Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sederhana, Namun Berharga
Dian duduk termenung di balkon kamarnya. Matanya menatap lurus dengan pandangan kosong. Pikirannya dipenuhi oleh Nico. Dian bisa melihat betapa menyedihkannya pria itu.
Apa aku salah? Apa aku salah telah meninggalkannya?
Dian tidak siap. Perasaannya pada pria itu masih sama. Ia takut membuat kesalahan yang akan di sesalinya kelak. Saat pergi, Nico bahkan tak ragu mengejarnya. Dian pikir ia akan tertangkap karena pria membawa mobilnya dengan gila. Tapi sebuah truk besar menghentikan laju mobil Nico. Tuhan masih berpihak pada Dian.
Di luar ada Emi, Lily, Rico maupun Vira yang tak berani menegur. Keempatnya hanya memperhatikan dari luar. Dian sudah seperti ini saat datang menemui mereka di taman. Vira pikir Dian akan kembali mengomel, ternyata wanita itu hanya diam saja sepanjang jalan.
"Ada apa dengan mama?" Lily khawatir. Biasanya Dian tak menunjukkan sikap seperti ini secara terang-terangan.
"Apa mama marah soal kejadian tadi?" Emi menatap Vira yang hanya diam saja. Dokter muda itu juga tidak tahu apa yang terjadi.
"Aku akan bicara pada mama mu nanti. Jangan khawatir. Lebih baik istirahat di kamar," bujuk Vira.
Anak-anak itu akhirnya pergi dengan langkah berat. Mereka hanya berharap pada Vira. Setelah ketiganya pergi, Vira masuk mendekati Dian. Wanita itu tak lupa mengunci pintu, khawatir anak-anak yang sebenarnya pintar itu menguping.
"Dian ... kau baik-baik saja?" Menyentuh pundak Dian. Dian tersentak dari lamunannya.
Wanita itu menoleh. "Memangnya aku kenapa?" acuh Dian.
"Sikapmu ini begitu terus terang, anak-anak mengkhawatirkan mu." Dian terlalu sibuk memikirkan pria itu hingga lupa jika ketiga anaknya ada disana.
"Maaf," ucapnya merasa bersalah.
"Ada apa?" tanya Vira sekali lagi.
Dian belum menjawab, tapi matanya mulai berkaca-kaca. "Dia menemukanku," jawab Dian akhirnya.
Takdir macam apa ini?
Vira langsung mengerti maksud Dian. Ini bukanlah kebetulan, tapi nampaknya takdir mereka mulai berjalan kembali. Mulai dari hubungan Lily dan Mita yang begitu dekat hingga pertemuan Emi dan Nico yang Vira saksikan.
Vira tidah tahu harus berpihak pada siapa kali ini. Mungkin membiarkannya Nico dan Dian bersama bisa mengembalikan kebahagiaan yang pernah hilang.
Sudah cukup ia melihat ketegaran wanita ini. Waktu itu Vira yang menangani persalinan Dian. Gadis muda itu hanya berjuang sendirian. Karena rasa pedulinya, ia mencoba berteman dengan gadis itu. Usia mereka memang terpaut jauh, tapi siapa sangka keduanya bisa menjalin hubungan layaknya keluarga.
Tidak bohong jika ia ingin melihat Dian bahagia tanpa kesedihan lagi. Ini juga untuk kebahagiaan anak-anak mereka yang ingin memiliki keluarga utuh.
"Dia bilang dia merindukanku." Dian terkekeh lirih.
"Dian ...."
"Kenapa dengan mata itu? Kenapa dia menatapku seolah begitu berharga? Dia sudah menikah dan memiliki anak. Bagaimana bisa bersikap seperti itu?" Setitik lelehan jatuh membasahi pipi Dian dan dengan cepat pula wanita itu menyeka nya.
Dan inilah masalahnya. Jika membiarkan satu pihak bersatu, maka akan ada pihak lain yang tersakiti. Mengapa cinta begitu rumit? Inilah alasan Vira tidak ingin menjalani hubungan.
"Kau bilang Nico pria baik. Mungkin ada sesuatu yang belum kau ketahui. Kau tidak pernah mencoba mencari tahu tentangnya?"
Dian menggeleng. "Terakhir kali aku melihatnya dia sudah memiliki anak. Melly melahirkan anak laki-laki."
"Anak laki-laki? Kau bercerita Rico adalah putra Melly. Melly hanya punya satu anak dan sekarang telah menjadi putramu. Bukankah itu juga putra Nico?"
Itulah yang Dian pikiran saat itu. Mengapa keadaan Melly benar-benar jauh dari kasta atas hingga tega menjual anaknya sendiri? Kemana Nico dan Mita hingga tidak memperdulikan mereka?
"Coba pahami situasi saat ini, barulah kau memutuskan." Vira memberi nasihat.
-
-
-
-
Dibawah, anak-anak rupanya belum kembali ke kamar. Ketiganya duduk di sofa panjang ruang tamu menunggu Vira atau Dian turun. Karena bosan, Lily kembali mengambil alat gambarnya. Gadis kecil itu seperti biasa hanya melukis gambar ayahnya untuk mengobati kerinduan.
Lily memilih duduk di atas meja yang terdapat banyak tumpukan buku di dekat pojok ruangan.
Ia menggambar sambil sesekali menatap keluar dinding kaca yang langsung mengarah ke kolam renang rumahnya.
Jika ada papa, dia pasti bisa menghilangkan kesedihan mama, batinnya menatap gelapnya malam.
Tak lama kemudian Lily tersenyum ketika melihat gelang sederhananya berpola cantik yang ada di pergelangan tangannya. ia meletakkan bukunya, lalu mengusap lembut gelang tersebut.
Benda itu memang sederhana, tapi begitu berharga bagi Lily. Ya, itu pemberian Nico saat mereka kembali bertemu untuk ketiga kalinya di sebuah halte bus. Hanya penjual pinggir jalan yang menjual berbagai macam gelang unik.
Ini adalah pertama kalinya Lily mendapat sesuatu dari sang ayah, maka ia akan menjaga dengan baik sesuatu itu.
"Anggap saja ini hadiah pertama dariku di pertemuan ketiga kita. Maaf tidak menunjukkan kesan yang baik saat pertemuan kedua (Di mansion utama)."
"Terima kasih, Tuan. Aku akan menjaganya."
Pria itu terkekeh. "Itu hanya gelang sederhana, bisa rusak kapan saja. Tunggu aku menggantinya dengan yang lebih baik saat kita bertemu lagi."
"Tak apa. Yang mahal dan bagus belum tentu baik. Mama bilang jangan tergila-gila dengan benda mahal, itu bisa membuat lupa diri." Nico kembali terkekeh.
"Oh iya? Atau karena mama mu pelit?" candanya.
Lily langsung cemberut. "Jika mama mendengarnya, dia pasti sudah kesal pada Tuan."
"Kenapa?"
"Mama tidak suka dibilang pelit. Meski kenyataannya begitu," cicit Lily memalingkan wajah.
Tawa Nico akhrinya pecah. Ini pertama kalinya pria itu tertawa begitu bahagianya. Roby saja tak sengaja menintikkan air mata melihatnya
"Aku jadi ingin bertemu ibumu dan melakukannya. Mungkin menyenangkan."
Aku harap juga begitu.
"Dimana ayahmu?"
Lily terdiam sejenak. Disini, di sebelahku. "Sudah tidak bersama kami sejak lahir. Mama dan papa bercerai saat aku masih dalam kandungan," jawab Lily apa adanya.
Senyum Nico luntur. Ia langsung merasakan posisi yang di alami Lily. Bukankah ia juga sama? Menceraikan gadis itu saat mengandung. Kedua anaknya mungkin merasakan hal yang sama seperti Lily, lahir tanpa ayah.
Ia mengelus kepala gadis itu. "Kau bisa memanggilku papa."
Pertemuan singkat itu kembali berputar di kepala Lily. Setiap moment singkat bersama Nico akan menjadi kenangan berharga untuk Lily.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...