Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Ajeng merintih menahan rasa sakit di perutnya yang serasa diremas-remas. Membuat perempuan itu setengah membungkuk seraya memeluk perutnya sendiri.
"Aww ... ssshhh ... sakiit!" rintih Ajeng tak karuan. Tangannya cekatan meraih ponsel di saku cardigan yang tengah dikenakan, lalu refleks menghubungi seseorang.
Sementara Abi dan Vivi tengah menikmati sarapannya di ruang makan. Membuat pria itu bertanya-tanya, kenapa istri mudanya lama sekali tak kunjung kembali.
"Ajeng mana? Bikin susu kok lama amad sih!" dumel Abi bergegas menyusul ke dapur.
"Mas, kamu habisin saja sarapannya, biar aku yang lihat," ujar Vivi ikut bangkit mengekor suaminya.
Abi tidak menemukan istrinya di dapur. Berjalan ke taman belakang sambil mencari-cari perempuan itu untuk bergabung sarapan.
"Astaga Ajeng! Kamu kenapa? Perut kamu, kenapa?" tanya Abi panik. Sedari tadi firasatnya sudah tidak tenang.
"Sakit ... Mas, perutku sakit," adu Ajeng merasakan perutnya panas.
"Astaghfirullah ... kita ke rumah sakit sekarang!" ujar pria itu langsung menggendong istrinya. Lalu setengah berlari membawanya ke mobil.
"Mas, aku ikut!" seru Vivi menyela.
"Cepat, kasihan Ajeng kesakitan!" ujarnya panik.
Pria itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, tetapi tetap menomor satukan keselamatan. Selama perjalanan terus mengamati Ajeng dari rear vision miror.
Di dalam mobil Ajeng terus mengaduh, membuat Abi semakin takut dengan apa yang sedang terjadi. Sampai di rumah sakit, Ajeng langsung mendapatkan pertolongan medis.
"Dokter! Tolong Dokter! Istri saya!" seru Abi seraya menggendong istrinya ke ruang unit gawat darurat.
Pria itu menunggu dengan panik, sebelumnya ia tidak pernah setakut ini. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan bayi itu?
Ya Tuhan ... tolong selamatkan anakku dan ibunya, aku mohon!
Abi mondar-mandir dengan gelisah. Membuat Vivi pusing sendiri kala menatapnya.
"Mas, bisa tenang nggak sih! Duduk, tunggu di sini!" tegur Vivi pusing sendiri.
"Mana aku tenang, bagaimana kalau bayinya kenapa-napa. Anakku kasihan sekali." Abi mengacak rambutnya frustrasi. Berkali-kali meraup wajahnya kasar.
"Lagian kok bisa sih sakit perut gitu, pasti Ajeng makan sembarangan, yakin banget aku," ucap Vivi yang membuat Abi bertambah meradang. Namun, tak sampai hati marah, keadaan sedang genting. Ia tidak bisa membayangkan kalau seandainya terjadi sesuatu dengan anaknya.
"Keluarga Ajeng!" seru Dokter menginterupsi.
"Iya Dok, saya suaminya, bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Abi langsung berdiri menghadap dokter yang menangani istrinya.
"Kondisi Ibu Ajeng perlu perawatan intensive, Pak, alhamdulillah janinnya kuat, tidak apa-apa, tapi kalau terlambat ditangani itu bisa sangat berbahaya," jelas Dokter Mira.
"Kenapa istri saya bisa kesakitan begitu, Dok? Apa penyebabnya?" tanya Abi antara lega lantaran bayinya terselamatkan dan marah kenapa itu bisa terjadi.
"Istri Anda mengkonsumsi obat pelancar haid Pak, tentunya itu tidak dianjurkan untuk wanita yang sedang hamil. Untung saja bayinya kuat, sudah berjalan 4 bulan lebih juga."
"Apa? Obat pelancar haid?" tanya Abi tak percaya. Bisa-bisanya Ajeng melakukan itu pada anak yang ada di dalam kandungannya. Sebenci itukah dia pada ayah si bayi, hingga berniat ingin mengakhiri hubungan itu dengan cara instan.
"Pasien saat ini tengah beristirahat, sudah dipindah ke bangsal," ujar Dokter memberi tahu.
Abi langsung masuk ke ruang rawat, terlihat perempuan itu tengah tertidur setelah mendapatkan suntikan obat. Pria itu menatapnya jengkel, sekaligus kasihan. Marah tentunya, berani sekali perempuan itu ingin membunuh bayinya. Mungkinkah nalurinya sebagai seorang wanita dan calon ibu telah hilang, gegara mabuk kepayang dengan pria itu?
Samar netra itu terbuka, merasakan tempat yang berbeda. Ruangan bernuansa putih dengan gantungan infus di pinggir ranjang terhubung menghiasi tangannya. Ajeng berusaha terjaga sepenuhnya. Tatapan pertama yang dia temukan Abi, suaminya. Pria itu menyorot dingin.
"Sudah sadar? Kamu tahu apa yang terjadi?" tanya Abi datar sembari menatap tajam.
"Apa yang terjadi, bayi ini?" gumam Ajeng teringat sepenuhnya.
Ia merasakan perutnya masih kencang seperti wanita hamil, seketika Ajeng pun menjadi lega. Tidak terjadi apa pun dengan anak ini, tetapi kenapa Abi terlihat begitu marah? Atau jangan-jangan terjadi sesuatu dengan bayi dalam kandungannya.
"Kamu hampir membunuhnya, dan aku, orang pertama yang akan marah dan menuntutmu bila ini terjadi," tukas pria itu penuh intimidasi.
"Aku? Membunuh bayi yang bahkan sedang aku kandung sendiri? Aku masih waras, Mas, mana mungkin aku ngelakuin perbuatan keji itu," jawab Ajeng sembari mengubah posisinya berusaha duduk.
"Pada kenyataannya seperti itu, apa ini caranya supaya kamu terbebas kontrak pernikahan denganku, dengan melenyapkan anak dalam kandunganmu!" bentak Abi murka.
Sakit, rasanya baru saja terselamatkan dari maut, ketika tersadar langsung mendapatkan kemurkaan suaminya.
"Aku tidak pernah berniat melenyapkan bayi ini, walaupun aku tidak boleh memilikinya nanti, aku tidak pernah lupa, bahwa aku ibunya, jadi mana mungkin aku mencelakai darah dagingku sendiri," jawab Ajeng mengumpulkan keberanian dan sisa tenaga pada tubuhnya.
"Ya, ibu pengganti! Sekali lagi kamu ceroboh seperti ini, akan aku kurung dirimu sampai anak itu lahir!" bentak Abi begitu murka.
Denis yang baru datang dengan wajah panik jelas tidak terima melihat wanita yang begitu ia sayangi dibentak-bentak. Pria itu datang berdasarkan petunjuk GPS pada ponselnya yang terhubung dengan ponsel Ajeng.
"Apa yang terjadi, kenapa orang sakit dibentak-bentak, Anda gila ya?" Murka Denis langsung menyela.
"Kamu ngapain ke sini? Ada urusan apa, jangan ikut campur!" balas Abi bertambah marah melihat Denis datang membelanya.
"Semua yang berhubungan dengan Ajeng akan menjadi urusanku. Kalau memang tidak suka, ceraikan! Cari ibu pengganti yang lainnya. Akan aku kembalikan uangmu dua kali lipat yang sudah Ajeng pinjam!" bentak Denis tak mau kalah.
"Brengsek! Tidak semudah mulutmu! Kamu tidak punya hak mengatur keputusanku!" Abi jelas tidak terima ditantang pria sok kaya di depannya. Dia pikir anaknya bisa dibeli atau ditukar dengan uang.
Keduanya pun adu mulut, sampai adu jotos di ruang rawat hingga membuat kegaduhan. Ajeng yang tidak tahu harus berkata apa dan berbuat apa mengingat kondisinya masih lemah. Sedang Vivi antara senang dan puas melihat Ajeng dimaki-maki suaminya. Namun, juga kesal lantaran suaminya begitu mengkhawatirkannya. Sampai rela adu jotos dengan pria yang baru datang membela Ajeng.
Karena membuat kegaduhan, keduanya digelandang petugas keamanan rumah sakit untuk diberi nasihat.
"Kalian ini sudah pada tua membuat kerusuhan di area rumah sakit!"
"Dia duluan yang mulai, Pak! Istri saya sedang sakit, kenapa dia ikut campur urusan orang."
"Dia yang membuat gara-gara duluan, orang lagi sakit dimarah-marahin, dasar pria tidak waras!"
"Heh! Lo ngatain?"
"Apa!" tantang Denis tak gentar. Pria yang selalu bersikap lembut dan sabar itu pun begitu murka, bahkan nyaris hilang kesabaran saat melihat seseorang yang ia sayangi dilukai.
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik