Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam diam aku runtuh
Kedua tangan tangan yang sedang bertautan erat itu terlepas begitu saja, seorang pria yang awalnya tertawa bahagia seraya menggenggam erat tangan sang istri spontan melepaskan genggamannya dia langsung berdiri dari posisi duduknya saat menyadari siapa sosok yang berjalan mendekat ke arah mereka.
“Selamat atas kehamilanmu Alena!” dia mengulang lagi ucapannya. Wajah Danendra semakin terasa panas netra pria itu bergerak tidak tenang, ia sedikit linglung sehingga hanya bisa membeku dengan degupan jantung begitu cepat, saking cepatnya degupan itu Danendra yakin sekali Alena yang berada di sampingnya bisa mendengar suara detakkan itu. Bibir yang awalnya terangkat ke atas seketika melengkung ke bawah dengan sedikit bergetar.
“Mei... Meisya?” berbeda dengan Alena, di saat suaminya dilanda kepanikan setengah mati wanita itu sebaliknya, ada rasa terkejut dan sedikit terharu saat menyadari siapa yang baru saja mengucapkan selamat. Dia berusaha mengulur tangannya mencoba membalas uluran tangan Meisya.
“Terimakasih.” Balas Alena dengan lembut, mata cantik wanita itu menyepit penuh tanda tanya saat menyadari mantan calon kakak iparnya berbadan dua sama seperti dirinya bahkan perut itu lebih besar dari perut Alena saat ini.
“Ka-kamu hamil Mei?” Tanya Alena dengan suara pelan, dia khawatir menanyakan sesuatu yang menyinggung, tapi wajah itu tidak terlihat tersinggung sebaliknya dia tersenyum lebar sembari mengelus perutnya.
“Iya aku juga hamil, sama seperti kamu usianya juga memasuki tujuh bulan.” Alena menutup mulutnya, ia tidak menyangka dengan pengakuan itu. Yang dia tahu alasan Mei memutuskan hubungannya bersama Aleon adalah karena seorang pria, apa mungkin pria yang dimaksud sudah menjadi suami wanita itu.
“Kamu terlihat bahagia Lena, menyenangkan bukan disayang semua orang karena kita sedang hamil.”
“Hm, bagaimana denganmu apa kehamilanmu juga membawa kebahagiaan?” Alena bertanya dengan wajah polosnya.
“Tentu saja, karena kehamilan ini aku bisa mendapatkan semuanya.”
“Kamu tahu Lena saat mengetahui aku hamil pria itu langsung menikahiku.” Mei mengucapkan kalimat itu dengan bangga, seakan sedang membicarakan sebuah prestasi besar.
Alena melirik di sekitarnya, mencoba mencari sosok pria yang sudah menikahi Mei, dia juga penasaran sehebat apa orang itu sehingga membuat Mei berani meninggalkan Aleon dan memilih pria lain.
“Maaf sebelumnya kamu sendirian Mei?”
“Maksud kamu?”
“Eee, maksudnya kamu mengatakan kamu sudah menikah, lalu di mana suamimu, dia datang bersamamu hari ini, kan?” Alena bertanya takut-takut, dia berusaha sesopan mungkin agar Mei tidak tersinggung setiap pertanyaan lancang ia lontarkan.
“Suamikuㅡ” kalimat Mei menggantung, dia melirik lamat-lamat wajah panik Danendra lalu terkekeh pelan, Danen memalingkan wajahnya saat Mei menoleh ke arahnya.
“Suamiku dia…,“ Mei sengaja memainkan kalimatnya, senang sekali melihat wajah pria yang berdiri tegas di samping Alena mencucurkan keringat jagung, “dia….” Danen mulai membalas tatapan Meisya, pria itu menggeleng pelan dengan mata yang sudah memerah.
Danendra tidak bisa bernapas dengan benar, setiap kata yang dikeluarkan dari bibir ranum Mei bagaikan belati tajam yang siap kapan saja menghunus jantungnya. Sialnya Danen tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak mungkin langsung mencela omongan Mei itu akan semakin membuat dirinya terpojok dia juga ingin melarikan diri tapi orang-orang di sekitarnya seakan menatapnya dengan penuh tekanan sehingga membuat tubuhnya membeku tidak bisa bergerak sedikit pun.
“Dia tidak ikut.” Satu kalimat yang membuat tubuh Danen langsung merosot ke bawah, ia lega sekali Mei tidak berbuat macam-macam, “Suamiku, itu…. ” Mei mulai lagi ia mengulurkan tangannya ke arah Danen mencoba membantu pria itu berdiri, “Danendra.” Satu kata yang membuat keadaan semakin menegang, Danen tidak menerima balik uluran tangan Mei ia menatap marah wanita itu.
“Maksudku Danendra kenapa kamu berada di bawah?” setelah menyelesaikan kalimatnya yang terus menggantung Mei tersenyum miring. Alena menoleh ke samping dia juga bingung kenapa suaminya terduduk di lantai, “lantainya licin Alena aku terpeleset.” Balas Danen cepat sebelum Alena bertanya aneh-aneh.
Setelah perhatian sempat teralihkan karena Danen tiba-tiba jatuh merosot Alena kembali memfokuskan tatapannya kepada wanita cantik yang berdiri tenang tepat di depannya, “jadi maksud kamu suamimu tidak ikut menemanimu di sini Mei?”
“Iya, dia sibuk ada pekerjaan di luar kota, suamiku jarang pulang hanya sesekali ia pulang ke rumah.”
Alena menggangguk prihatin, dia bisa merasakan kesepian itu, karena belakangan ini suaminya juga sering sibuk di luar dan jarang pulang dengan dalil ada pekerjaan mendesak.
“Baiklah selamat menikmati acara ini Mei, aku senang sekali kamu mau meluangkan waktu untuk datang ke sini, apa kamu mau aku temani berkeliling mencicipi berbagai hidangan, bayimu pasti senang.” Mei mengangguk, dia mengikuti Alena yang berjalan lebih dulu darinya meninggalkan Danen yang masih berusaha menetralkan raut wajah paniknya.
Di sisi lain Aleon yang berdiri tidak jauh dari mereka menatap penuh duka wanita itu, dadanya kembali berdenyut ada banyak sekali beban ketika melihat sosok itu berjalan anggun. Dia semakin cantik dan bersinar terang Aleon mengakui itu, ada rasa rindu ingin memeluk tubuh yang sudah bukan lagi bagian dari dunianya, tapi sekuat apa pun rasa rindu itu Aleon sadar rasa benci dan kecewanya juga tidak kalah kuat ia tidak boleh lemah dia Aleon Hadikusuma pewaris HDM grup, ada banyak sekali orang yang ingin berada di posisinya jadi dia harus tetap berjalan dengan angkuh jangan jatuh hanya karena seorang wanita. Berkaca dari ayahnya, sosok tersebut juga tetap berjalan angkuh setelah melihat pengkhianatan sang istri bahkan sang ayah yang begitu dihormatinya juga bisa hidup dengan baik sampai detik ini. Percayalah pengkhianatan bukan apa-apa.
Tapi tanpa sadar Aleon terus mengikuti pergerakkan wanita itu, dia terlihat bahagia ditemani Alena di sampingnya, sepertinya pembicaraan dua wanita yang hamil tua memang menyenangkan. Mereka pasti saling berbagai pengalaman masing-masing dalam menyikapi kehamilan pertama ini.
Dari kejauhan, Aleon memandangi pemandangan yang terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Adik bungsunya tampak tertawa pelan, tangannya dengan polos menyentuh perut buncit wanita di depannya. Perut itu besar, sangat besar hingga Aleon tanpa sadar menelan ludahnya, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi jika tiba-tiba wanita itu melahirkan di tempat. Bayangan itu membuat pikirannya kacau: haruskah ia berlari, mengangkat tubuh itu ke rumah sakit, lalu berdiri di lorong bersalju dingin, menunggu kelahiran anak-anak yang… seharusnya bisa jadi miliknya?
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang mulai merambat liar di dadanya. Tapi justru napas itu membawa serta luka yang lama terkubur. Kerinduan, penyesalan, dan cinta yang belum mati. Dalam pikirannya, ia kembali hidup di dunia yang kini hanya menjadi angan—dunia di mana ia masih menjadi pendamping wanita itu, dunia di mana ialah yang seharusnya membelai perut itu penuh cinta, menyisipkan harapan dan doa setiap malam, menyiapkan rumah bagi kehidupan baru.
Namun dunia itu telah lama runtuh.
Wanita itu dengan wajah seindah sinar rembulan, dengan senyum yang dulu hanya untuknya kini bukan lagi miliknya. Bukan lagi dunianya. Ia adalah milik orang lain kini, berdiri di alam yang tak bisa lagi dijangkau Aleon, seolah terpisah oleh dinding kaca yang terlalu tebal untuk dihancurkan, tapi terlalu jernih untuk diabaikan.
Mengingat kenyataan itu, dadanya seperti diremas dari dalam. Ia menekan dadanya, jari-jarinya gemetar, mencoba menahan denyut luka yang mendesak keluar bersama setiap detak jantung. Tapi rasa sakit itu tidak pergi. Tanpa diperintah air mata pria jatuh dengan sendirinya, ia larut dalam kesedihan tanpa seorang pun yang mendengar jeritan hatinya.
“Sialan!” Aleon merutuki dirinya yang malah kembali ke masa kelam, tidak sepantasnya dia menangis di hari bahagia keluarganya. Ingin sekali dia langkahkan kaki jenjangnya untuk segera meninggalkan tempat ini, tapi dia tidak bisa netranya terus tertuju pada wanita itu. Pada akhirnya dia hanya bisa diam di tempat menikmati rasa sakit.
Bersambung.