Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Bapak
"Mas, barusan saya sudah memberikan kabar pada orang tua di kampung, tapi Bapak pengin ngomong dulu sama Mas, apa Mas Aarav mau?" tanyaku berhati-hati, begitu kami sudah masuk ke dalam mobil.
"Kamu kirimkan saja nomor Bapak, nanti aku yang akan menelepon beliau," ucap Aarav, aku pun langsung mengirimkan nomor kontak Bapak ke nomor calon suamiku.
Tidak lama kami pun sudah sampai di rumah Aarav, dan begitu sampai di rumah, Aarav memang langsung menguhubungi Bapak, dan aku pun langsung menyiapkan sarapan, memang tadi pagi kami tidak sarapan dulu di rumah Mamih Misel itu semua karena Aarav yang ingin sarapan di rumah agar lebih akrab, ujarnya.
Aku dari dapur terus menatap Aarav yang nampak sangat serius ngobrol dengan Bapak di taman belakang. Rasa penasaranku semakin tinggi ketika beberapa kali indra penglihatanku melihat Aarav memijit pelipisnya dan melemparkan kepala ke belakang seolah ia sedang menghadapi masalah yang amat berat.
Konsentrasiku untuk menyiapkan sarapan pun jadi sedikit terganggu. Aku tahu bagaimana sifat Bapak yang kadang sedikit keras. Kalau belum kenal bisa saja sakit hati dengan ucapan Bapak.
Hampir satu jam Aarav berkomunikasi dengan Bapak, dan kini nampak kembali dengan wajah yang terlihat murung. Aku sudah sangat yakin kalau Bapak mengeluarkan kata-kata yang kurang mengenakan. Itu bisa aku lihat dari wajah Aarav yang seolah menanggung beban berat.
"Bapak ngomong apa Mas?" tanyaku sembari tanganku menyiapkan hasil olahan ala kadarnya.
Aarav mengulurkan ponselnya, dan aku yang sangat penasaran pun langsung meraih ponsel majikan aku. Tubuhku langsung lunglai ketika membaca pesan yang Bapak kirimkan. Kelopak mataku langsung memanas, aku merasakan kalau air mataku sudah ingin meluncur dari sudut mata.
Namun, sebisa mungkin aku menahanya, aku tidak mau dicap cengeng. Jangan masalah semacam ini, saat diriku dipermalukan karena gagal menikah pun aku mencoba untuk tidak menangis dihadapkan orang-orang sekali pun itu adalah orang tuaku. Aku hanya menangis ketika aku mengadu dengan Robku rasa sesak aku tumpahkan disaat aku menghadap kepada-Nya.
Dengan gemetar aku mengembalikan ponsel pada Aarav. "Kalau gitu jangan dilanjutkan lagi pernikahan ini Mas. Aku tidak ingin membuat beban untuk Anda," jawabku. Bagaimana bisa aku tidak berkata membuat beban pada calon suamiku. Ternyata orang tuaku meminta seserahan yang cukup fantastis.
[Lydia itu anak kepala desa, tiga adiknya saat menikah, calon suaminya membawakan mas kawinnya mobil, sertifikat sawah dan uang ratusan juta, serta perabotan lengkap. Setidaknya kalau mau menikahi Lydia, kamu bawaanya sama dengan adik-adiknya.] Itu adalah pesan yang dikirimkan oleh Bapak. Sungguh aku malu sekali dengan calon suamiku.
"Masalah perhiasan yang sudah Anda beli, bisa Anda jual lagi, dan kalau ada kerugianya saya akan menggantinya. Saya memang tidak memiliki uang sebanyak itu, tetapi kalau untuk mengganti kerugian Insya Allah saya masih mampu," ucapku dengan suara yang berat. Tenggorokanku sangat sakit karena menahan marah, kecewa dan juga malu. Aku ingin lari ke kamar saat ini juga dan menagis karena perlakuan Bapak.
Aku jadi berpikir mungkin alasan laki-laki enggan menikahi aku karena permintaan Bapak yang cukup berat, kadang ada seseorang yang berpikir ketika kita meminta karena kita matre, mereka bukan tidak punya tetapi ketika menikah dan dipatok dengan permintaan dari pihak perempuan yang cukup berat mereka memilih mundur, karena ada yang merasa kurang nyaman.
Sedangkan adik-adikku mungkin saja barang yang mereka berikan ada andil dari uang tabungan adik-adikku intinya agar suami mereka terlihat kaya dan mapan, sehingga mereka mau melakukan apapun.
Dadaku sangat sesak, pantas saja Aarav dari kemarin murung mungkin dia sudah memiliki firasat kalau semuanya akan gagal. Dari tadi Aarav tidak memgucapkan obrolan sepatah katapun, laki-laki itu hanya sesekali membalas pesan dari layar ponselnya.
Setelah aku mencuci wajah, dan kembali aku pasrahkan semua jalan hidupku pada Tuhan. Mungkin ini teguran Tuhan agar aku tidak terlalu berharap pada manusia. Yah semalam aku sangat berharap dan meyakini bahwa semua ini akan indah pada waktunya, tetapi pagi ini, aku sudah pasrahkan dan akan belajar ikhlas sekali pun pernikahan aku akan gagal untuk ke sekian kalinya.
Seperti sebelumnya aku menyiapkan sarapan untuk majikan aku dengan sop cream jagung dengan mushroom, tentu di tambah dengan dada ayam sebagai pelengkap protein, agar lebih kenyang tahan lama begitu kira-kira.
"Sarapan dulu Mas, masalah Bapak jangan dipikirkan lagi, dan aku nanti akan mencari alasan untuk menggagalkan pernikahan kita," ucapku dengan menyodorkan sup yang masih hangat dalam mangkuk, dan air putih tentunya.
"Saya tidak tahu Anda suka atau tidak dengan menu kali ini, tetapi saya berharap dengan sup ini bisa mengangkat beban pikiran Anda." Aku pun ikut menikmati sarapan sehat itu. Yah, aku jadi ikut dengan kebiasaan majikan aku di mana pagi hari tidak makan karbo berat, meskipun aku masih cocol jus cream jagung dengan roti tawar gandum. Itu semua karena aku merasa tidak kenyang kalau tidak makan karbo.
"Terima kasih, aku pasti suka karena masakan kamu selalu enak," jawabnya, padahal majikan aku belum mencicipinya tapi sudah bilang enak. Ah, mungkin dia memang sudah bisa tahu rasa dengan mencium aromanya saja.
"Masalah pernikahan biar aku dan Bapak yang mengurusnya. Kamu cukup diam saja, dan biarkan urusan maskawin atau apalah itu dalam tradisi kamu, aku yang akan mengurusnya. Kamu cukup tunggu orang tua kamu akan menikahkan kita pada tanggal berapa."
"Bushhh... tumbuhku langsung full power."