Gita seorang istri yang tidak begitu di anggap keberadaanya oleh sang suami, tapi karena cinta membutakan Gita, hingga akhir di saat ulang tahun pernikahan yang ke satu tahun Gita yang ingin memberikan kejutan pada sang suami justru ia yang terkejut karena.
tanpa sengaja Gita melihat perselingkuhan sang suami dengan ibu kandungnya sendiri. hari itu ia mendapatkan kado penghianat ganda.
karena shock Gita pergi keluar dan mengalami kecelakaan, disaat itulah ia di nyatakan meninggal tapi tiba tiba tetak jantungnya kembali.
tapi itu bukan Gita yang dulu karena tubuh Gita sudah di masuki oleh seorang ratu penguasa jaman kuno yang mati karena penghianat. dan kini berada di tubuh Gita.
ingin tau kelanjutannya yuk mulai baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 – Pernikahan Tanpa Sentuhan
Hujan turun tipis saat Gita membuka tirai kamarnya. Udara pagi di kota Jakarta itu terasa lembap dan sepi, seperti perasaan yang telah mengendap di hatinya selama satu tahun terakhir.
Ia berdiri lama memandangi jendela, menanti keajaiban yang entah akan datang dari mana.
Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang pertama, tapi tak ada rasa bahagia di dalamnya.
Dion, suaminya, sudah berangkat sejak subuh. Dengan alasan yang sama seperti biasanya.
“Sayang, aku lembur. Deadline-nya gila banget.” ujar Dion yang sudah sangat di hafal oleh Gita
Karena ucapan itu sudah Gita dengar sejak awal menikah. Bahkan malam pertama mereka diwarnai dengan permintaan maaf Dion karena terlalu lelah setelah resepsi.
Gita waktu itu tersenyum, mencoba memaklumi, karena ia pikir cinta tak harus dimulai dengan nafsu. Tapi minggu demi minggu berlalu, bulan berganti, dan tak sekalipun Dion menyentuhnya sebagai seorang istri.
Banyak malam Gita menahan air mata sendirian. Kadang ia mengira mungkin dirinya yang tak cukup menarik, atau mungkin Dion hanya terlalu stres dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Ia mencoba jadi istri yang baik—memasak, membersihkan rumah, bahkan selalu menyambut Dion dengan senyum meski hatinya kering.
Teman-temannya pernah bertanya, “Kalian belum mau punya anak?”
Gita hanya tersenyum kecil. “Belum dikasih,” jawabnya.
Padahal, mereka bahkan belum pernah ‘berusaha’ untuk itu.
Hari ini, Gita memutuskan untuk mengambil cuti dari tempat kerjanya. Ia ingin memberi kejutan kecil untuk Dion. Ia memasak makanan kesukaan Dion: ayam panggang madu, nasi liwet, dan puding cokelat. Ia juga membeli kue ulang tahun pernikahan mereka sendiri—meski tak yakin Dion akan ingat hari ini.
Gita berdandan sederhana, mengenakan dress biru pastel, dan membungkus semua makanannya rapi dalam kotak-kotak kecil. Ia bahkan sempat merekam pesan video untuk Dion, berharap bisa memutar rekaman itu saat makan siang nanti.
“Selamat ulang tahun pernikahan, Mas. Gita sayang Mas Dion…” ucapnya di video, dengan senyum yang dipaksakan agar tampak bahagia.
Kantor tempat Dion bekerja berada di kawasan Sudirman. Sebuah gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang mencerminkan langit mendung di atasnya. Gita masuk ke dalam dengan membawa tas kue dan makanan. Ia sempat berpikir untuk menghubungi Dion lebih dulu, tapi buru-buru mengurungkan niat itu.
Namanya kejutan, ya harus diam-diam. pikirnya.
Ia menuju lantai 17, tempat ruang kerja Dion berada. Receptionist tidak mencegah masuk karena Gita sudah beberapa kali datang ke kantor suaminya. Dengan langkah ringan, Gita berjalan melewati lorong dan menuju ruangan Dion yang terletak di ujung.
Saat mendekati pintu, ia mendengar tawa. Tawa wanita
Langkahnya terhenti. Ia berpikir mungkin itu rekan kerja Dion. Tapi saat ia mengangkat tangan hendak mengetuk, pintu sedikit terbuka.
Dan apa yang dilihatnya saat itu… memecahkan seluruh isi hatinya.
Dion sedang berdiri memeluk seorang wanita—dan wanita itu bukan orang asing. Itu adalah ibu kandungnya sendiri.
"Hehehe.... Sayang geli.... Jangan nakal" ujar wanita itu
"Itu yang ku mau, agar kau merasa geli dan kita bisa mengulang lagi seperti tadi" ujar Dion
"Kau ini bagiamana jika istrimu yang bodoh itu tau, jika saat ini suaminya sedang memadu kasih dengan ibu kandungnya?" tanya wanita itu dengan senyum genitnya
"Tidak akan tau, aku sangat tergila gila pada ibu sejak awal kita bertemu" jawab Dion
Tubuh Gita membeku. Tangannya gemetar, kue di tangannya jatuh menghantam lantai dan hancur berantakan. Kedua orang di dalam ruangan itu langsung menoleh.
“GI—GITA?!” Dion panik. “Tunggu! Ini—ini nggak seperti yang kamu lihat!”
Ibu Gita melangkah maju dengan ekspresi kaget yang tak bisa ditutupinya. Tapi tak ada rasa malu atau menyesal di wajah wanita itu. Hanya rasa terganggu karena rahasianya ketahuan.
Gita menatap mereka berdua, matanya memerah, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar.
“Mas…” bisiknya pelan, “Ibu… kenapa…?”
Jantungnya berdentum keras. Dunia seakan runtuh menimpa dadanya. Selama ini, ia terus menyalahkan dirinya sendiri atas dinginnya Dion. Tapi ternyata, suaminya tidak menyentuhnya bukan karena terlalu lelah atau terlalu sibuk.
Bukan karena tidak punya waktu. Tapi karena dia menyukai wanita lain—dan wanita itu adalah ibunya sendiri.
Gita berbalik dan lari. Ia tak tahu ke mana. Ia bahkan tidak sadar saat Dion mengejarnya, memanggil-manggil namanya. Ia hanya berlari keluar gedung, melewati jalanan, tak peduli dengan mobil, hujan, atau siapa pun yang memandangnya.
Tangisnya pecah. Air matanya bercampur dengan rintik hujan. Jalanan di depannya kabur.
Dion sempat mengejar sampai keluar lobi, tapi ia tergelincir di tangga basah dan terjatuh. Saat kembali berdiri dan melihat ke jalan, Gita sudah tak ada.
Gita terus berlari.
Langkahnya limbung. Napasnya sesak. Hatinya seperti robek. Ia tak peduli saat klakson mobil meraung keras, tak sadar saat seberkas cahaya terang menyilaukan matanya.
BRAKKK!!!
Tubuh Gita terlempar ke aspal. Darah mengalir dari kepalanya. Matanya terbuka sesaat, lalu perlahan menutup.
Orang-orang mulai berkerumun.
Seorang wanita muda dengan jas putih keluar dari mobilnya. Wajahnya pucat.
“TUHAN! Aku menabraknya!” teriaknya panik.
Wanita itu langsung jongkok, memeriksa denyut nadi. Tangannya gemetar. Ia menghubungi rumah sakit tempatnya bekerja dan meminta ambulans segera.
“Bertahanlah… bertahanlah… aku mohon…”
Ia menggenggam tangan Gita erat.
Beberapa menit kemudian, di rumah sakit, Gita langsung dilarikan ke UGD. Dokter-dokter berlarian. Alat monitor jantung memperlihatkan detak jantungnya yang melemah. Hingga akhirnya…
BIP… BIP…
BIIIIIIIIIIP.
Satu garis lurus. Detak jantungnya berhenti.
Dokter wanita yang membawanya—namanya dr. Amanda—berdiri terpaku. Ia ingin menangis. Semua usaha pertolongan dilakukan: CPR, kejut jantung, bahkan injeksi darurat. Tapi Gita tak merespons.
“Tidak…” bisik Amanda, suaranya gemetar. “Jangan mati… tolong…”
Beberapa detik berlalu. Diam. Hening. Semua orang di ruang UGD mulai kehilangan harapan.
Tiba-tiba—
BIP… bip… bip… bip…
Detak jantung kembali. Perlahan. Tapi pasti.
Gita mengerjap pelan. Matanya terbuka.
Namun tatapan itu adalah tatapan yang berbeda. Mata itu tajam. Tenang. Seperti mata seorang pemimpin.
“Aku… di mana ini…?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Suara itu bukan suara Gita yang biasa. Masih suara yang sama, tapi nadanya berbeda—lebih berat, dalam, dan tegas.
dr. Amanda menangis lega. “Kamu hidup… syukurlah…”
Gita menatap sekeliling. Lalu menatap Amanda.
(Wanita ini… dia menabrak tubuh ini. Tapi bukan karena niat. Dia merasa bersalah. Dia… wanita baik.)
Gita mengedip. Ia tidak mengerti dari mana ia tahu isi hati Amanda. Tapi semuanya terasa jelas di kepalanya. Bahkan ia tahu bahwa salah satu dokter di ruangan itu sedang menyesali pilihan hidupnya.
bersambung
sukses terus thor. . karya mu aku suka👍👍👍👍semangat😇😇💪💪💪