Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Satu
Dipta merasa kegelisahan selama mengikuti rapat. Pertemuan dengan rekan bisnisnya kali ini dilakukan di luar kota. Tadi dia tak sempat mampir ke rumah Vania. Sehingga pikirannya hanya tertuju pada Khanza.
Dia telah mencoba menghubungi Vania, agar bisa bicara dengan Khanza. Namun, gawai gadis itu di luar jangkauan. Sebenarnya Dipta masih malas bicara dengan sahabatnya itu. Dia masih berpikir jika Vania yang menghasut mamanya untuk menjodohkan mereka.
"Apa nomorku telah di blokir Vania? Kenapa dari tadi aku tak bisa menghubunginya? Coba saja Khanza mau aku belikan handphone, pasti aku bisa langsung bicara dengannya tanpa melalui Vania," gumam Dipta.
Konsentrasi pria itu tidak pada rapat yang berlangsung. Dia masih saja terus memikirkan Khanza. Entah mengapa hatinya merasa gelisah.
Dipta terus memperhatikan layar gawainya, berharap Vania akan membalas pesannya atau Khanza akan mau berbicara dengannya. Tapi, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari mereka. Dipta merasa frustrasi dan gelisah, tidak bisa fokus pada rapat yang sedang berlangsung.
Pikirannya terus melayang pada Khanza, dan dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Kenapa Khanza tidak bisa dihubungi? Apakah dia baik-baik saja?" Dipta terus bertanya-tanya, merasa semakin khawatir.
Setelah selesai rapat, Dipta langsung pamit. Tak peduli apa hasil dari rapat tersebut. Dia sudah tak sabar ingin bertemu Khanza.
"Kenapa hatiku gelisah begini? Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Khanza," ucap Dipta dalam hatinya.
Dipta bergegas meninggalkan ruang rapat, langkahnya cepat dan penuh ketegangan. Dia langsung menuju ke mobilnya, berharap bisa segera menemui Khanza.
Saat mengemudi, Dipta terus memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada Khanza. Dia mencoba menghubungi Vania lagi, tapi masih tidak berhasil.
"Apa yang terjadi? Mengapa aku tidak bisa menghubungi mereka?" Dipta merasa semakin khawatir, dan ketegangan di hatinya semakin meningkat. Dia berharap bisa segera bertemu dengan Khanza dan memastikan keselamatannya.
Dipta terus mengemudi dengan pikiran yang berantakan. Dia merasa seperti berada di jurang keputusasaan, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengetahui keadaan Khanza. Dia ingin segera sampai ke rumah Vania.
Beberapa jam mengemudi akhirnya Dipta sampai di rumah Vania. Dia langsung berlari masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Baru saja masuk ke ruang keluarga dia melihat bibi sedang menangis. Perasaan cemas semakin Dipta rasakan.
"Bi, ada apa? Kenapa Bibi menangis?" tanya Dipta.
"Mbak Khanza, Mas ...."
"Kenapa dengan Khanza?" tanya Dipta memotong ucapan Bibi.
"Mbak Khanza tidak ada di kamar. Bibi tak memperhatikan. Saat sore, karena tak melihat Mbak Khanza keluar dari kamar, bibi lalu memanggilnya. Tapi ternyata Mbak Khanza sudah tak ada," ucap Bibi.
Mendengar ucapan bibi, Dipta langsung berlari menuju kamar wanita yang dia cintai itu. Langkahnya terhenti saat membuka pintu, tapi tak ada siapa-siapa.
Dipta memeriksa lemari dan melihat sebagian kosong. Dia yakin Khanza telah pergi. Pria itu keluar dari kamar dengan langkah pelan. Dia menemui bibi kembali.
Dipta berdiri di depan Bibi, wajahnya pucat pasi karena kecemasan yang luar biasa. "Apa yang telah terjadi, Bi? Mengapa Khanza pergi tanpa meninggalkan jejak?" tanya Dipta, suaranya penuh dengan ketakutan dan kekecewaan.
Bibi menundukkan kepala, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. "Bibi tidak tahu, Mas. Bibi benar-benar tidak tahu apa yang membuat Mbak Khanza pergi. Bibi hanya tahu bahwa dia telah pergi, dan Bibi merasa sangat bersalah karena tidak bisa menahannya."
Dipta merasa seperti dihantam badai, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Khanza telah pergi tanpa pamit. "Apa yang terjadi sehingga Khanza memutuskan pergi tanpa pamit?" tanya Dipta lagi dengan suara frustasi.
Bibi mencoba menenangkan Dipta, tapi pria itu terlalu terpukul untuk mendengarkan. "Bibi juga tak tau, Mas. Tadi pagi kami masih membuat sarapan. Mbak Khanza dan Mbak Vania juga sarapan bareng. Setelah itu Mbak Vania pamit pergi. Bibi tak memperhatikan lagi karena sibuk kerja," ucap Bibi.
Dipta menggelengkan kepala, tidak bisa menerima jawaban Bibi. "Apa ada kata-kata Vania yang menyakiti Khanza? Aku tidak percaya. Aku harus menemukannya, aku harus tahu apa yang terjadi padanya." Dipta berlari keluar dari rumah, meninggalkan Bibi yang masih menangis di belakangnya. Dia tidak tahu kemana harus pergi, tapi dia yakin bahwa dia harus menemukan Khanza.
Saat Dipta mau masuk ke mobil, dia melihat mobil Vania memasuki halaman rumah. Pria itu lalu mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia menunggu hingga Vania keluar dari mobilnya.
Setelah memarkirkan mobil, kedua bidan yang ikut dengan Vania langsung masuk melihat Dipta yang memandangi mereka dengan tatapan tajam. Vania juga tampak tergesa ingin masuk ke rumah. Dia masih tak mau bertemu Dipta.
Saat Dipta ingin masuk, tangannya langsung ditarik Dipta. Dia mencengkeramnya dengan kuat, tak peduli gadis itu meringis kesakitan.
"Apa yang kau katakan sehingga Khanza memutuskan pergi?" tanya Dipta dengan suara tinggi.
"Aku tak mengerti maksudmu, Dipta. Aku tak mengatakan apa pun pada Khanza. Memangnya dia bicara apa?" Vania balik bertanya.
Vania memang belum tahu tentang kepergian Khanza. Dia dari pagi mematikan jaringan gawainya agar tak terganggu saat seminar.
"Jangan berpura-pura, Nia! Jika kamu memang tak mengatakan apa-apa tak mungkin Khanza pergi dari rumah ini!" seru Dipta.
"Khanza pergi dari rumah?" Vania bertanya dengan raut wajah terkejut.
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍
tapi kali ini dia berada di tempat yang tepat.
tanpa ada konflik dalam hubungan orang...
semoga kamu betah ya Khanza...
hadapi rintangan dengan senyuman...