Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.
Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.
Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Nyawa Melayang
Seorang pria mendengarkan laporan anak buahnya.
“Jadi Dara dan Irsad yang berada di balik berita viral tentang Rizal Anantara. Mereka pasti menduga kematian Riza terkait dengan kematian Gadis. Kita harus bergerak lagi. Hati-hati dengan Dara, dia yang paling setan dari semua Anantara,” titahnya sebelum memutus sambungan telepon.
***
Darius dan Dara serius menyimak penjelasan Irsad.
“Kamu nggak apa sekarang? Perlu diperiksa kepala kamu?” Darius bertanya dengan nada cemas.
“Saya baik-baik aja, Pak.”
“Mungkin diperiksa buat sekalian benerin yang korslet,” celetuk Dara masih dengan wajah prihatin.
Darius menahan tawa mendengar komentar Dara yang ceplas-ceplos. Hanya dibalas cengiran lebar, Dara memanyunkan bibirnya.
“Orang yang kamu lihat di halusinasimu itu nyata, Dara. Dialah yang memberi uang pada keluarga Karyo. Kita tangkap dia, maka sumbernya akan terbongkar.”
“Halusinasi? Orang apa?” Darius mengangkat alis keheranan.
Dara mengambil hape lalu menunjukkan foto ulang tahun Gadis.
“Opa kenal pria ini? Dia ada di mobil yang menabrak mobil Gadis hingga masuk ke jurang.”
Darius membesarkan gambar pria dengan bekas luka di pipi kiri.
“Dia bodyguard yang disewa untuk menjaga Gadis. Namanya Fero Bachtiar. Opa yang mewawancarainya. Dia baik, Gadis sama sepertimu, tidak mau dikawal. Hanya dengan Fero ini dia mau nurut. Bagaimana kamu tau? Halusinasi apa, Dara?”
Dara pun menjelaskan semuanya. Darius menahan marah dan bertekat membantu untuk menyingkap semuanya kali ini.
“Dimana Fero sekarang, Opa?”
“Entah, sejak Gadis meninggal, dia nggak lagi bekerja di sini. Dan Opa nggak pernah liat dia lagi.”
Irsad mengirimkan nama ke Riko. Tak berapa lama dia mendapat balasan yang membuat keningnya berkerut.
“Fero Bachtiar adalah polisi yang sudah meninggal saat tugas di Beirut. Ini fotonya. Berbeda dengan yang kita kenal sebagai Fero. Sepertinya ia memakai identitas almarhum Fero. Untuk sementara kita beri kode dia Si Hantu.”
“Dara, kamu jangan pergi tanpa pengawal. Bahkan di dalam kantor pun harus ada yang menjaga kamu. Fero tau pasti seluk beluk rumah kita dan kantor.”
“Harus makin waspada, Dara.”
Dara mengangguk. Ia teringat permintaan Bundanya agar tidak lengah karena ada musuh dalam selimut.
***
Laki-laki yang memakai nama Fero menegak minuman haram di tangannya.
“Kamu nggak mau nginep, Sayang? Sini, aku kasih bonus.”
Fero memandang jijik wanita yang dibayar untuk memuaskan napsu bejatnya.
“Bayaran lu ada di meja. Awas kalau lu cerita apapun tentang gue!”
“Yakin nggak mau nambah?” Wanita itu masih merasakan gelenyar kenikmatan yang disisakan Fero dari permainan panas barusan.
Fero tidak menjawab. Hari sudah malam, dia langsung keluar meninggalkan apartemen tempat tinggal wanita bayaran langganannya.
Di mobil ia mengirim pesan.
Pak, saya menuju kantor Anantara.
***
Davina menatap benda pipih di tangannya. Benda yang menunjukkan dua garis sebagai tanda kehamilan.
Wanita itu menyeka air mata. Tangannya mengusap perut dimana embrio kecil sedang bertumbuh. Diabaikannya panggilan telepon dari ayah si bayi.
Dulu mungkin ia mengharapkan kehamilan agar Askara mempersuntingnya. Kini Davina sangat takut untuk menjadi pendamping pria yang hanya membutuhkan tubuhnya. Tidak pernah Davina mendapatkan kata cinta atau tatapan mesra dari Askara.
Malam sudah larut. Ia beralasan masih mengerjakan tugas dari Darius kepada Askara. Malam itu ia tidak ingin tubuhnya dijamah. Davina membereskan mejanya lalu berjalan menuju tempat parkir.
Davina melewati beberapa sekuriti yang menyapanya dengan ramah. Sebagai sekretaris bos besar, Davina terbilang ramah dan tidak sombong.
Ia menuju lantai parkir eksekutif. Hanya kendaraan dinas keluarga Anantara dan para petinggi yang boleh parkir di sana. Davina beruntung karena Darius memberikan ijin agar mobilnya boleh diparkir di lantai tersebut.
Sambil memikirkan masa depan yang pelik Davina terus berjalan. Tiba di samping mobil ia mendengar bunyi kap mesin ditutup.
Alisnya berkerut.
“Siapa yang jam segini mengerjakan pekerjaan mekanik di lantai parkir eksekutif? Tidak ada permohonan dari bagian umum,” gumamnya sambil mendekat ke asal suara.
“Permisi, siapa, ya?”
“Oh maaf Bu. Saya diminta memperbaiki kendaraan Bu Dara yang besok mau dipakai.” Jawab pemuda yang mengenakan baju montir dan topi pet.
“Request dari?”
“Bu Dara sendiri.”
“Bu Dara?”
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Davina berpikir apakah sebaiknya menghubungi Dara atau tidak.
Davina memutuskan untuk memanggil security.
“Malam, Bu. Maaf ini permohonan dari Nona Dara. Menurut beliau AC mobilnya kurang dingin. Mekanik baru bisa datang jam segini karena jadwal mereka penuh,” jelas salah seorang sekuriti senior yang sudah lama mengabdikan diri di Anantara Group.
“Baik, tolong siapkan form perijinan dan besok letakkan ke meja saya, Pak.”
“Siap. Ibu baru mau pulang?”
Davina tersenyum, “Iya nih, Tuan Darius baru pulang dari Penang jadi banyak yang harus dikejar.”
“Hati-hati, Bu.”
“Terima kasih.”
Davina menyalakan mini cooper merah lalu melajukannya keluar dari kompleks perkantoran Anantara.
Malam sudah lengang. Davina melajukan mobilnya dengan santai. Di benaknya ia membayangkan jika Askara adalah sosok pria yang romantis. Mungkin hari itu akan jadi hari yang membahagiakan keduanya.
“Ibu harus bagaimana, Nak? Ibu memang berdosa sudah menyerahkan semua sebelum terjadi pernikahan yang sah,”
ucapnya sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Hapenya berbunyi. Entah sudah berapa kali Askara meneleponnya. Sejak Dara memergoki, Askara tidak lagi berani mengajaknya bergumul di kantor. Tapi panggilan malam selalu menjadi panggilan yang melelahkan.
“Nggak sekali pun kamu menghargai aku, Askara. Aku juga nggak yakin apakah kamu punya rasa cinta untukku.”
Davina mengingat setiap dirinya memenuhi panggilan Askara, maka ia langsung digiring ke kamar. Tanpa basa-basi, Askara akan menyuruhnya menanggalkan pakaian dan melampiaskan hasratnya berulang kali. Tidak ada belaian sesudah percintaan. Tak oernah ada obrolon antarsepasang kekasih. Malahan Askara kerap mengusirnya setelah puas.
“Jangan jadi manusia rakus dan bodoh seperti ibumu. Dan jangan kau ambil sifat buruk ayahmu. Jadilah anak sholih atau sholihah,” ucapnya lagi.
Davina mengemudi sambil memikirkan rencana masa depannya. Ia berpikir untuk berhenti dari Anantara Group. Simpanannya cukup untuk memulai hidup baru di kota lain. Simpanan hasil pemberian Askara, yang membuat hati Davina berdenyut, merasa dirinya adalah pelacur pribadi pria tanpa rasa itu.
Di jalan yang sepi, sebuah kendaraan menyusul. Davina menoleh ketika orang yang duduk di samping pengemudi membuka jendela. Ia mengenali orang itu adalah sekuriti senior yang tadi ditemui di parkiran eksekutif.
“Bu, minggir dulu, bannya kempes.”
“What? Duuh ada aja sih.”
Davina meminggirkan kendaraannya. Lalu segera keluar memeriksa bannya.
“Yang mana ya, mana gelap bener. Pak, bisa tolong …”
Davina tidak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika mulut dan hidungnya dibekap dengan sapu tangan yang dengan bau menyengat.
Setelah itu semua menjadi gelap.
Entah berapa lama ketika Davina bangun di atas sebuah tempat tidur. Tubuhnya polos, tangannya terikat ke bedframe.
Matanya mengerjap menyesuaikan dengan lampu kamar yang terang benderang.
“Kamu siapa? Apa yang kamu lakukan?”
Davina tidak bisa melihat siapa yang bicara. Ia masih ambang sadar dan tidak. Namun ia merasa seperti pernah mendengar suara orang yang memberi perintah.
“Lakukan yang harus kamu lakukan. Setelah itu bereskan.”
Davina berusaha memusatkan perhatian. Tiba-tiba sebuah tangan memaksanya membuka mulut dan minum cairan pahit.
“Jangan, nggak!” Davina meronta, namun pengaruh obat bius masih sangat kuat sehingga dalam sekejap ia kembali tak berdaya.
“Siapa kamu?” Katanya lirih.
Orang itu tak menjawab. Sinar lampu masih sangat terang menyilaukan. Davina merasakan panas yang muncul dari dalam tubuhnya. Tak sadar ia menggeliat.
“Udah mulai bereaksi. Mulai rekam.”
Davina berusaha menolak hasratnya, namun kini tubuhnya berkuasa. Ia merasa seorang pria berbaring di atasnya. Kemudian pria itu mulai bermain dengan bibir, leher, kemudian turun ke puncak bukit kembar miliknya. Ada suara-suara di sekitarnya, namun kenikmatan telah membuatnya terlena.
Laki-laki itu terus menyentuhnya. Kini Davina menggeliat. Dari bibirnya keluar de sa han panjang. Seumur hidupnya, baru Askara yang pernah bercinta dengannya dan sekali pun pria itu tidak pernah berusaha memberinya kesenangan.
Pria di atasnya berbeda. Ia terus menyerang dengan jemari dan lidah. Menjelajahi tubuh polos hingga membuat si pemilik tubuh menyerah dan memohon.
Si pria tersenyum.
“Silau,” ucap Davina.
“Ssh, pejamkan matamu. Kamu akan menyukai ini,” jawab pria itu di telinganya.
Davina memejam mata. Si pria kemudian turun dan bermain di area inti wanita yang kini sudah berada di puncak kenikmatan. Davina tidak peduli lagi dengan suara-suara di sekitarnya. Ia terus memohon agar pria itu tidak berhenti.
Tubuh molek Davina terpampang jelas dengan kedua tangan yang terikat ke atas. Bukit kembarnya terus bergerak, menandakan hasrat si empunya sedang menggebu.
Setelah puas membuat Davina siap, pria itu memulai permainan yang sesungguhnya.
“Pelan-pelan, Fer. Gue mau shoot dari dekat.”
Laki-laki bernama Fero menyeringai. Dengan gerakan perlahan, ia memasuki Davina yang langsung meng e rang.
Fero bergerak liar. Kini ia menuntut Davina untuk mengikuti gerakannya. Tak segan menepuk pinggul yang kelelahan agar kembali bergerak cepat.
Davina terus terbuai. Akhirnya ia merasakan apa yang disebut surga dunia. Ia terus bergerak tak ingin semuanya berakhir.
Pria tadi tak berhenti menjelajah dengan lidahnya, sesekali menyesap kuat membuat Davina terpekik.
Davina dan Fero terus bergerak menuju puncak. Makin lama makin cepat hingga mereka tiba di sana.
Fero menatap Davina yang masih terpejam, tenggelam dalam kenikmatan. Ia mengusap wajah cantik sambil berkata, “Sweet dreams, baby girl.”
Ia lalu mengambil sebuah jarum suntik, menusukkan ke lengan Davina. Dalam hitungan detik, tubuh itu mengejang dengan mata terbelalak.
Fero menatap tubuh yang kini tak bernyawa di tempat tidur.
“Pastikan wajahku tidak terlihat,” ucapnya dingin.
“Perlu diganti dengan wajah Askara?”
“Nggak usah, kita nggak ada urusan sama dia. Tapi biarlah ia merana mengetahui pelacurnya mati.”
“Lu kejem nggak habis-habis, Fer.”
Tak membalas, Fero meninggalkan rumah tempat satu nyawa melayang.
***
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
❤❤❤❤
karyamu keren thor. good job
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️