(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
...Tanpa terasa, kaki Viola telah membawanya menyusuri jalanan hingga tiba di depan pintu pagar tinggi mansion. Ia berdiri sejenak, mengamati bangunan megah itu dalam diam....
"Selamat sore, Nyonya," suara ramah satpam menyapanya, diiringi gerakan membuka lebar pintu gerbang sebagai tanda hormat.
"Selamat sore," jawab Viola dengan senyum lembut yang menghangatkannya, lalu melangkahkan kaki memasuki area mansion yang terasa sunyi.
...Dari kejauhan, tatapan Viola tanpa sengaja menangkap sosok Revan yang berdiri dengan tangan berkacak pinggang, menatap tajam ke arahnya dengan wajah merah padam menahan amarah. Viola menghela napas panjang, pasrah menerima badai yang akan datang, dan terus melangkah mendekat....
"Tuan—" sapa Viola lirih, mencoba memulai percakapan.
"Dari mana saja kamu?!" bentak Revan, suaranya menggelegar memotong ucapan Viola sebelum selesai.
"Kerja," jawab Viola singkat, mendongak menantang dan membalas tatapan penuh amarah Revan dengan sorot mata dingin yang tak kalah menusuk.
"Cepat masuk dan ganti pakaian kumal seperti gelandangan itu! Kita ada acara keluarga," desis Revan tajam, berbalik dengan kasar dan meninggalkannya tanpa menunggu jawaban.
...Viola menurut tanpa membantah, melangkah mengikuti Revan dari belakang. Di dalam rumah, seorang pelayan menyambutnya dengan sigap dan mengantarnya menuju kamar mereka....
"Nona, air hangat sudah terisi dan semua perlengkapan mandi telah saya siapkan," ujar pelayan itu sopan sambil membuka sebuah kotak yang berisi gaun-gaun mewah pilihan Revan beserta sepatu high heels.
"Terima kasih, Bi," jawab Viola pelan, meletakkan tas tangannya di atas meja rias, lalu berjalan lesu menuju kamar mandi.
...Usai memanjakan diri dengan air hangat yang bercampur aroma terapi, kecantikan alami Viola semakin terpancar. Kulitnya seputih susu tampak segar, meskipun jejak-jejak kebrutalan Revan dan Tuan Hernan masih terlihat jelas, sebuah kontras menyakitkan dengan kelembutan kulitnya....
...Viola keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk, rambut basahnya tergerai bebas....
"Kenapa begitu lambat?!" tegur Revan tajam dari sofa, di mana ia sudah duduk rapi menunggunya dengan tatapan menusuk.
Tangan Viola mengepal erat di balik handuk, namun matanya menatap Revan dengan dingin. "Tuan," jawabnya dengan suara tenang namun tegas, "saya mengerti ini acara penting. Tapi Tuan juga perlu ingat, saya membutuhkan waktu untuk membersihkan diri. Saya bukan robot yang bisa melakukan segalanya dalam sekejap."
...Dengan gerakan lambat namun mengancam, Revan bangkit dan melangkah mendekati Viola. Napasnya terdengar kasar dan memburu, semakin dekat hingga Viola bisa merasakan hembusan aroma mint yang dingin menerpa wajahnya....
"Kau... berani menjawabku, hmm?" tanya Revan dengan suara rendah namun sarat akan bahaya yang tersembunyi di balik setiap katanya.
"M-maafkan aku, Tuan," jawab Viola tercekat, memalingkan wajahnya, berusaha menghindari tatapan intens Revan yang membuatnya merasa terancam.
Senyum sinis mengembang di bibir Revan saat ia membungkuk sedikit, membisikkan ancaman ke telinga Viola. "Kalau kau berani melawanku, jangan salahkan aku jika ibumu dan anak-anak yatim itu berakhir terlantar di jalanan." Tangannya yang dingin tiba-tiba terulur, meraih ujung handuk yang terselip di dada Viola hampir terlepas.
Refleks, Viola mencengkeram erat handuknya yang hampir melorot akibat ulah Revan. "Tuan," tegurnya dengan nada memperingatkan, mempertahankan handuk itu seperti perisai.
"Cih! Jangan berpura-pura polos," desis Revan dengan napas memberat. "Aku sudah melihat semuanya, bahkan merasakannya."
...Tatapan mata Revan terus menjelajahi wajah dan bahu mulus Viola, sebelum tanpa sengaja tertumbuk pada jejak sabuk yang membiru mengerikan di punggungnya....
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanyanya dengan nada dingin bercampur curiga.
"Bukan urusan Anda, Tuan," jawab Viola sengit, mendengus kesal sebelum berbalik menjauhi Revan. Ia meraih gaun malam berwarna hijau laut yang serasi dengan setelan jas Revan di atas kasur, lalu bergegas masuk ke kamar mandi, membanting pintu dengan sedikit keras.
...Revan membeku, tatapannya terpaku pada punggung Viola yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Matanya melebar tak percaya saat melihat jaringan bekas cambukan yang membiru mengerikan di sana. Seketika, kilasan-kilasan malam penuh amarah mereka menyeruak dalam benaknya, membuatnya mencoba merangkai kembali perbuatannya, namun pikirannya justru semakin berkecamuk....
"Cih! Peduli apa aku?" gumam Revan dingin, berusaha menepis rasa bersalah yang mulai menggerogoti hatinya. "Dia terluka atau mati, itu bukan urusanku." Ia berbalik dengan langkah cepat, meninggalkan kamar itu.
...Dari celah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, Viola mendengar jelas setiap gumaman Revan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, senyum pahit terukir di bibirnya yang bergetar....
...Kata-kata dingin itu bukanlah hal baru baginya, namun tetap saja menusuk hatinya dengan perih. Begitu tidak berharganya ia di mata ayah kandungnya yang tamak, dan kini juga di mata suaminya sendiri. Padahal, ia tak pernah meminta dilahirkan dalam keluarga ini, ia hanyalah seorang gadis yang tak dianggap, korban keserakahan ayahnya....
"Semangat, Viola," bisiknya lirih, memaksakan seulas senyum tipis di bibirnya yang bergetar, sebelum kemudian bergegas bersiap menghadapi malam ini.
...Setelah berpakaian rapi, Viola duduk di depan cermin rias. Dengan gerakan pelan, ia memoleskan riasan tipis di wajahnya yang pucat. Tak lupa, ia meraih cincin pernikahannya yang tersimpan rapi di dalam koper, sebuah simbol yang terasa begitu ironis. Setelah terpasang di jari manisnya, ia melangkah keluar dari kamar....
(Bersambung)