Siapa sangka putri tertua perdana menteri yang sangat disayang dan dimanja oleh perdana menteri malah membuat aib bagi keluarga Bai.
Bai Yu Jie, gadis manja yang dibuang oleh ayah kandungnya sendiri atas perbuatan yang tidak dia lakukan. Dalam keadaan kritis, Yu Jie menyimpan dendam.
"Aku akan membalas semua perbuatan kalian. Sabarlah untuk menunggu pembalasanku, ibu dan adikku tersayang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Yu Jie duduk di samping kakak keduanya lalu menatap pengawal itu.
"Pengawal dari mana ini, kak?" Yu Jie pura-pura bertanya.
Fang Hua melirik, "Dari kediaman Bai di kota."
"Aku Liu Kang, pengawal dari kediaman Bai," pengawal itu memperkenalkan diri dengan sopan.
"Oh!" seru Yu Jie tak tertarik.
Perlakuan yang sama Liu Kang dapatkan dari kedua nona Lin hingga membuat perasaan pengawal itu tidak nyaman.
"Apa yang membuat keluarga Bai sampai mengurus pengawal ke keluarga kecil ini?" tanya Yu Jie.
"Nyonya kediaman Bai mengundang anda untuk tinggal beberapa waktu di kediaman Bai," jawab Liu Kang dengan percaya diri.
Yu Jie memilih diam. Memberi jeda untuk pengawal itu berpikir, tapi sebenarnya membuat pengawal itu bingung. Sudut bibir Yu Jie membentuk senyum tipis. Meski sepintas, tapi Fang Hua dapat melihat senyum jahil adik ketiganya itu.
"Tapi adik, dia sendiri tidak tahu harus mengundang keluarga Lin yang mana," ujar Fang Hua dengan niat membantu Yu Jie mempermainkan Liu Kang.
"Jangan-jangan nyonya besar kediaman Bai hanya mendengar rumor tentang tabib dari keluarga Lin, tapi tidak mencari informasi yang lebih dalam tentang tabib Lin? Bagaimana yang di maksud bukan tabib Lin dari keluarga kami? Setahuku ada beberapa keluarga Lin di sekitar sini," cecar Yu Jie.
Wajah Liu Kang memerah karena malu. Benar juga yang dikatakan nona muda itu. Lagi-lagi Liu Kang merutuki kebodohannya. Memang benar yang dikatakan oleh nona muda itu bahwa ada beberapa keluarga Lin yang bermukim di desa yang tak jauh dari kediaman Lin yang sekarang dia kunjungi.
Li Jing yang sedari tadi menjadi penonton, hanya bisa diam sambil menyimak apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya secara tidak langsung dia juga turut andil dalam drama mini yang dibuat dadakan oleh kedua nona mudanya.
"Li Jing!" panggil Yu Jie.
Dia sengaja memotong jalan pikiran pengawal itu karena sudah cukup mengerjainya.
"Iya nona."
"Antar pengawal Liu Kang ke kamar tamu. Biarkan dia istirahat sebelum kembali ke kota!" perintah Yu Jie pelan.
Liu Kang ingin membantah, tapi segera diurungkan. Dia ingat pesan nona mudanya, Mei Yin, untuk lebih bersabar jika mendapat penolakan dari keluarga Lin.
"Baik nona," jawab Li Jing.
"Silahkan lewat sini!" seru Li Jing sambil mempersilahkan Liu Kang untuk mengikutinya.
Liu Kang berpamitan pada Yu Jie dan Fang Hua sebelum meninggalkan aula.
Setelah di rasa aman, Fang Hua membuka suara, "Adik, bagaimana menurutmu?"
Yu Jie menatap keluar jendela yang terhubung langsung dengan taman bunga yang terletak di samping rumah. Meski tidak besar, tapi taman bunga itu ditata dengan baik oleh mereka sendiri.
"Aku sudah melupakan dendam, tapi dia yang membuka jalan. Tidak ada salahnya mengungkit kembali kenangan lama. Mungkin dengan sedikit pelajaran, dia akan berubah," jawab Yu Jie.
Fang Hua tersenyum dan mengerti maksud adik ketiganya itu.
"Jika begitu, aku dan kakak pertama akan menemanimu," ucap Fang Hua.
"Ling'er pasti ingin ikut," timpal Yu Jie.
Fang Hua tersenyum, "Kau benar. Bagaimana jika kita membawa ibu juga?"
"Anggap saja kembali ke kampung halaman ibuku," jawab Yu Jie sambil tersenyum.
"Kau benar. Ibu dan Ling'er pasti senang," ucap Fang Hua.
Keesokan harinya, Fang Li meminta pengawal keluarga Bai itu untuk menemuinya di aula keluarga.
"Silahkan duduk!" tegas Fang Li.
Liu Kang lagi-lagi terperangah setiap kali bertemu dengan nona muda Lin yang lain. Kali ini kecantikannya terlihat tegas dan memiliki sepasang mata yang tajam, khas seorang ahli bela diri.
"Terima kasih," jawab Liu Kang.
Pengawal itu dengan cepat menjawab tak ingin dikatai lagi oleh pelayan pribadi mereka sebagai pria yang tidak pernah melihat wanita.
"Aku tidak akan berbasa-basi. Tabib Lin bersedia menerima undangan dari nyonya Bai, tapi ada syarat yang harus dipenuhi oleh keluarga Bai," ucap Fang Li tegas.
Liu Kang menelan cairan bening dalam mulutnya. Keluarga Lin ini cukup sulit diatasi dan membuatnya kesulitan. Bukankah itu berarti dia harus kembali lagi ke ibu kota lalu menjemput mereka lagi. Tahu begitu, dia bisa membawa seorang teman dan ditinggalkan di sebuah desa yang tidak jauh dari kediaman Lin.
Akan tetapi, hal itu juga tidak bisa dilakukan karena menurut Liu Kang keluarga Lin cukup aneh. Mereka hanya menerima seorang pengawal atau pesuruh dari keluarga bangsawan yang diutus untuk meminta kehadiran tabib Lin atau sekedar mengantar dan menemani berobat.
Anehnya lagi, tabib Lin tidak pernah mau hadir setiap kali diundang oleh keluarga besar atau bangsawan untuk mengobati mereka. Bisa jadi, ini adalah keberuntungan bagi keluarga Bai.
"Tabib Lin tidak suka terikat dengan keluarga mana pun. Jadi, jika urusan di keluarga Bai sudah selesai, tidak ada yang bisa menahan tabib Lin. Untuk tempat tinggal, tabib Lin ingin di siapkan sebuah kediaman di bagian barat kediaman Bai," jelas Fang Li.
Liu Kang tahu dia tidak bisa bernegosiasi. Dengan berat hati dia melakukan perintah Fang Li. Liu Kang segera undur diri untuk berangkat agar pekerjaannya cepat selesai.
Dari kediaman Lin menuju ibu kota membutuhkan waktu sekitar lima hari dengan kuda. Itu juga jika tidak ada kendala. Jika ada kendala di jalan, bisa menempuh waktu sekitar sepuluh hari bahkan lebih. Tentu saja perjalanan pengawal itu tidak akan mulus.
Setelah pengawal itu pergi, Fang Li memanggil Li Jing untuk bersiap melancarkan aksi mereka. Fang Li sengaja membuat beberapa jebakan untuk pengawal itu. Tidak terlalu berbahaya, tapi cukup untuk mengulur waktu pengawal itu tiba di kediaman Bai.
"Kakak, apa tidak apa-apa mengerjai pengawal itu?" tanya Fang Ling sedikit khawatir.
"Kau menguping, ya?" Fang Li balik bertanya.
"Ish, kakak! Aku hanya kebetulan lewat," ucap Fang Ling berpura merajuk.
"Dasar!" ketus Fang Li.
"Tidak akan apa-apa," timpalnya lagi sambil bangkit dari kursi.
Fang Li berjalan keluar aula. Sudah waktunya melatih adik ketiga dan keempatnya.
"Lari tujuh putaran tanpa berhenti!" seru Fang Li tanpa berbalik.
"Hah, kakak! Mana aku mampu lari tujuh putaran!" teriak Fang Ling tak terima.
Beda Fang Ling beda pula Fang Hua. Sebenarnya Fang Hua antara ingin dan tidak ingin pergi ke kediaman Bai. Dia ingin pergi karena penasaran bagaimana keadaan kediaman Bai setelah kepergian mereka.
Tak ingin pergi karena dia takut tidak bisa menahan diri saat melihat wajah ibu dan anak itu. Meski ilmu bela dirinya tak sehebat Fang Li, tapi dia cukup hebat melawan sepuluh orang bandit secara bersamaan.
Apalagi cuma menghabisi selir Huang dan anak semata wayangnya. Baginya itu adalah hal yang sangat mudah. Akan tetapi permainannya tidak akan semudah itu. Selir Huang dan Mei Yin harus membayar dua kali lipat.
Fang Hua sedang duduk bersandar di tepi jendela kamarnya. Saking seriusnya dia berpikir dan menahan amarah hingga tidak sadar ibunya masuk ke kamar.
"Hua'er!" panggil Lian untuk yang kelima kalinya.
"Eh, ibu!" seru Fang Hua sambil memberikan tempat untuk ibunya duduk.
"Apa yang membuatmu susah?" tanya Lian lembut.
Fang Hua menggeleng, "Entahlah ibu."
Fang Hua menarik napas dan menahannya sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, "Ibu, aku tidak sebaik adik ketiga yang mudah memaafkan kesalahan orang lain. Meski aku berusaha keras tetap saja sulit bagiku untuk melupakan perlakuan mereka pada adik ketiga dua tahun yang lalu di aula."
Lian membelai lembut rambut putri keduanya lalu Fang Hua dengan nyaman menyandarkan kepala di bahu ibunya.
"Ibu tahu kau sangat menyayangi Jie'er. Ibu dan kedua saudarimu juga menyayanginya. Masing-masing di hati kalian pasti masih menyimpan rasa tidak terima pada selir Huang dan putrinya," ucap Lian lembut.
"Ingatlah nak, mengejar dendam sama saja menggali dua kuburan! Kedua pihak sama-sama mendapat kerugian. Tenangkan hatimu! Biarkan semua mengalir secara alami. Mendendam tidak baik untuk jiwa dan ragamu. Ibu tidak ingin putri ibu yang cantik ini menjadi kusam nanti. Hidup itu ada sebab akibat. Karma baik dan karma buruk pasti ada. Lagipula, mereka hanya remahan bakpao yang tidak penting untuk diingat," timpal Lian.
Cairan bening perlahan turun membasahi wajah cantik Fang Hua. Ucapan ibunya sangat mengena di hatinya.
"Maafkan aku, ibu," lirih Fang Hua.
Gadis cantik itu menyesal telah membiarkan dendam bersemayam di hatinya cukup lama.
"Hua'er, semua manusia tidak luput dari salah. Kau hanya tersesat sebentar. Ibu senang kau sudah melepaskannya," ucap Lian sambil menepuk pelan punggung putri keduanya.
"Argh! Aduh!"
Terdengar teriakan kesakitan dari halaman samping rumah mereka. Membuat Lian dan Fang Hua terkejut. Fang Hua menyeka air matanya sebelum dia dan ibunya keluar kamar menuju sumber suara.