Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08
POV Raka
.
.
Setelah mencarinya ke seluruh tempat yang memungkinkan didatangi oleh Gendhis. Akan tetapi, aku tidak dapat menemuinya.
Memahami perasaan tidak semudah itu, aku merasa sangat sedih ketika mengetahui bila secara tidak langsung telah membuatnya terluka.
Aku mengetuk pintu rumah Ibu dengan tangan gemetar. Rasanya aneh, seperti kembali ke masa kecil setiap kali aku datang ke sini membawa masalah. Tapi kali ini, aku membawa masalah yang jauh lebih besar.
Pintu terbuka, dan Ibu berdiri di sana dengan wajah yang langsung mengerut begitu melihatku. “Raka! Kamu di mana saja? Cepat masuk!”
Suaranya yang biasanya lembut terdengar berbeda—lebih tegas, lebih menusuk. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu, merasa seperti seorang anak kecil yang akan dimarahi karena membuat kesalahan besar.
“Kamu tahu kenapa Ibu meneleponmu sejak pagi tadi?” tanya Ibu begitu aku duduk.
Aku hanya mengangguk lemah, tidak berani menatap matanya. Aku merasa Ibu mengetahui sesuatu tentang Gendhis. Biar bagaimana pun, ibuku sangat dekat dengan istriku.
“Gendhis menelepon Ibu tadi malam,” katanya dengan nada yang mulai bergetar. “Dia bilang dia pergi. Kamu tahu apa artinya itu, Raka? Dia meninggalkanmu!”
“Ibu...”
“Jangan ‘Ibu’ Ibu saja! Jelaskan, Raka! Apa yang kamu lakukan sampai perempuan sebaik Gendhis memutuskan pergi?” Suaranya meninggi, membuatku semakin tenggelam dalam rasa bersalah.
Aku menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku... aku tidak tahu, Bu. Dia hanya bilang dia lelah. Lelah denganku. Dia tidak mengungkapkan apa pun lagi tentang hal itu."
“Lelah?” Ibu memotong dengan tajam. “Apa kamu kira Ibu bodoh? Perempuan seperti Gendhis tidak akan meninggalkan rumahnya tanpa alasan yang sangat kuat! Jadi, apa yang kamu lakukan, Raka?”
“Aku... aku mungkin tidak cukup memperhatikannya,” jawabku pelan.
Ibu berdiri dari sofa, melipat tangan di depan dada. Matanya memerah, dan suaranya mulai bergetar. Yang kutahu, Ibu akan menangis di detik berikutnya.
“Tidak cukup memperhatikan? Itu alasanmu? Kamu tahu betapa Gendhis mencintaimu, Raka? Dia itu menantu yang Ibu banggakan! Dia sabar, dia perhatian, dia selalu ada untukmu! Dan kamu balas cintanya dengan tidak peduli?”
Aku tidak menjawab. Apa yang bisa aku katakan? Semuanya benar. Aku yang tidak pernah mendengarkan perasaan Gendhis sama sekali. Apa yang kulakukan menambah sakit hati Gendhis padamu. Aku merasa menjadi pria yang sangat bodoh dan tidak bertanggung jawab pada perempuan yang aku nikahi.
Ibu berjalan mondar-mandir di depan sofa, wajahnya penuh emosi.
“Ibu tidak habis pikir. Kamu ini anak Ibu, tapi kenapa kamu bisa sebodoh ini?” Dia berhenti dan menatapku tajam. “Kamu tahu, Raka, kalau kamu kehilangan Gendhis, itu salahmu sendiri. Kamu tidak pantas menyalahkan siapa pun.”
Aku menunduk, merasa kecil di hadapannya. “Aku tahu, Bu. Aku salah. Tapi aku sedang mencarinya sekarang. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
“Memperbaiki? Bagaimana caranya kamu mau memperbaiki? Dia sudah pergi, Raka! Apa kamu pikir dia akan mudah memaafkanmu setelah semua yang kamu lakukan?”
“Ibu, tolong,” kataku pelan. “Aku sedang mencoba. Aku benar-benar ingin dia kembali.”
Ibu terdiam sejenak, lalu duduk kembali di sofa. Dia menutup wajahnya dengan tangan, dan aku melihat air mata mulai mengalir di pipinya.
“Raka, kamu tahu betapa Ibu menyayangi Gendhis. Dia sudah seperti anak perempuan Ibu sendiri. Kalau dia sampai pergi, Ibu tidak tahu harus bagaimana.”
Aku tidak pernah melihat Ibu menangis seperti ini. Dadaku semakin sesak oleh rasa bersalah.
“Ibu...” Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepisnya.
“Jangan sentuh Ibu,” katanya sambil terisak. “Kamu sudah menghancurkan keluarga ini, Raka. Ibu tidak tahu apakah Ibu bisa memaafkanmu.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti dihantam gelombang besar yang terus-menerus menenggelamkanku. Semua perkataan ibuku benar, aku tidak dapat membantahnya sama sekali.
Bila memang Ibu tidak memaafkan kesalahanku itu adalah sebuah hal yang wajar karena kesalahanku memang teramat besar. Aku tidak dapat mengatakan apa pun dan hanya termenung melihat Ibu menangis.
Setelah beberapa menit, Ibu akhirnya menghapus air matanya dan menatapku dengan mata yang masih memerah. “Kalau kamu benar-benar mencintai Gendhis, cari dia. Temukan dia, dan bawa dia kembali. Kalau tidak, jangan pernah kembali ke rumah ini lagi.”
Kata-katanya menusuk hatiku. Aku mengangguk pelan, lalu berdiri. Tidak ada yang dapat aku bantah dari setiap perkataan Ibu. Aku terima bila Ibu tidak menginginkanku menginjak rumah ini lagi.
“Aku akan mencarinya, Bu. Aku janji.”
“Janji saja tidak cukup, Raka. Buktikan. Ibu ingin kamu benar-benar mencarinya. Tolong jangan buat Ibu merasa semakin bersalah. Ibu merasa semua menjadi salah Ibu menjodohkanmu dengan wanita sebaik Gendhis. Seharusnya, Ibu menjodohkannya dengan pria yang mencintainya," ucap Ibu membuatku sangat merasa bersalah.
"Aku akan mencari Gendhis, Bu. Aku akan menemukannya di mana pun dia berada."
Aku keluar dari rumah dengan hati yang semakin berat. Aku tidak hanya mengecewakan Gendhis, tapi juga mengecewakan Ibu.
Di dalam mobil, aku menatap ponselku yang tergeletak di kursi penumpang. Aku membuka aplikasi pesan dan mengetik pesan singkat:
“Aku mohon, Gendhis. Di mana pun kamu sekarang, tolong hubungi aku. Aku ingin bicara.”
Pesan itu terkirim, tapi seperti sebelumnya, tidak ada balasan. Kubuka aplikasi hijau dan mengirimi pesan. Akan tetapi, tetap saja tidak ada respon.
Aku menyalakan mesin mobil dan mulai melaju, dengan satu tujuan di kepala: menemukan Gendhis, apa pun yang terjadi.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca ❣️
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..