WANITA SIMPANAN SUAMIKU

Aku mengambil tiga piring dan tiga sendok di dapur lalu membawanya ke meja makan, di meja makan sudah terdapat ibu dan ayah mas Ridwan yang menungguku untuk sarapan.

Lima tahun usia pernikahan ku dengan mas Ridwan, baru kali ini dia berani menampar ku. Aku tidak tau sejak kapan sifat tempramental mas Ridwan itu keluar, mungkin karena dia ingin melindungi Sinta mati matian jadi dia berani kasar pada ku dan juga berani melawan ucapan ayah ibunya.

Ya, seperti yang pernah ku ceritakan dulu.

Jika mas Ridwan adalah sosok yang nyaris ku anggap sempurna, karena apa?

Dia tak pernah sekalipun membantah ucapan ayah maupun ibu mertua ku itu, dia sangat menyayangi ke dua orang tuanya, dan juga ia sangat menghormati ku sebagai seorang istri. Hanya saja tingkah mas Ridwan mulai berubah dalam satu tahun ini, mas Ridwan sudah jarang meluangkan waktunya lagi untukku. Bahkan dia juga mengabaikan ayah ibunya yang sudah jauh jauh datang dari luar kota menempuh tujuh jam perjalanan untuk melepas rindu pada putra semata wayangnya, tapi putranya justru memilih menginap di rumah wanita simpanannya dengan alasan ada pekerjaan di luar kota.

"Ini bu piringnya, minumnya ibu sama ayah mau apa?" tanya ku sembari meletakan piring di depan ayah dan ibu mertua ku.

"Air putih ae ayah." ucap ayah mulai membuka bungkusan nasi yang ku beli bersama ibu di pasar tadi.

"Kalo ibu, mau minum apa? Teh anget mau nggak bu?" tanya ku mentap ibu yang tampak diam, mungkin hati beliau terluka karena ucapan ucapan kasar mas Ridwan pada ibu.

"Nggak usah nduk, ibu sama seperti ayahmu air putih ae." ucap ibu menggelengkan kepala pelan.

"Oh, ya udah bu. Kalo gitu biar sari ambilin air putih dulu, ya." ucap ku tersenyum lalu berbalik arah berjalan menuju dapur.

"Iyo nduk." ucap ibu tersenyum.

Aku kembali ke meja makan dengan membawa nampan kecil yang berisi tiga gelas air putih.

Tiba tiba saja mas Ridwan turun dari tangga menggandeng tangan wanita simpanannya, ku lihat wanita itu masih memakai pakaian yang sama. Mungkin karena semalam dia belum membawa baju bajunya ke rumah ini, dan mas Ridwan sendiri hanya memakai celana kaos dalam berwarna putih dan celana kerjanya berwarna hitam.

"Sar, tolong ambilin baju mas yang ada di kamar. Tadi mas udah ke kamar tapi kamu menguncinya." ucap mas Ridwan yang masih berada di anak tangga.

"Kenapa kamu nggak ambil kemeja yang udah kering di tempat setrikaan aja?" ucap ku meletakan nampan kecil yang berisi tiga gelas air putih.

"Kan itu belom di setrika." ucap mas Ridwan.

"Sin, tolong setrikain kemeja mas Ridwan ya. Kan kamu istrinya, jadi udah kewajiban perempuan nglayanin suaminya kan?" ucap ku sembari menarik kursi lalu menjatuhkan tubuh ku di sana.

"Aku?" tanya Sari menunjuk dadanya sendiri.

"Emang di sini siapa lagi istri baru mas Ridwan kalo bukan kamu?" sahut ku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Sinta.

"Iya udah deh mas, biar aku setrikain kemeja kamu aja." ucap Sinta pada laki laki yang masih sah menjadi suami ku itu, lalu Sinta mulai turun ke bawah menuju area laundry room yang sudah lengkap dengan tempat setrika pakaian.

Jangan kaget jika Sinta tau semua ruangan di rumah ini, Sinta adalah sahabat baik ku yang sudah bertaun taun berteman dengan ku jadi wajar saja jika dia sering datang ke rumah ini karena aku selalu menyuruhnya untuk tidak sungkan dan menganggapnya rumah ini seperti rumahnya. Tapi dia malah kebablasan, sampai suamikupun juga ia anggap seperti suaminya.

"Iya udah, makasih banyak ya sayang." ucap mas Ridwan mengelus rambut Sinta yang terurai bebas.

Huekk.. Rasanya ingin muntah mendengar mas Ridwan memanggil wanita simpanannya itu dengan sebutan sayang, apa dia tidak malu pada ayah ibunya yang ada di depannya ini.

Sungguh, aku benar benar tidak habis fikir pada otaknya yang sudah mati karena cinta butanya pada Sinta.

Ibu hanya menggelengkan kepala pelan saat mendengar ucapan mas Ridwan pada Sinta, tapi beliau juga tidak menoleh sama seperti ku.

"Kamu cuman beli nasi tiga bungkus?" tanya mas Ridwan menoleh ke arah meja makan.

"Iya." ucap ku mulai menyuapkan nasi ke mulut ku sendiri.

"Terus buat aku sama Sinta mana?" tanya mas Ridwan.

"Kenapa kamu nanya ke aku mas? Apa aku ada kewajiban memenuhi nafkah buat Sinta? Dia itu istri kamu, dia harus bisa menerima berapapun nafkah yang kamu berikan. Jika lima juta menurutnya tidak cukup untuk membeli makanan di luar, suruh istri kamu buat masak. Apa susahnya sih masak setiap pagi, toh kamu juga selalu lembur pulang jam dua belas malam!" sahut ku kesal karena mas Ridwan selalu menanyakan hal tentang Sinta.

Apa dia pikir Sinta itu anak bayi yang harus di suapi oleh ibunya baru bisa kenyang?

Benar benar membuat ku jengkel saja.