Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 21
Melati menghela napas panjang sebelum akhirnya membalikkan badan, menghadap langsung pada Romlah. Kedua tangannya kini bertolak pinggang, ekspresinya penuh ketegasan bercampur kesal.
“Datang-datang langsung marah-marah, Bu Romlah. Gak tahu dulu perkaranya, tapi sudah nyolot duluan,” katanya sedikit ketus.
Romlah, perempuan setengah baya dengan sorot mata tajam dan suara yang kerap meninggi, berdiri sambil menyempitkan mata. Ia memelototi Melati dari balik pagar seolah sedang menilai musuh lamanya.
“Lho, aku cuma nanya, kok kamu bentak anak kecil? Itu si Mia kan masih polos. Emangnya pantas kamu tengking begitu di depan banyak orang?” sentaknya.
Melati mendecak. “Saya gak bentak, Bu Romlah. Saya cuma menegur—baik-baik! Karena kalau anak gak dikasih tahu sekarang, nanti makin jadi. Apa Bu Romlah pikir robot mahal itu tumbuh sendiri dari tanah?”
“Alah, dasar kamu tuh ya, selalu merasa paling benar!” balas Romlah tajam. “Mentang-mentang situ punya menantu kayak, suka seenaknya sama orang lain.
Melati mengerjap. “Apa hubungannya itu semua sama anak-anak mainan? Saya cuma minta Mia minta maaf karena dia lempar robot Aidan sampai rusak. Itu robot mahal, Bu. Bukan robot seribuan yang bisa dibeli di pasar malam!”
“Cih,” gumam Romlah. “Makanya, jangan kasih anak-anak mainan mahal-mahal. Ujung-ujungnya nyalahin anak orang.”
"Astaga..." Melati bergumam lemah, mulai kehabisan kesabaran, tapi juga tahu betul siapa yang sedang ia hadapi. Percuma rasanya meladeni Romlah, karena mulut perempuan itu memang lebih cepat dari logika.
Romlah mendekati Mia yang masih berdiri di atas bola-bola, menarik tangan cucunya untuk turun. “Jahat banget jadi orang, cucu orang dimarahin kayak gitu. Kasian Mia, padahal dia nggak ngerti apa-apa. Dasar tetangga sok bijak.”
Maizah hanya berdiri di samping pintu, menggendong Aidan yang menyembunyikan wajahnya di leher ibunya. Ia tak berkata apa-apa. Hanya menatap Romlah dengan pandangan malas. Masalah kecil di halaman rumah bisa berubah jadi keributan kampung kalau Romlah ikut campur.
Mia ikut berjalan di belakang neneknya, menunduk, tak bicara sepatah kata pun. Tapi baru beberapa langkah, Melati membuka suara lagi, kini lebih lantang.
“Eh, jangan pulang dulu. Tanggung jawab dong, itu robot cucu saya rusak loh. Main lempar begitu aja. Saya nggak ikhlas kalau pergi gitu aja tanpa ada itikad baik.”
Romlah berbalik cepat. “Kamu ini kenapa sih? Menantu kamu kan kaya, bule pula. Masa robot doang dimasalahin segitunya? Pelit amat, kayak gak rela keluar duit!”
“Masalahnya bukan uangnya, Bu Romlah,” Arvid yang sejak tadi diam di sisi kanan rumah akhirnya bicara, tenang tapi jelas. “Itu bukan soal harga, tapi soal bagaimana anak belajar menghargai sesuatu."
“Lagian,” lanjutnya dengan tatapan lurus ke Romlah, “Saya memang mampu beli yang baru. Tapi kami gak mau anak kami tumbuh dengan pikiran kalau semua yang rusak cukup diganti pakai uang."
Romlah sempat terdiam. Ia tak menyangka menantu Melati akan bicara sejelas itu. Tapi alih-alih mengalah, ia malah mendengus.
“Ngomong aja pinter, padahal ujung-ujungnya tetap nyalahin cucu saya! Kenapa anak kamu gak jagain aja mainannya baik-baik?”
Matthew yang mendengar itu langsung menoleh dari kursi teras, tempat ia memperbaiki robot Max. “Saya udah ajarin Aidan jaga baik-baik, Bu. Tapi gimana bisa dijaga kalau mainan dilempar orang?”
Romlah kini tampak mulai bingung. Ia mencari pembelaan, tapi semua yang ia hadapi hari itu bukan orang sembarangan.
Melati maju satu langkah, suaranya melunak tapi tetap jelas. “Bu Romlah, saya gak pernah benci Mia. Saya juga sayang sama anak-anak. Tapi yang namanya salah ya harus diberi tahu. Saya gak minta uang ganti rugi, saya cuma ingin Mia paham bahwa lempar-lempar barang orang itu bukan cara menyelesaikan masalah.”
"Mia nggak sengaja, Nek," cicil Mia pelan, berdiri di samping Romlah sambil bersembunyi di balik tubuh neneknya. Suaranya lirih, hampir tak terdengar, tapi cukup bagi semua orang untuk mendengarnya.
Romlah segera menyambar ucapan itu sebagai tameng. "Tuh kan, dengar sendiri. Cucu saya gak sengaja. Namanya juga anak-anak, ya. Mereka tuh suka bercanda. Mainan doang masa dipermasalahin?"
Melati mengerutkan kening, suaranya menegang. “Bercanda? Rusakin mainan yang harganya bisa beli motor, dibilang bercanda? Saya heran deh, Romlah, dari tadi cara berpikir kamu itu…”
Arvid berdiri perlahan, menepuk punggung Maizah lembut. Istrinya sudah gelisah, apalagi Aidan yang masih memeluk leher sang ibu dengan pipi sembab. Matthew berdiri di sisi sang adik, tampak kesal tapi berusaha menahan diri.
Melihat situasi yang makin panas, Maizah berbisik ke suaminya, “Aku bawa anak-anak masuk ya. Nggak bagus kalau mereka dengar orang dewasa ribut begini.”
Arvid mengangguk. “Aku juga sebentar lagi masuk. Urus ini sedikit lagi.”
Maizah lalu menuntun Matthew dan Aidan masuk ke dalam rumah. Aidan masih memeluk Max dengan erat, sementara Matthew menatap robot itu dengan sedih. Tentu saja dia ikut sedih juga, mainan itu dibelikan karena keinginannya.
Melati kini berdiri tegap, menatap Romlah lurus-lurus. “Romlah, saya nggak masalah kalau kamu mau bela cucu. Tapi jangan ajarkan dia untuk lari dari tanggung jawab. Hari ini dia lempar mainan cucu saya. Lain kali, siapa tahu dia lempar sesuatu yang bisa menyakiti orang.”
Romlah menyilangkan tangan di dada. “Ck, dasar kamu itu selalu membesar-besarkan masalah.”
“Karena saya orang tua. Dan saya bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada anak dan cucu saya. Kalau saya diam, itu bukan sabar, itu pengecut.”
Mia tampak canggung, kini berdiri di samping Romlah tanpa suara. Sesekali ia mencuri pandang ke arah rumah.
“Gini aja deh,” kata Arvid akhirnya, suaranya tenang tapi membawa ketegasan. “Saya nggak minta ganti rugi, Bu. Tapi tolong ajari Mia untuk meminta maaf dengan benar. Bukan karena disuruh, tapi karena mengerti. Kami di rumah selalu mengajarkan anak-anak bahwa ketika mereka menyakiti orang lain, meski tidak sengaja, mereka tetap bertanggung jawab.”
Romlah membuka mulut, tapi tak jadi berbicara. Mungkin karena ia tahu, di balik bahasa halus itu, ada sindiran tentang bagaimana ia membesarkan anak dan cucunya.
Karena egonya, Romlah tidak ingin menyuruh cucunya untuk meminta maaf. Masa ia sudah di kalah dengan Melati, anaknya, Melani sudah dikalahkan dengan Maizah, anaknya Melati. Sekarang, masa cucunya juga akan tunduk sih.
"Yaudah nanti aja, lagian anaknya juga lagi di dalam rumah. Ayo Mia," Romlah langsung menarik Mia dari sana membuat yang lain geleng-geleng kepala melihatnya.
Benar-benar ya si Romlah-Romlah itu, sudah tua juga enggak berubah-berubah juga. Dari dulu suka banget cari gara-gara sama melati. Emang dasar.
Tbc.
semangatttt