KEHADIRANMU MENGUBAH HIDUPKU bukan sedekar bicara tentang Cinta biasa namun tentang perjalanan hidup yang mereka lalui.
Diambil dari sebuah kita nyata perjalanan Hidup sebuah keluarga yang berasal dari keluarga miskin. Perselisihan dalam rumah tangga membuat Anak mereka yang baru lahir menjalani kehidupan tanpa seorang ayah. Sampai anaknya tumbuh dewasa. Perjalanan sebuah keluarga ini tidaklah mudah deraian air mata berbaur dalam setiap langkah mereka. Kehidupan yang penuh perjuangan untuk sebuah keluarga kecil tanpa adanya kepala keluarga. Mereka lalui dengan ikhlas hingga mereka menemukan kebahagiaan yang sedikit demi sedikit mereka dapatkan dan membuat mereka semua bahagia.
Bagaimanakah perjalanan kisahnya?
Ikuti terus Kisah ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SitiKomariyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Iman Dan Tisna
Marni terpaksa memasang susuk karena sudah tidak tahan dengan cercaan dari banyak orang. Setelah beberapa hari setelah pasang susuk marni mulai merasakan perubahan. Banyak orang mulai mengerti keadaannya.
Saat marni tengah berjalan bersama tisna ada seseorang yang menyapanya.
“ Mau kemana marni?" tanya seorang wanita.
“ Masyaallah ibu, apa kabar bu? Maafin marni ya bu belum sempat berkunjung kerumah ibu” ujar marni yang ternyata setelah ia membalikkan tubuhnya adalah ibu mertuanya.
“ Iya marni tidak mengapa, kalian mau pergi kemana? Lalu apakah ini tisna ?” tanya ibu Ani.
“ Iya bu ini tisna, kebetulan kami mau pulang. Aku baru saja dari rumah teman bu, ibu sendiri dari mana?" ujar marni.
“ Ibu dari tempat saudara, itu rumahnya" ujar ibu ani sembari menunjuk rumah yang terletak tidak jauh dari mereka berdiri.
Ibu ani mengajak marni untuk singgah dulu, tapi marni menolaknya dengan lembut. Bukan tidak mau mampir tetapi dari belakang terdengar suara iman memanggilnya.
Kemudian marni meminta izin untuk segera pulang pada ibu ani. Sebenarnya ibu ani begitu berat berpisah dengan marni, apa lagi setelah ia melihat cucunya tisna. Namun ibu ani terkadang juga menyempatkan diri untuk menjenguk marni dan tisna.
Setiap datang menjenguk mereka tak lupa ia selalu membawakan sedikit oleh-oleh untuk cucunya.
“ Sebenarnya tidak perlu repot-repot, ibu sudah mau datang kesini saja kami sudah senang” ucap iman yang kebetulan ia hanya berdua bersama tisna dirumah.
“ Tidak apa iman, maaf jarang sekali menjenguk tisna saat ini. Bahkan wajah tisna hampir saja tidak mengenalinya tempo hari dijalan. Mungkin akan lama lagi ibu tidak menjenguk tisna. Karena sekarang sudah mulai bercocok tanam di sawah. O..iya dimana marni, dari tadi ibu perhatian tidak ada.” Ujar ibu ani yang sedari tadi memperhatikan sekelilingnya.
“ Mba marni sudah pergi kesawah duluan bu, nanti saya juga mau menyusul bersama tisna. Saat mba marni pergi tisna masih tidur jadi tak tega mau membangunkannya bu” ujar iman sembari mengikat rambut tisna.
” Kalau begitu nanti sampaikan salam ibu pada marni. Tisna sayang, mau ikut nenek nak?” Ujar ibu ani sembari membelai wajah tisna.
Tisna kecil tersenyum begitu manis, hingga membuat ibu ani merasa gemas. Lalu ibu ani meletakkan tisna dipangkuannya. Tisna sebelumnya tidak mau tetapi iman memberikan arahan jika ibu ani juga neneknya. Barulah tisna mau dipangku.
“ Apa benar ibu nenek tisna? Tapi kenapa tisna tidak pernah lihat nenek ayah? Dan jajan untuk tisna mana nek?” ujar tisna serasa menengadahkan tangan.
Ibu ani kemudian mengeluarkan uang seribu rupiah dari dalam saku bajunya. Lalu diberikan pada tisna. Tisna begitu bahagia setelah mendapatkan uang dari neneknya. Yang tisna tahu saat ini hanyalah kesenangan dan kebahagiaan bagi seorang anak. Uang seribu rupiah di era tahun 1997 masih terbilang cukup banyak.
Namun ibu ani sempat merasa heran kenapa tisna memanggil iman ayah. Ibu ani memberanikan diri untuk menanyakan langsung hal yang mengganjal baginya pada iman. Iman menjawab dengan hati-hati agar tidak menyakiti hati ibu ani.
“ Maaf bu, namanya juga anak-anak. Mungkin karena setiap harinya bersama saya, jadi menganggap saya sebagai ayahnya. Jika nanti sudah dewasa pasti bisa mengerti bu” ujar iman menjelaskan.
“ Iya iya, ada benarnya juga iman. Tapi tolong jangan sampai dia tidak mengenal ayahnya sendiri. Ibu tahu kusno sudah sangat menyakiti marni, tapi walau bagaimana juga kusno tetaplah ayah kandung tisna” jawab ibu ani lirih.
“ Ibu tenang saja, kami tidak akan membuat tisna melupakan ayah kandungnya. Tapi jangan salahkan kami atas semua kejadian yang tisna alami. Mungkin suatu saat dia bisa menerima atau tidak kenyataan yang ia hadapi. Tapi sudahlah bu ani jangan terlalu dalam memikirkan masalah ini. Lagi pula sekarang tisna masih kecil, biarkan dia bahagia” ujar iman dengan nada lirih.
“ Baiklah iman, ibu bisa memahami perasaan kalian semua. Termasuk tisna, tapi ajaklah dia sesekali kerumah ibu." Jawab ibu ani yang sedang duduk bersebelahan dengan tisna yang sedang bermain.
Tak berselang lama ibu ani pamit untuk pulang, ia memeluk Tisna dengan erat kemudian mengecup kening tisna. Tisna merasa senang banyak orang yang menyayanginya. Setelah kepulangan ibu ani tisna mulai banyak bicara ini dan itu. Lalu ia juga menanyakan nama seseorang pada iman. Yang membuat iman tak habis fikir, ternyata tisna mendengarkan percakapannya bersama ibu ani. Padahal saat berbincang dengan ibu ani ia memelankan suaranya agar tak terdengar tisna.
“ Ayah, ayah, kusno itu siapa ayah?" tanya tisna ingin tahu.
“ Oo.. Kusno itu anak nenek yang tadi, dia sedang merantau jauh dan tidak tahu kapan akan kembali. Tisna masih kecil tidak boleh ikut campur urusan orang dewasa, lebih baik kita sekarang berkemas menyusul ibu kesawah." Ujar iman mengalihkan pertanyaan tisna.
“ Hore..hore.. Akhirnya kita kesawah, ibu tunggu tisna ya disawah. Tisna bawakan jajan untuk ibu dari nenek kusno” ujar tisna yang belum memahami keadaan.
“ Tisna bukan nenek kusno, tapi nenek ani” jawab iman meluruskan kata-kata tisna.
“ Hehehe iya ayah, maaf tisna salah. Ayo ayah cepat kita ketempat ibu, tisna sudah kangen sama ibu. Dari pagi tisna belum bertemu ibu" ujar tisna dengan manjanya.
“ Siap anak ayah! Ayo kita berangkat” ujar iman sembari menutup dan mengunci pintu rumah.
Mereka berjalan beriringan, terkadang tisna usil pada iman diperjalanan. Tisna mencubit tangan iman, lalu iman mengejar tisna. Mereka pergi kesawah hanya berjalan kaki, kini terlihat tisna sudah mulai kelelahan sedangkan perjalanan masih kurang 1 km lagi.
“ Tisna, sini ayah gendong. Tisna pasti sudah capekkan?" ujar iman sembari mengulurkan tangannya.
“ Tisna tidak capek ayah, tapi tisna haus minum ayah” ujar tisna sembri menelan ludah untuk mengurangi rasa hausnya.
“ Ini minumlah, setelah itu tisna ayah gendong saja. Nanti tisna sampai sawah kecapean” ujar iman sembari memberikan minum pada tisna.
Setelah minum tisna merasa tidak lelah lagi, kemudian ia berlari mendahului iman. Iman hanya menggelengkan kepalanya merasa heran melihat semangat keponakannya. Kemudian iman berteriak agar tisna tidak terlalu cepat larinya, dan berhenti untuk menunggunya.
Namun ternyata tisna terus berlari karena suara iman tidak terdengar jelas oleh tisna. Akhirnya iman terpaksa berlari mengejar tisna, takut tisna tersesat dijalan. Iman tergopoh-gopoh saat mengejar tisna. Kemudian ia sudah hampir mendekati tisna tapi tisna terjatuh karena tersandung sebuah kayu yang menghalang jalan. Tisna menangis begitu pilu menahan rasa sakit di kakinya.
“ Huhuhu, ayah! ayah! sakit ayah! Huhuhu” ucao tisna sembari menangis memegangi kakinya yang terkena kayu.
Iman segera membopong tisna lalu mendudukkan tisna di pinggir jalan sembari membalut luka dikaki tisna karena terlihat darah mengalir dari kaki tisna. Beruntungnya tidak dalam dan tidak kesleo.
“ Tadi ayah sudah bilang, tisna ayah gendong saja. Tapi kenapa tisna lari, jadi terjatuh sekarang. Lain kali hati-hati dan dengarkan apa kata ayah ya nak?” ujar iman setelah selesai membalut luka marni menggunakan kain yang baru ia sobek dari taplak meja yang digunakan untuk membungkus bekal mereka.
“ Maafkan tisna ayah, tisna janji akan menuruti perintah ayah. Ayah jangan sedih, kaki tisna tidak sakit kok ayah, hanya keluar darah sedikit saja" ujar tisna.
“ Benar tidak sakit? Coba ayah pencet ya boleh tidak?” ujar iman menggoda tisna.
“ Jangan ayah, nanti darahan lagi. Sakit ayah!” Jawab tisna sedikit kesal pada iman.
“ Hahaha, ya sudah ayo ayah gendong. Ibu pasti sudah menunggu kita di sawah. Ingat ya tisna harus nurut apa kata ayah dan ibu” ujar iman menasehati tisna.
“ Baik ayah, maafkan tisna ya?” ujar tisna dengan wajah memelas.
Iman begitu gemas melihat wajah tisna saat memelas. Kemudian iman segera menggendong tisna kemudian melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai di sawah, iman segera menuju kegubuk. Ia meminta tisna agar tetap digubuk sementara iman memanggil ibu ning dan marni untuk segera istirahat dan makan dulu. Karena hari sudah siang dan terdengar azan berkumandang.
“ Iya , tunggu digubuk iman kami segera kesana!” teriak marni dari kejauhan.
Kemudian marni mengajak ibu ning untuk segera beristirahat. Ibu ning segera menyudahi pekerjaannya, ibu ning dan marni sedang menanam padi. Setelah mereka digubuk, alangkah terkejutnya marni melihat kaki tisna terbalut kain.
“ Nak apa yang terjadi padamu, kenapa bisa seperti ini tisna?” Tanya marni begitu khawatir pada tisna.
Saat melihat ibunya, tisna memperlihat mimik wajah sedih lalu menangis.
“ Huuuaaa huhuhu ibu sakiiittt sekali huhuhu” tisna memeluk ibunya sembari menangis.