Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembangunan Pertama
Ketukan lembut di pintu mengawali pagi di kamar Rea. Beberapa saat kemudian, Kaelan masuk dengan nampan di tangannya. Di atasnya, ada semangkuk sup hangat, roti lembut, dan secangkir teh herbal yang masih mengepul.
Ia melangkah perlahan, memastikan tidak membangunkan Rea yang masih terlelap. Namun, suara langkahnya membangunkan gadis itu. Rea membuka matanya perlahan, wajahnya yang lelah mulai menunjukkan sedikit warna.
“Kau sudah bangun,” ujar Kaelan dengan senyum tipis.
Rea mengangguk, mengusap matanya. “Aku merasa lebih baik. Apa itu?”
“Sup ayam dengan rempah-rempah,” jawab Kaelan sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur. “Aku minta dapur istana membuat ini khusus untukmu. Mereka bilang ini baik untuk memulihkan tenaga.”
Ia membantu Rea duduk dengan nyaman, menyelipkan bantal tambahan di punggungnya. Rea menatap makanan itu dengan mata berbinar. “Terima kasih, Kaelan.”
Kaelan duduk di kursi di samping tempat tidur, memperhatikannya dengan seksama. “Makanlah. Kau butuh tenaga untuk pulih sepenuhnya.”
Rea mengambil sendok dan menyeruput sup itu perlahan. Rasanya hangat dan lezat, mengalirkan kehangatan di tubuhnya yang masih lemah. “Ini enak sekali,” ujarnya setelah beberapa suap.
Kaelan tersenyum kecil. “Bagus. Aku senang kau menyukainya.”
Saat Rea melanjutkan makannya, Kaelan mengambil kesempatan untuk berbicara. “Hari ini pembangunan benteng dimulai. Aku akan sibuk di sana sepanjang hari, tapi aku akan memastikan seseorang selalu menjagamu di sini.”
Rea mengangguk, menyadari pentingnya tugas Kaelan. “Hati-hati di luar sana.”
Setelah Rea selesai makan, Kaelan mengambil nampan kosong dan berdiri. “Istirahatlah. Aku akan kembali nanti.”
Rea hanya bisa mengangguk, menatap punggung Kaelan yang menjauh dari pintu kamar. Dalam hatinya, ia merasa lebih tenang mengetahui lelaki itu selalu ada untuknya. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini—perasaan itu terasa aneh, hampir tidak familiar.
Biasanya, perhatian seperti ini datang dari ibunya. Ibunya yang selalu memastikan ia makan dengan cukup, memeluknya saat ia merasa lelah, dan berbicara lembut untuk menenangkan pikirannya. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan. Kehilangan ibunya masih meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi.
Kaelan, dengan caranya yang sederhana, mengisi sebagian ruang itu. Perhatian lelaki itu memicu kenangan lama tentang kasih sayang yang pernah ia terima. Hatinya terasa hangat, tetapi juga sedikit berat, karena ia sadar bahwa kasih sayang Kaelan berbeda. Ada sesuatu yang ia tidak mengerti, perasaan yang membuat dadanya berdebar.
Rea memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang ibunya berputar dalam pikirannya. “Ibu,” bisiknya lirih. “Aku harap kau melihat ini dari sana. Aku tidak sendiri lagi.”
Langit cerah menyambut para pekerja yang berkumpul di lokasi pembangunan. Suara gemuruh gerobak kayu yang membawa batu granit dari tambang utara mengisi udara. Di sisi lain, kuda-kuda yang menarik gerobak meringkik pelan, menambah keramaian suasana.
Kaelan berdiri di tengah-tengah lokasi, mengenakan pakaian sederhana. Ia tampak berbicara dengan para pemimpin proyek, memberikan arahan terakhir sebelum pekerjaan dimulai.
“Pastikan penggalian fondasi dimulai di sisi barat. Tanahnya lebih stabil di sana,” ujar Kaelan sambil menunjuk ke peta yang terbentang di atas meja kayu.
“Baik, Tuan Kaelan,” jawab salah satu insinyur, segera memberi isyarat kepada timnya.
Di sudut lain, Lady Seraphine memeriksa bahan-bahan yang tiba. Ia tampak sibuk mencatat jumlah batu, kayu, dan alat-alat lain yang dikirim dari gudang kota.
“Kita membutuhkan lebih banyak kayu ek untuk rangka sementara. Pastikan kiriman dari hutan selatan tiba tepat waktu,” katanya tegas kepada salah satu pengawas.
Para pekerja mulai memindahkan batu granit ke lokasi pembangunan. Beberapa tukang batu memotong dan menghaluskan granit, sementara yang lain menyusun batu-batu besar itu untuk fondasi. Suara palu menghantam batu terdengar tiada henti, menciptakan irama kerja yang menginspirasi.
Kaelan berjalan mengelilingi lokasi, memastikan segalanya berjalan sesuai rencana. Ia berhenti sejenak di dekat sebuah tim yang sedang menggali fondasi.
“Kerja bagus. Pastikan kedalamannya cukup untuk menopang berat dinding benteng,” katanya sambil memberikan tepukan ringan di bahu salah satu pekerja.
Siang itu, awan gelap mulai berkumpul di langit, menandakan hujan akan segera turun. Lord Adric mendekati Kaelan dengan wajah cemas.
“Kita harus mempercepat pekerjaan hari ini. Jika hujan datang, tanah ini bisa menjadi lumpur,” katanya.
Kaelan mengangguk cepat. “Arahkan lebih banyak orang ke tim fondasi. Kita harus menyelesaikannya sebelum hujan turun.”
Dengan cepat, para pekerja dikerahkan. Kaelan sendiri turun tangan, membantu memindahkan batu-batu besar ke lokasi penggalian. Tangannya kotor oleh tanah dan debu, tetapi ia tidak peduli.
Hujan akhirnya turun saat sore menjelang. Meski demikian, para pekerja tetap bertahan, menggunakan terpal besar untuk melindungi fondasi yang baru digali. Kaelan berdiri di bawah hujan, memastikan semua pekerjaan tetap berjalan dengan aman.
“Kita tidak boleh menyerah hanya karena cuaca buruk,” serunya kepada para pekerja. “Rivendale bergantung pada kita!”
Sorakan semangat dari para pekerja menjadi jawaban atas kata-kata Kaelan.
Di tempat lain, pembangunan menara penjaga juga dimulai. Lokasi-lokasi ini telah dipilih dengan hati-hati untuk memberikan pandangan strategis ke seluruh area sekitar Rivendale.
Di menara pertama, para pekerja mendirikan rangka kayu sebagai panduan. Struktur itu perlahan-lahan mulai terlihat bentuknya. Menara ini dirancang setinggi 15 meter, dengan bagian atas yang cukup luas untuk ditempati para penjaga.
Para insinyur memeriksa setiap detail, memastikan struktur menara kuat dan stabil. Salah satu insinyur mendekati Kaelan dengan laporan.
“Menara pertama hampir selesai. Kami hanya perlu menyelesaikan bagian atas dan tangga,” katanya.
“Bagus. Pastikan bagian atas dilengkapi dengan perlindungan dari serangan jarak jauh,” jawab Kaelan.
Pekerjaan berlangsung hingga malam hari. Lampu-lampu minyak dinyalakan di lokasi pembangunan, memberikan cahaya bagi para pekerja yang terus berjuang melawan lelah.
Kaelan berdiri di salah satu menara yang baru selesai dibangun, menatap ke arah Rivendale. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat kota yang perlahan bangkit dari kehancuran. Di bawahnya, para pekerja tetap sibuk, semangat mereka tak pernah padam meski hari sudah larut.
“Ini baru awal,” bisik Kaelan pada dirinya sendiri. “Tapi aku yakin Rivendale akan menjadi lebih kuat.”
Pagi berikutnya, Kaelan kembali ke kamar Rea. Ia membawa nampan lain, kali ini berisi bubur gandum hangat dan jus buah segar.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanyanya sambil membantu Rea duduk.
“Jauh lebih baik,” jawab Rea dengan senyum.
Kaelan mengangguk puas. “Bagus. Hari ini aku ingin kau istirahat total. Kota ini membutuhkanmu dalam kondisi terbaik.”
Rea menatapnya penuh rasa terima kasih. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan Kaelan di luar sana, tetapi perhatian lelaki itu selalu membuatnya merasa istimewa.
Kaelan kemudian meninggalkan kamar untuk melanjutkan pekerjaannya, sementara Rea menatap keluar jendela, melihat kota yang perlahan berubah menjadi tempat yang lebih baik.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih