Ikuti setiap bab nya dan jangan lupa tinggalkan dukungannya ♥️
****
Anindira dan Anindita adalah saudari kembar yang terpisah sejak lahir. Keduanya memiliki nasib yang berbeda, Anindira sudah menikah tetapi dirinya selalu di sakiti oleh sang suami dan tidak mendapatkan kebahagiaannya. Sementara Anindita, dirinya hanya bisa menghamburkan uang dan angkuh.
Suatu hari, tanpa sengaja Anindita menggantikan peran Anindira. Dirinya masuk ke dalam kehidupan suami Anindira, dan tidak menyangka betapa hebat saudari kembarnya itu bisa hidup di tengah-tengah manusia Toxic.
Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya?
SO STAY STUNE!
NO BOOM LIKE, BACA TERATUR DAN SEMOGA SUKA 😍🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3 TWINS A
20 Oktober 2024.
***
Seorang wanita cantik yang berpenampilan sederhana berlari memasuki sebuah restoran, napasnya terlihat terengah-engah. Dia benar-benar merasa buruk karena datang terlambat lagi hari ini. Untung saja atasannya tidak pernah marah, hanya sekedar memperingatkan.
"Dira?" panggil seorang pria yang tak lain adalah pemilik restoran.
Anindira mengigit bibir bawahnya, dia juga menepuk dahinya. "Mam*pus aku!'' tukasnya menyesal karena datang terlambat.
"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat lagi. Tadi saya ketinggalan angkot, maka dari itu saya berjalan kaki sampai ke sini." ucapnya jujur.
"Baiklah, tidak masalah. Aku bisa memakluminya, tapi lain kali jangan di ulangi lagi. Aku tidak mau para karyawan lainnya merasa iri."
Anindira mengangguk paham. Dia bernapas lega saat Bosnya itu pergi menjauh. Disana ada manager, tetapi pemilik restoran setiap pagi datang untuk mengecek cara kerja karyawannya.
Dira pun bergegas mengganti pakaiannya lalu dia mulai ke dapur, mengambil pesanan para customer.
"Anin, kau terlambat lima belas menit. Apa Pak Daffa tidak memarahimu?" tanya salah satu teman dekat Anindira. Disana para karyawan memanggilnya dengan sebutan Anin.
"Untungnya saja tidak!" jawab Dira lega.
"Aku lihat kau sering sekali terlambat datang, apa ada masalah?"
"Setiap malam aku selalu begadang, Citra. Aku yang selalu membantu Mamaku untuk membuat adonan kue dan cake. Kau tau kan, kalau Papaku sudah sakit-sakitan. Jadi siapa lagi yang membantu Mamaku jika bukan aku sendiri?"
Citra menatap Anindira dengan Iba. Dia mengelus pundak teman baiknya itu. "Kau benar-benar hebat, Anin. Pagi sampai malam kau sibuk bekerja, dan pulang bekerja pun kau masih sanggup membantu orangtuamu hingga tengah malam. Jika aku menjadi dirimu, mungkin aku tidak bisa menjalani semuanya."
Anindira tersenyum mendengar perkataan Citra. "Mamaku pernah bercerita, jika dia melihatku, pasti dia selalu teringat dengan saudari kembarku yang hilang dua puluh delapan tahun lalu. Selain aku, siapa lagi yang bisa diandalkan, Citra? Maka dari itu, aku ingin menghabiskan sisa hidupku untuk berbakti pada mereka dan berusaha membahagiakannya."
Citra memeluk Anindira, dia merasa sedih mendengar curahan hati sahabatnya itu. "Aku yakin kau pasti bisa, kau itu kan Anindira Kusuma."
Dira tersenyum lebar, pesanannya sudah jadi dan dia segera membawanya ke meja customer.
"Aku salut melihat kerja keras dan kegigihanmu, Anin." gumam Citra melihat semangat Anindira dalam melakukan tugasnya.
Tak terasa jam istirahat pun tiba, seperti biasa, Anindira dan Citra duduk di dapur, menikmati segelas minuman dingin. Cuaca yang panas membuat tenggorokan mereka terasa kering setiap harinya.
"Dira?" panggil Daffa membuat keduanya menoleh.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Anindira dengan sopan.
"Apa kita bisa menikmati jam istirahat diluar? Ada yang ingin ku bicarakan padamu."
Anindira melirik Citra yang mengangguk, tanda setuju.
"Baiklah, tapi aku tidak bisa lama-lama karena aku dan Citra sudah membuat janji untuk makan siang bersama."
"Tentu saja, hanya lima belas menit. Kau tidak keberatan kan Citra jika aku meminjam sahabatmu sebentar?"
"Tidak, Pak! Kalian bisa pergi, aku akan menikmati minumanku dulu."
Keduanya pun berlalu pergi dari restoran.
Di sebuah taman yang tak jauh dari restoran Daffa, mereka berdua duduk di salah satu bangku yang ada disana. Pria itu berdehem sejenak, menyusun rangkaian kata dan menetralkan kegugupannya.
"Dira, ada yang ingin aku katakan padamu." ucap Daffa.
"Kau terlihat serius, Pak. Bicara saja, aku akan mendengarkannya." jawab Dira menoleh ke arah Daffa.
"Begini, aku tahu mungkin bagimu ini terlalu cepat. Tapi aku sudah memendamnya selama hampir dua tahun, dan aku tidak bisa lagi menyembunyikan semua ini darimu, Dira."
Anindira hanya diam mendengarkan kelanjutannya.
"Anindira Kusuma, aku jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Apakah kamu bersedia untuk menjadi istriku? Mendampingi setiap langkahku, menemaniku dalam suka maupun duka.''
Anindira tercengang, tubuhnya seketika berubah menjadi kaku. "Aku, aku tidak tahu harus menjawab apa. Semua terjadi begitu saja dan tidak bisa ditebak. Aku butuh waktu untuk memikirkan jawabannya, Pak."
"Tenang, Dira. Aku akan memberimu waktu dua hari, dan kau harus menjawab pertanyaanku ini."
Anindira mengangguk tanda setuju.
Setelah berbincang, mereka akhirnya kembali ke restoran. Keduanya berpisah karena Daffa harus memeriksa pemasukan hari ini, ada kemajuan atau tidak.
"Ck, kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?" Citra menyenggol lengan Anindira, berniat untuk menggoda wanita itu.
"Aku sedang bingung, Citra. Pak Daffa baru saja menyatakan isi hatinya padaku, dan kau tahu kan, kalau aku sudah mencintai seseorang." Dira menatap salah satu pegawai pria yang ada disana.
"Oho, Ilham, ya? Aku tahu, tapi realistis saja, Anin. Ilham hanya pegawai biasa, dan hidupnya juga sederhana. Bahkan dia itu seorang perantau, demi memberikan nafkah pada Ibunya. Sedangkan Pak Daffa—" Citra tersenyum sendiri. "Dia itu kaya, selain kaya dia juga tampan. Intinya, kau pasti akan hidup bahagia jika menikah dengannya. Percayalah padaku."
"Tapi aku tidak mencintainya, Citra."
"Hei, dasar bo*doh! Cinta itu bisa datang kapan saja, seiring berjalannya waktu kau pasti bisa mencintai Pak Daffa. Jaman sekarang cinta itu nomor dua, yang penting adalah uang dan kepastian masa depan." Citra pun memprovokasi Anindira.
Dira menatap Ilham dengan kesedihan, dia bingung apakah harus tetap memilih Ilham atau berpaling pada Daffa demi kecerahan masa depannya kelak?
BERSAMBUNG
mudah2 an mereka saling menerima 1 sama lainnya