasa lupa betapa berharganya momen bersama orang yang mereka cintai. Namun, bukan berarti mereka tidak ingin bersama kita," Rosetta menjawab dengan sabar. "Apa kalian ingat waktu kita ke taman bermain bersama? Papa pasti ingin melakukannya lagi, hanya saja dia terjebak dengan tanggung jawab yang harus dilakukannya."
Alvaro yang tadinya duduk terpisah, mulai masuk ke dalam percakapan. "Tapi kenapa harus selalu kami yang menunggu? Kami ingin dia di sini sekarang. Kami ingin bermain, bukan hanya menanti dia pulang!" ungkapnya dengan penuh emosi.
Rosetta mengangguk. "Itu rasanya sangat tidak adil, ya? Kalian ingin menikmati waktu bersama Papa, dan itu sangat wajar. Menghabiskan waktu tidak selamanya harus diisi dengan aktivitas besar. Kadang, waktu sederhana seperti duduk bersama sambil bercerita itu lebih berarti."
Akhirnya, ketiga anak itu mulai saling memandang, tampak merenungkan kata-kata Rosetta.
*******