Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.17
Nathan sendiri memikirkan kemungkinan dimana Zahira berada, dia merasa tak tega saat melihat wajah lelah Axel. Tadi pagi-pagi sekali, mereka sempat melakukan panggilan video dan meminta dirinya untuk datang.
"Aku harus menemukan, Zahira." Gumam Nathan.
Dia keluar dari kamar dan mencari sang adik, bisa dipastikan jika Ana belum lah bangun. Dia selalu saja menonton drama kesukaannya sampai larut malam, ditambah lagi ada Aiyla yang menemani.
Dan benar saja, kedua gadis tersebut masih bersembunyi di dalam selimut. Dengan ponsel yang tergeletak di bawah, Nathan menggeleng melihat mereka. Waktu menunjukan pukul enam pagi.
"Ana, Aiyla. Bangun!"
"Lima menit lagi, Mom." Gumam Ana, lalu kembali memeluk guling kesayangannya.
"Kalau kalian, tidak bangun dalam waktu lima menit. Maka, kakak akan melemparkan kalian ke kolam renang dengan banyaknya es batu." Ancam Nathan.
"Satu ..."
"Dua ..."
"Ti ..."
"Iya, iya kita bangun nah." Kesal Ana, saat tadi sang kakak mengancam. Ana dan Aiyla masih santai, karena tidak mungkin Nathan akan melempar mereka ke kolam renang.
"Bagus, cepat mandi. Ada yang ingin kakak bicarakan," cetus Nathan, lalu keluar dari kamar sang adik.
Ana menghela nafas dengan kasar, dan membangunkan Aiyla agar cepat mandi di kamarnya.
"Ayo bangun, nanti kita di hukum sama kak Nathan." Kata Ana, dia sendiri sudah melipir menuju kamar mandi.
Bukannya beranjak, Aiyla malah kembali memeluk guling. Sepuluh menit kemudian, Ana sudah selesai melakukan ritual mandi. Saat melihat Aiyla yang masih meringkuk, dia berdecak dengan kesal.
"Astaga Aiyla, anaknya Mama Ameera Bapaknya Azriel." Pekik Ana, dia ingin sekali menyiram Aiyla. Namun, jika di pikir-pikir sayang juga jika terkena kasur dan boneka yang tergeletak di kasur.
Nanti dia juga yang harus menjemur, walau ada pembantu Ana harus memastikan semuanya dalam keadaan rapi dan bersih.
Akhirnya Ana mengabaikan Aiyla, memilih bersiap. Jika telat maka uang jajan menjadi taruhannya.
"Kak Nathan, selamat pagi." Ana mencium pipi sang Kakak, walau terlihat judes, jutek dan galak tapi Ana sayang. Sebab Nathan yang paling banyak memberikannya uang.
Nathan hanya bergumam lalu, kembali fokus pada ipad di depannya.
"Kakak mau menyusul, Daddy dan Mommy," celetuk Nathan, membuat Ana tersedak.
"Hah, serius? Memang mau apa, kak?" tanya Ana.
"Kakak, ingin bantu Daddy mencari Zahira."
"Aku ikut, yah!" sambar Ana dengan cepat.
"Tidak, kamu fokus saja mengurus cafe milik Kakak mu yang bodoh itu." Cetus Nathan. Ana memutar bola mata malas.
"Dia juga, adikmu." Gumam Ana, masih terdengar jelas oleh Nathan. Membuat Nathan melirik adiknya dengan tajam.
Pasrah Ana pun menuruti keinginan Nathan, hari ini dia akan ikut ke kantor. Untuk mengerjakan berkas penting, sementara Nathan dia akan menyelesaikan pekerjaan yang ada di luar, sedangkan cafe milik Neil, Aiyla yang mengelolanya dengan Erik.
****
Dua hari ini, Neil dengan setia menjaga Livia. Menurut dokter, bayi yang ada dalam kandungan Livia stres beruntung Neil datang tepat waktu. Jika tidak, bisa dipastikan anaknya dengan Livia sudah pergi.
Neil juga memikirkan Zahira yang jauh darinya, dia pasti baik-baik saja begitu pikirnya. Padahal, kedua orang tuanya tengah mencari Zahira ke sana ke mari.
"Sayang," lirih Livia.
"Kenapa? Apa ada, yang sakit?" tanya Neil.
"Tidak ada, anak kita baik-baik saja dan anteng. Aku cuma takut kamu meninggalkan aku lagi," ucap Livia dengan pelan.
"Tidak akan, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau perlu aku akan membawamu kemanapun aku pergi," cetus Neil, membuat Livia menyunggingkan senyum tipis terkesan sinis. Sangat senang, karena rencananya berhasil.
"Aku mencintaimu, Neil." Livia tersenyum ke arah Neil. Namun, Neil tidak membalas ucapan tersebut.
"Tidurlah, aku akan menjagamu."
"Peluk," rengek Livia dengan manja, siapa pun yang mendengarnya akan merasa mual dan kesal.
Neil pun menurut, dia naik ke atas ranjang yang muat untuk dua orang. Lalu memeluk Livia, bayangan Zahira yang menangis melintas begitu saja.
"Zahira, maaf ..."
Neil pun akhirnya terlelap karena terlalu lelah, dia hanya ingin tidur siang sejenak.
****
Ana tak hentinya mengumpat dan menggerutu pada angka-angka, yang membuatnya pusing setengah mati. Sudah tahu dulu saat sekolah, dia jurusan IPS bukan IPA.
"Mommy ..." Teriak Ana, dia ingin menangis tapi kakaknya Nathan selalu mengawasi dia walau jarak jauh.
"Sudah tahu, kelemahanku di hitung-hitungan. Apa kak Nathan gak salah kasih kerjaan sama aku?" kesal Ana, tak lama Aiyla pun datang dengan senyum cerah.
"Nih, kerjain." Titah Ana.
"Astaga, gue baru datang juga." Kesal Aiyla.
"Gak mau tau, pokoknya kerjain itu." Ana yang tak bisa diganggu gugat, langsung berdiri dan membaringkan tubuhnya di sofa. Aiyla pun pasrah-pasrah saja mengerjakan semuanya.
"Kita harus datangi, Neil." Putus Aiyla.
"Buat apa? Gak penting," sahut Ana dengan kesal, karena Neil dia jadi menderita. Aiyla tersenyum miring menatap sepupunya.
"Itulah kamu, yang selalu mengambil keputusan saat sedang emosi." Celetuk Aiyla. "sini aku, bisikin."
Aiyla membisikan rencananya pada Ana, membuat senyum Ana terbit dengan lebar.
"Oke, gue setuju siang ini abis makan siang." Putus Ana.
"Oke!"
Jam makan siang, sesuai rencana kedua gadis tersebut. Mereka melajukan mobilnya dimana Neil berada, tentu saja dengan seizin Nathan dengan alasan ingin refreshing sejenak.
"Jika semua karyawan, seperti kamu. Maka, bisa dipastikan perusahaan daddy bangkrut. Apa-apa refreshing, nyegerin otak lah ini lah, itu lah." Omel Nathan, saat Ana meminta izin. Namun, dengan bujuk rayunya Ana berhasil meyakinkan Nathan.
Dengan informasi dari anak buah Axel, yang selalu mengawasi Neil dan Livia. Berpuluh menit kemudian, mereka sudah sampai menatap klinik yang bertuliskan Ibu dan Anak.
"Kita masuk, atau gimana?" tanya Ana.
"Tunggu saja, Neil pasti keluar buat cari makan. Ehh! Kenapa kita gak minta, Om Axel. Buat bekuin kartu ATM Neil? Bisa dipastikan Neil akan kesusahan kalo gak ada uang." Aiyla memberikan ide, membuat Ana berpikir sejenak.
"Gue bakal bilang Daddy, nanti." Sahut Ana.
Kedua gadis tersebut hanya diam, memperhatikan dari jauh. Tak membutuhkan waktu lama, mereka melihat Neil keluar dari klinik tersebut.
Gegas Ana dan Aiyla turun, mereka masuk ke dalam klinik. Walau klinik tapi memiliki tempat rawat inap, mereka menanyakan tentang Livia ke bagian informasi. Setelah mendapatkannya dengan cepat Ana dan Aiyla melangkah ke ruang perawatan Livia.
Livia sendiri tengah bersantai, sambil memakan buah. Dia menunggu makan siang yang dibelikan oleh Neil, pintu terbuka membuat Livia mengalihkan perhatiannya.
"Ohh ... Pelakor sedang bersantai, rupanya." Cibir Ana.
"Ka-kalian, mau apa kalian kesini?" tanya Livia.
"Piknik," sahut Aiyla dengan ketus.
"Menjenguk wanita, yang tidak tahu diri." Sarkas Ana, tersenyum miring.
"Pelakor," sambung Aiyla.
"Hey! Jaga mulut lo, gue bukan pelakor." Bentak Livia, membuat Ana dan Aiyla tertawa.
"Kalau bukan pelakor, lalu disebut apa namanya. Wanita yang mengganggu suami orang?" tekan Ana menatap tajam Livia. Namun, Livia tak gentar sama sekali dia tak takut pada anak kemarin sore seperti Ana dan Aiyla.
"Awalnya Neil milikku, bukan milik Zahira." Terang Livia, lagi-lagi membuat Aiyla dan Ana tertawa merasa lucu.
"Astaga, halu dia Ai." Kekeh Ana.
"Jika lo lupa gue kasih tahu, Livia. Lo yang ninggalin kakak gue di saat upacara pernikahan, ingat?" jelas Ana, Livia menelan ludah dengan kasar mana mungkin dia lupa saat akan menikah dia malah diculik oleh Miller.
"Gue ... Gue bisa jelasin," kata Livia, belum sempat Ana bicara pintu terbuka dari luar.
"Ana, Aiyla? Kalian, ada disini?" tanya Neil.
Membuat Livia memulai aktingnya, dia menangis saat Neil menghampirinya.
Bersambung...
Maaf typo
emang enak