Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Langkah Anjani mantap. Meski bajunya sederhana—hanya kemeja putih bersih dan celana panjang berwarna krem—namun auranya begitu tenang dan elegan. Di sebelahnya, Raka berjalan dengan ekspresi datar. Tapi hatinya mendidih.
Tangannya mengepal. Ia menahan amarah saat melihat wajah Riki yang pucat begitu melihat Anjani muncul tanpa luka sedikit pun. Lusi pun jelas-jelas terkejut, matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan sekaligus ketakutan.
Di sisi lain, Mirna menatap Anjani dari ujung kaki sampai kepala, matanya membulat. Dulu, ia hanya melihat menantunya itu memakai daster lusuh di dapur, menggoreng tempe, menyapu halaman. Tapi sekarang, Anjani berdiri anggun seperti wanita berkelas.
Sementara itu, Lusi mencibir dalam hati, “Sial... Anjani masih hidup. Dan sekarang malah bersama laki-laki tampan. Ini gak bisa dibiarkan. Aku harus merebut pria itu dari dia. Siapa pun dia.”
Mirna mendekat dan membuka suara dengan ketus, “Kamu ya... belum juga resmi cerai, udah gandeng laki-laki lain?”
Anjani berhenti sejenak, menoleh, tersenyum tipis. “Mmm... lalu bagaimana dengan anak ibu? Belum resmi cerai juga, tapi udah menikah lagi, kan?”
Mirna tercekat. Tak bisa menjawab. Matanya melirik sekilas ke arah Lusi.
Sementara itu, Lusi yang merasa ditatap tajam oleh Anjani langsung beralasan, “Aku ke toilet dulu.”
Dia berbalik cepat, bergegas menyusuri lorong pengadilan menuju toilet. Kakinya gemetar, bukan karena takut, tapi karena panik. “Sialan tatapannya... apa dia udah tahu kalau aku yang nyuruh orang buat celakain dia?” pikir Lusi.
Di sudut dekat toilet, Lusi menarik napas dalam, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia menekan nama Robert dengan gugup. Tiga kali nada sambung, akhirnya tersambung.
“Robert! Kamu bohongin aku! Ini aku ketemu Anjani langsung! Dia hidup! Kamu nipu aku!” suara Lusi bergetar menahan emosi.
“Hahaha...” suara Robert terdengar santai di seberang, “Lagipula kamu salah target. Dia itu dilindungi orang paling berbahaya. Kamu tuh salah cari lawan, Lusi.”
“Aku nggak mau tahu! Balikin uangku sekarang juga!” bentak Lusi.
“Hahaha... uang yang sudah diterima nggak bisa dikembalikan,” jawab Robert dengan tawa meledek.
“Kamu bakal nyesel, Robert! Kamu nggak tahu siapa yang kamu hadapi!”
“Siapa? Kamu? Anak koruptor bangkrut? Hahaha... kasihan amat,” suara Robert terdengar semakin menghina.
“Robert... dasar gila!!!” Lusi menjerit.
Beberapa orang di lorong pengadilan menoleh. Pandangan mereka membuat Lusi merasa seperti badut. Ia ingin membanting ponselnya ke lantai, tapi mengurungkan niat itu. Ia sadar, itu satu-satunya ponsel yang ia miliki. Dan sekarang, dia bahkan tidak yakin masih punya cukup uang untuk beli ponsel baru
Di ruang sidang, suasana mulai memanas.
“Sidang perceraian antara Ny. Anjani dan Tn. Riki dibuka,” ucap hakim ketua dengan suara tegas. “Silakan kuasa hukum penggugat menyampaikan tuntutannya.”
Anjani menelan ludah. Meski terbiasa berbicara di depan umum, hari ini berbeda. Tangannya gemetar. Tapi bayangan pesan dari Rizki tiba-tiba muncul—tentang Riki yang memakai daster pink. Bibirnya tersungging senyum. Riki, yang melihatnya tersenyum, mendesis kesal.
Pengacara Anjani berdiri. “Kami mengajukan gugatan cerai atas dasar KDRT nonfisik, penelantaran, dan perselingkuhan. Klien kami memiliki bukti berupa percakapan, serta beberapa foto pernikahan tergugat dengan perempuan lain saat masih terikat pernikahan sah.”
“Keberatan, Yang Mulia,” sela pengacara Riki cepat. “Penggugat telah meninggalkan rumah tanpa izin dan tidak menjalankan kewajiban sebagai istri. Bahkan, kami menduga adanya tindakan perselingkuhan dari pihak penggugat.”
Anjani langsung berdiri. Suaranya tenang namun menusuk. “Saya meninggalkan rumah karena tidak kuat dengan perlakuan suami saya. Ia berselingkuh, dan parahnya, perselingkuhan itu didukung oleh keluarganya sendiri.”
Tiba-tiba, Mirna menghentakkan tangan ke meja. Wajahnya dibuat seolah menyesal. “Anjani... kalau ibu salah, ibu minta maaf, nak. Ibu hanya ingin kalian kembali bersama. Riki memang khilaf, tapi semua itu ibu lakukan demi masa depan Riki. Ia butuh istri yang berasal dari keluarga terpandang. Ibu cuma ingin yang terbaik.”
Riki memalingkan wajah, bingung. Ini di luar skenarionya. Ia pikir ibunya akan marah-marah seperti biasa, bukan bersandiwara.
Sementara itu, dalam hati, Mirna menyusun siasat. Aku harus menyatukan mereka kembali. Setelah semua harta Anjani berpindah tangan, Riki bisa mencampakkannya kapan saja.
Tiba-tiba, Adi berdiri. Matanya berkaca-kaca. “Anjani… kamu menantu terbaik kami. Kami mohon kamu pikirkan kembali. Maafkan Riki. Ingat, menyandang status janda itu berat. Jadi bahan gunjingan. Kembali saja pada Riki. Dan kalau bisa, terimalah istri keduanya. Poligami tidak melanggar undang-undang, juga tidak bertentangan dengan syariat.”
Ruangan hening. Semua mata tertuju pada Anjani.
Anjani menarik napas dalam. “Saya tidak takut jadi janda, Pak Adi. Saya lebih takut hidup dengan pria yang tak tahu diri, dan keluarga yang mendukung pengkhianatan. Jika menurut kalian poligami sah, maka silakan Riki jalani hidupnya. Tapi tidak bersama saya.”
Anjani duduk kembali, tenang.
Hakim mencatat sesuatu di berkasnya. Sidang terus berlanjut, tapi satu hal jelas—Anjani tak akan mundur. Tidak lagi.
Hakim menatap kedua belah pihak dengan mata tajam dan suara tegas.
“Setelah mendengarkan pernyataan dari kedua pihak, majelis memutuskan untuk menunda sidang selama dua minggu guna memberi kesempatan pada mediasi antara penggugat dan tergugat. Pengadilan Agama mewajibkan proses mediasi sebelum memutuskan perceraian.”
Mirna spontan berdiri, memasang wajah penuh harap. “Bagus, Yang Mulia. Terima kasih… saya yakin, mereka bisa kembali bersama.”
Riki hanya melirik ibunya sekilas. Wajahnya tegang. Ia tidak mengharapkan sidang ditunda. Ia ingin cepat selesai, apalagi tahu reputasinya bisa tercoreng jika bukti perselingkuhan benar-benar dibuka di depan umum.
Anjani menghela napas berat. Dia tahu, proses ini tidak akan mudah. Dari raut wajah dan gerak-gerik keluarga Riki, sudah jelas motif mereka bukanlah mendamaikan, apalagi menebus kesalahan. Mereka hanya ingin sesuatu: harta.
“Baik, Yang Mulia. Saya menghormati keputusan ini,” ucap Anjani pelan, suaranya terdengar datar tapi tegas.
“Iya, saya juga bersedia mediasi,” sahut Riki cepat. Tatapannya sekilas melirik ke arah Raka yang berdiri tenang di samping Anjani—kehadiran pria itu seperti bensin bagi bara cemburu dalam dadanya.
Begitu sidang ditutup, Mirna, Adi, Riki, dan Lusi langsung menghampiri. Mereka tersenyum, tapi senyuman itu tidak hangat—lebih menyerupai topeng yang menyembunyikan racun.
“Anjani... pikir panjang dulu,” ucap Mirna pelan, tapi sarat tekanan. Ia mendekat, lalu menjulurkan tangan seolah ingin berjabat, namun suaranya berubah mengancam. “Lebih baik kamu kembali ke Riki sebelum aku buka bukti perselingkuhan kamu dengan petinggi kementerian.”
Anjani menatap Mirna datar. “Apa mau kalian sebenarnya?” tanyanya tenang, tanpa gentar.
“Kami hanya ingin kamu kembali dengan Riki,” jawab Adi cepat. “Aku tahu kamu masih mencintainya. Ingat perjuangan Riki dulu? Uang rupiah demi rupiah ia kumpulkan buat ke Lampung, demi menikahimu.”
Anjani mengulum senyum pahit. Ia membuka tas, mengambil map merah, lalu berdiri perlahan. Langkahnya tenang, namun penuh makna. Ia berjalan mendekati Adi dan berhenti hanya sejengkal darinya.
“Jangan pernah coba menghalangi perceraian ini. Aku tahu siapa ayah dari anak yang dikandung Lusi—dan itu bukan Riki,” bisiknya lirih, tajam menusuk.
Adi terdiam. Wajahnya memucat. Tangannya yang tadi ingin menyentuh pundak Anjani kini gemetar di samping tubuhnya.
Lalu Anjani berjalan melewati Lusi. Ia berhenti sejenak di depan wanita itu dan berbisik dingin, “Dan kamu, jangan berpikir aku nggak tahu kamu nyuruh orang buat celakain aku. Aku punya buktinya.”
Wajah Lusi berubah drastis. Seketika, senyumnya lenyap. Matanya membelalak, seolah melihat hantu di siang bolong. Kedua bahu wanita itu bergetar menahan ketakutan.
“Pak, tadi Anjani bisik apa ke Bapak?” tanya Mirna penuh curiga.
Adi menoleh pelan. Wajahnya pucat, dan suaranya terdengar gugup. “Mmm... anu, Bu... sebaiknya kita biarkan saja mereka bercerai.”
“Lho, nggak bisa dong, Pak!” sahut Mirna sengit. “Pilihan kita cuma dua: dia kembali ke Riki, atau dia serahkan hartanya. Kalau nggak, kita ancam pakai bukti perselingkuhannya!”
Adi menyipitkan mata. “Emang kamu punya buktinya?”
“Lusi yang punya,” jawab Mirna yakin sambil melirik menantu pilihannya itu.
Namun saat mata Adi berpaling ke arah Lusi, wajah Lusi langsung berubah tegang. Ia menunduk, jelas terlihat panik.
“Lusi itu punya koneksi kuat. Pasti bisa atur orang dalam di pengadilan,” tambah Mirna mencoba meyakinkan.
“Benar, Pak! Bantu kami, Lus. Kita harus dapat bagian kita!” desak Mirna lagi.
Lusi tergagap. Ia tahu, tak ada bukti. Bahkan ayahnya kini tengah dijerat kasus korupsi. Alih-alih punya koneksi, yang ia miliki sekarang hanyalah bayang-bayang kehancuran.
Tapi.. kayanya bakalan lucu kalau si Firman yg dan bucin duluan nantinya 😂😂👍