Pengembaraan seorang pendekar muda yang mencari para pembunuh kedua orang tuanya.Ia berkelana dari satu tempat ketempat lain.Dalam perjalanannya itu ia menemui berbagai masalah hingga membuat dirinya menjadi sasaran pembunuhan dari suatu perguruan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggembara
Antasena menatap nanar puing-puing bekas rumahnya yang hangus dilalap api. Asap tipis masih mengepul dari sisa-sisa kayu yang menghitam, seolah menguarkan kepedihan yang menyesakkan dadanya.
Dengan langkah gontai, Antasena mendekati puing-puing itu. Matanya terpaku pada sepasang kerangka manusia yang tergeletak di antara reruntuhan. Tulang-belulang itu tampak rapuh, namun Antasena dapat mengenali dengan jelas bentuk tubuh yang dikenalnya sejak kecil.
Antasena terjatuh. Lututnya tak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Air matanya menetes tak tertahankan. Diusapnya dengan kasar butiran-butiran bening yang membasahi wajahnya.
"Kenapa? Kenapa semua ini terjadi?" rintihnya. Tangannya terkepal kuat, buku-buku jarinya memutih menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
Pandangannya kembali tertuju pada dua kerangka yang tergeletak di antara puing-puing. Ia bangkit, tertatih mendekati sisa-sisa orang yang paling dicintainya.
"Ayah... Ibu...," panggilnya lirih, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Sungguh kejam orang yang memperlakukan kalian seperti ini, " ucap Antasena dengan rasa marah yang membara.
Diraihnya dua tengkorak itu, memeluknya erat. Seakan tak rela kehilangan untuk kedua kalinya. Bisikan-bisikan kenangan manis kembali terngiang di telinganya. Masa kecilnya yang dipenuhi tawa, kasih sayang, dan perlindungan dari kedua orang tuanya.
Dengan perasaan sedih Antasena kemudian mengubur dua kerangka ayah dan ibu yang terbakar di halaman depan rumah. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya.
Tanah merah itu kini telah rata kembali, menutupi dua jasad orang yang paling dicintainya di dunia. Antasena terduduk lemas di samping gundukan tanah itu, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Rasa kehilangan yang begitu besar menyesakkan dadanya, meninggalkan lubang menganga dalam hatinya.
Di tengah kesedihannya, amarah mulai berkobar dalam jiwa Antasena.
"Semua ini pasti berhubungan dengan orang orang dari semeru waktu itu, aku yakin sekali." ucap Antasena, teringat dengan kejadian saat dia bersama ibunya bertarung dan membunuh orang orang dari perguruan Semeru lima hari yang lalu.
Antasena menyipit tajam, amarahnya mulai membakar jiwanya. "Kalian akan merasakan pembalasanku! Aku bersumpah tidak akan ada yang tersisa dari kalian!" geramnya, tangan mengepal erat.
Antasena bangkit berdiri, tekad membara di dadanya. Ia harus mencari tahu siapa dalang di balik semua ini dan membalas dendam atas kematian orang tuanya. Tidak peduli siapa mereka, Antasena tidak akan pernah memaafkan satu orang pun yang terlibat pembunuhan kedua orang tuanya.
Dengan langkah mantap, Antasena meninggalkan puing-puing rumahnya.Dia kemudian melangkah menuju ke rumah kecil di belakang untuk mengambil pedang buatan ayahnya yang ia simpan di sana.
Begitu membuka pintu ia langsung terkenang saat dia dan ayahnya bersama sama membuat senjata. Rasa kesedihannya semakin mendalam saat Antasena melangkah masuk,matanya berkaca-kaca. Ia ingat betul bagaimana ayahnya dengan sabar mengajarinya cara menempa besi, mengasah mata pedang hingga menjadi tajam.Antasena lalu meraih pedang yang tergantung di dinding "Ayah...," bisiknya lirih, "Aku berjanji akan menggunakan pedang ini untuk membalaskan dendammu."
Antasena juga tidak lupa mengambil beberapa pisau kecil buatannya dan menyimpan di balik bajunya. Setelah mengambil pedang dan pisau itu Antasena pun segera pergi meninggalkan desa Parang Sari dengan perasaan campur aduk, antara sedih,marah dan benci.Dalam benak Antasena saat ini adalah perguruan Semeru biang keladi kematian ayah dan ibunya.
Antasena menyusuri jalan setapak dii tengah hutan,sementara matahari mulai meninggi, menyinari wajahnya yang tegar. Hutan belantara yang lebat menanti di depan, menjadi medan pertempuran pertama bagi pemuda itu.
Setiap dedaunan yang bergeser dan setiap suara binatang yang terdengar membuatnya semakin waspada. Ingatan tentang kedua orang tuanya yang terbunuh terus menghantui pikirannya. Dengan hati penuh dendam, Antasena terus berjalan menyusuri hutan.
Malam tiba, dinginnya angin malam menerpa tubuhnya. Antasena mencari tempat berteduh di bawah pohon besar. Ia mengeluarkan bekal makanan dan air minum seadanya. Sambil menikmati makan malamnya, ia merenungkan langkah selanjutnya.
"Dengan kekuatan ku saat ini apakah kira kira aku sudah mampu jika bertarung dengan para pendekar dari Semeru, " gumam Antasena.
"...Ataukah aku masih perlu menempa diriku lebih jauh?" Antasena merenung, tatapannya menerawang jauh ke langit malam yang berhiaskan bintang-bintang di kejauhan. Bayangan para pendekar sakti dengan ilmu tingkat tinggi menari-nari di benaknya.
Seperti apa ilmu mereka? Siapa saja yang paling disegani? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanyanya.
"Sepertinya aku perlu mencari informasi lebih dulu," gumamnya.
"Ibu pernah menyebut nama Nyai Langsang dan Pranudira,apakah mungkin kedua orang itu yang merupakan orang berkuat di Semeru, " ucap Antasena, seraya menyandarkan dirinya pada pohon besar di belakangnya.
Malam semakin larut, namun Antasena tak kunjung memejamkan mata. Bayangan pertarungan dengan para pendekar Semeru terus menghantuinya. Dinginnya angin malam yang menusuk tulang seakan tak dihiraukannya. Pikirannya berkecamuk, antara rasa percaya diri dan tidak dengan ilmu yang di milikinya sekarang ini.
Antasena akhirnya dapat memejamkan mata di saat lewat tengah malam melupakan beban pikirannya.
Sinar mentari pagi mulai menembus celah-celah dedaunan, menyinari jalan setapak yang dilalui Antasena. Embun pagi yang membasahi rerumputan dan pepohonan di sekitarnya membuat suasana hutan terasa segar. Semangat baru pun kembali menyala dalam diri Antasena. Ia melangkahkan kakinya dengan lebih cepat, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya Antasena sampai di sebuah jalan besar. Jalan itu ramai dilalui oleh para pedagang, petani, dan pengelana. Suara derap kaki kuda dan roda pedati beradu dengan riuh rendah percakapan orang-orang yang berlalu-lalang. Antasena menghentikan langkahnya sejenak, mengamati keramaian di sekitarnya.
Ia merasa sedikit canggung berada di tengah keramaian seperti ini. Selama ini, ia lebih sering menghabiskan waktu di hutan atau di gua, jauh dari hiruk pikuk manusia. Namun, ia sadar bahwa ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Ia harus bisa berbaur dengan orang-orang, mencari informasi tentang para pendekar Semeru.
"Permisi, Tuan," sapa Antasena kepada seorang pedagang yang lewat. "Bisakah Tuan menunjukkan jalan menuju ke Perguruan Semeru?"
Pedagang itu menghentikan langkahnya, menatap Antasena dengan ramah. "Semeru? Ah, tempat itu jauh sekali dari sini, Anak Muda. Kau harus berjalan ke arah timur, melewati beberapa desa dan hutan serta sungai barulah Anak Muda sampai di sana."
Antasena mengerutkan kening. "Jauh sekali?" gumamnya. "Apakah ada cara yang lebih cepat untuk sampai ke sana?"
Pedagang itu tersenyum. "Tentu saja ada. Kau bisa menumpang kereta kuda yang menuju ke arah timur. Tapi, kau harus membayar biayanya."
Antasena merogoh kantongnya, namun ia baru menyadari bahwa ia tidak membawa uang sepeser pun. Ia terbiasa hidup di desa, di mana ia bisa mendapatkan makan dari ayah dan ibunya, setiap hari. Ia tidak pernah membutuhkan uang.
"Apakah Anak Muda bermaksud menimba ilmu di sana,? " tanya pedagang itu.
"Ah, tidak tuan, " jawab Antasena.
"Sepertinya aku harus berjalan kaki," gumam Antasena. "Terima kasih atas informasinya, Tuan."
"Sama-sama, Anak Muda," jawab pedagang itu. "Semoga perjalananmu lancar."
Antasena kembali melanjutkan perjalanannya, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pedagang tadi. Ia berjalan dengan langkah tegap, menyusuri jalan besar yang ramai. Meskipun perjalanan masih jauh, ia tidak merasa putus asa. Ia yakin, ia pasti akan sampai di perguruan Semeru.