Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nama Tuan Kecil
"Amira."
Lagi sibuk memikirkan tentang ibu dari Tuan Kecil, suara lirih memanggil nama Amira. Ia menoleh, dan betapa terkejutnya ternyata yang manggil adalah Ardi, mantan suaminya. Sendirian. Tidak tampak istri barunya di sekitar. Amira sempat heran, apa yang Ardi lakukan di sini? Setahunya, jabatan Ardi di perusahaan tidak begitu tinggi-tinggi amat, hanya seorang supervisor, kalau ingatannya benar.
"Amira? Kok kamu ada di sini?" tanya Ardi.
"Harusnya aku yang tanya, Mas Ardi kenapa ada di sini?"
"Ya… tentu saja untuk menghadiri ulang tahun neneknya bos, tempat istriku bekerja."
"Oh, sama berarti."
"Kamu juga? Demi ulang tahun nenek bos tempat suamimu kerja? Tapi… sejak kapan kamu menikah lagi?" Ardi bertanya dengan nada sedikit gelisah. Di dalam hati, ia masih menyimpan rasa untuk Amira. Bagaimanapun, Amira pernah menemaninya dari nol. Meski mereka telah berpisah, rasa sayang itu belum sepenuhnya hilang.
Soal perlakuan dia yang dulu bejat, dia akui dia memang salah. Ardi mikir dirinya terlalu terpengaruh apa kata ibu dan kakaknya. Jadinya rumah tangga bersama Amira, hancur.
Kini hidup bersama Lisa, yang semula ia kira akan membahagiakan, malah membuatnya merasa hampa. Lisa memang sukses dan berkarier tinggi, tapi di balik itu, ia menekan Ardi. Lisa kerap mengingatkan bahwa dia yang paling berkuasa. Jika Ardi macam-macam, keluarganya bisa jadi korban.
Ardi merasa tertekan. Semakin hari, bayangan Amira justru makin kuat di dalam pikirannya.
"Aku nggak nikah lagi. Tapi aku lah yang bekerja di sana."
"Kamu bekerja di sana? Bagaimana bisa? Ijazah kamu kan...eh..." Ardi terhenti. Lidahnya tercekat. Hampir saja ia mengucap sesuatu yang menyakitkan seperti dulu. Ardi lupa kalau dia tidak boleh semena-mena lagi dengan mulutnya.
"Ijazah aku hanya sampai SMP ya, iya aku paham. Tapi bukankah Allah memberikan rejeki tanpa melihat ijazah? Bukankah benar begitu, Mas?"
Ardi termenung. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana mungkin dulu ia begitu bodoh melepas wanita seperti Amira. Bahkan kini dimata Ardi, paras Amira sangat menawan. Jauh lebih cantik dari sewaktu menjadi istrinya.
"Kamu benar, Amira. Aku... minta maaf, ya, atas semua yang pernah aku lakukan ke kamu. Aku sadar aku salah. Boleh aku minta nomor HP kamu? Buat komunikasi saja. Aku ingin berteman."
Berteman dulu, lalu pelan-pelan aku akan meraihmu kembali, batinnya penuh harap.
Tapi Amira menatapnya tanpa senyum.
"Aku nggak mau berteman dengan suami orang. Jadi aku nggak bisa kasih nomor. Permisi." Ia berbalik hendak pergi, namun tangan Ardi tiba-tiba menahan lengannya.
Spontan Amira mengibaskan tangan itu, sama seperti ia pernah lakukan pada Bi Nunik. Kali ini bahkan lebih cepat. Lantas bekas cekalan tangan Ardi dia usap-usap seolah jijik ada bekas jejak tangan laki-laki itu.
"Maaf, aku nggak bermaksud nyentuh kamu atau gimana. Refleks aja nahan kamu pergi. Obrolan kita belum selesai, Amira. Aku masih--"
"Cukup. Cerita kita sudah selesai."
Tidak lama kemudian, suara Lisa terdengar memanggil dari arah belakang.
"Mas Ardi." Wanita itu mendekat, lalu berdiri di samping suaminya dengan senyum tipis dan sikap penuh kendali.
Ia membisikkan sesuatu di dekat telinga Ardi, namun cukup jelas bagi Amira yang masih berdiri tak jauh dari mereka.
"Mas, kamu dari mana aja? dari tadi aku cari-cari kamu tahu. Lain kali kamu nggak perlu terlalu larut ngobrol dengan orang-orang di sini. Mereka terbiasa dalam lingkungan yang berbeda, yang levelnya lebih tinggi dari kamu, sayang. Aku hanya takut kamu jadi bahan pembicaraan karena obrolan kamu tidak sesuai dengan mereka."
Lisa mengelus lengan Ardi dengan gaya lembut, senyum di wajahnya tetap terjaga. Tapi kalimatnya menusuk.
"Aku tahu kamu berusaha berbaur, tapi kadang ada hal-hal yang nggak perlu dipaksakan. Jadi lebih baik kamu tidak berbaur lebih jauh agar aku tidak terkena malu nantinya."
Amira mendengar semuanya. Sekilas ia tersenyum kecil.
Dulu aku yang kau peringatkan supaya nggak bikin malu. Sekarang lihat, Mas Ardi. Karma itu datang tanpa perlu aku minta.
...****...
Seolah hari itu tidak memberinya jeda dari kejutan, setelah pertemuan tak terduga dengan mantan suami dan istrinya, kini Amira kembali dihadapkan pada sosok lain. Kali ini, Tuan Kecil datang menghampiri dalam gendongan seorang wanita yang tadi sempat Amira lihat duduk berdua dengan Tuan Arga. Namun kini hanya wanita itu dan si kecil yang datang. Tuan Arga tidak terlihat.
Belum sempat wanita itu memanggil, Amira lebih dulu melangkah cepat menyambut mereka. Terutama menyambut Tuan Kecil yang sudah mengulurkan tangan mungilnya tanda ingin berpindah ke pelukan Amira.
Dengan gerakan lembut, Amira meraih bayi itu. Tuan Kecil langsung tertawa saat berada dalam dekapan Amira. Tawa si bayi dibalas Amira, lalu ia segera membungkuk sopan ke arah wanita yang berdiri di depannya.
Wanita itu tersenyum tipis.
"Apakah kamu yang bernama Amira?
Kok tahu? Batin Amira. "Iya, Nona. Saya Amira, pengasuh Tuan Kecil."
Wanita itu tertawa elegan. "Perkenalkan, saya Valerie." Ia menjulurkan tangan dengan anggun. "Senang bertemu denganmu."
Amira menyambut salam itu dengan sopan, mengangguk hormat sambil menggendong Tuan Kecil yang masih asyik berceloteh di pelukannya.
"Senang juga bertemu dengan Nona Valerie," ujar Amira sopan.
Valerie tersenyum lembut. "Terima kasih, Amira. Kamu sudah menjaga cucu saya dengan penuh kasih sayang. Akhirnya, si kecil Arkha Pandya Winata menemukan sosok wanita yang tulus yang bisa menggantikan peran seorang ibu dalam hidupnya."
Amira tercekat sejenak. Cucu? Dalam hati, ia nyaris sulit menelan ludah. Nona ini nenek dari Tuan Kecil? Tapi rasanya tidak masuk akal. Penampilannya masih begitu muda dan anggun. Tidak tampak seperti nenek pada umumnya.
"Nenek?" Amira mengerutkan kening, ragu-ragu. "Saya pikir Nona adalah istri Tuan Arga. Lagipula... Nona terlihat sangat muda jika disebut sebagai nenek."
Valerie tertawa kecil.
"Oh, tidak. Saya bisa mengerti kenapa kamu berpikir begitu. Saya bukan ibunya Arga. Arga itu anak dari kakak saya. Jarak usia saya dan kakak cukup jauh, sehingga saya dan Arga sering terlihat seumuran. Jadi, secara teknis saya ini bibinya Arga. Dan karena Arkha adalah anak Arga, bukankah dia bisa kupanggil cucu juga? Meskipun mungkin bukan secara langsung."
Amira mengangguk pelan, akhirnya dia mengerti silsilahnya. Namun Amira merasa ada yang tidak masuk akal. Mana ada keluarga bos berbicara sedetail ini hanya pada seorang pengasuh bayi. Dan baru sekarang Amira juga menyadari satu hal, Valerie tadi langsung tahu namanya. Amira akhirnya tidak bisa menahan rasa penasaran.
"Maaf, Nona, kalau saya boleh tanya, kenapa tadi Nona langsung menanyakan apakah saya yang bernama Amira? Padahal kita belum pernah bertemu sebelumnya."
Valerie tersenyum tipis.
"Karena kamu sering disebut di cerita--"
"Jangan bergosip!"
Sebuah suara tegas memotong tiba-tiba. Amira menoleh. Tuan Arga sudah berdiri di sana, entah sejak kapan. Sorot matanya tidak bersahabat.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus