Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Pecundang
Tidak cukup 8 jam bekerja, seperti biasa Mr. Duda Killer Loyalitas tak terbatas itu memberi tambahan jam kerja—lembur.
“Apa dia nggak capek, tiap hari kerja, pulang malem. Terus dua anak nya itu apa nggak nyariin,” keluh Vira.
“Tiga jam ya! Selesaikan animasi transisi untuk meeting besok pagi,” ujar William memberi arahan pada timnya.
Tiga anggota dari masing-masing tim, duduk menatap papan tulis yang penuh dengan coretan spidol warna warni.
Vira menopang dagunya dengan tangan, kepalanya berdenyut nyeri. Seharian ini perutnya hanya diisi sandwich pagi, kopi siang, dan angin malam.
“Capek.” Lisa menyandarkan kepalanya di bahu Vira.
“Aku juga, kurang berapa menit sih?”
Lisa melihat jam di pergelangan tangan kanannya. “Sepuluh menit lagi kita bebas.”
Vira menghela napas pelan, mencorat-coret buku agendanya.
“Oke guys, kita selesai diskusi hari ini. Waktunya pulang,” ucap Alby, penanggung jawab proyek kali ini, sambil tersenyum pada semua anggota tim.
“Siap, Pak!” jawab salah seorang anggota tim dengan semangat, diikuti tawa kecil dari yang lain.
“Jangan lupa, deadline semakin dekat. Pastikan semua tugas selesai tepat waktu ya,” pesan Alby, mengingatkan tanggung jawab masing-masing.
Semua orang bangkit dari kursi masing-masing. Vira kembali ke meja kerjanya mengambil tas.
Lampu-lampu di lantai dua mulai padam satu per satu. Hanya satu sumber cahaya terang yang tersisa, sudah bisa ditebak, itu berasal dari ruangan Pak William. Meski lantai tiga, letak ruang kerjanya terlihat jelas dari lantai dasar.
“Bye, Vir.” Lisa melambaikan tangan, keduanya berpisah di depan gedung.
Vira melangkah ke area parkir samping gedung, tetapi langkah nya tiba-tiba berhenti.
Set!
Pergelangan tangannya ditarik seseorang dari belakang. Ia menoleh, kemudian mendengus kesal—Alby, pecundang itu.
“Vira, aku mau ngomong,” desak Alby dengan nada memohon.
“Ngomong apa lagi? Semua sudah jelas, kan?” jawab Vira dengan nada ketus, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.
“Vira, aku mau minta maaf. Kamu pasti marah kan undangan itu tersebar di kantor. Tapi bukan aku...”
“Stop!” Vira menoleh dengan cepat, memukul bahu Alby dengan tasnya. “Cukup! Aku tidak mau dengar alasan apapun lagi. Semua sudah terlambat,” ucapnya dengan nada tinggi.
“Vir...” Alby berusaha meraih tangan Vira, namun Vira menghindar.
“Hubungan kita sudah berakhir, nggak perlu lagi kamu jelasin apapun. Aku nggak peduli,” ucap Vira dengan nada dingin, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya yang teramat dalam. Vira kembali melangkah, mencoba menjauhi Alby.
Alby mengikutinya dari belakang, berjalan lebih cepat hingga berhasil menghalangi langkah Vira di depan.
“Apalagi yang kamu mau jelasin, hah?” tanya Vira dengan nada sinis, matanya berkilat merah.
“Vir, aku mau jujur sebenarnya sama kamu. Tapi… tiba-tiba Abel minta dinikahin,” jelas Alby dengan nada putus asa, berharap Vira akan mengerti situasinya.
Vira diam dengan mulut terkatup rapat, berusaha menahan air matanya
“Kamu ingat kan malam reuni itu, saat kamu nyuruh aku nganter pulang Abel ke apartemennya—disitu aku terjebak,” sanggah Alby dengan nada putus asa.
“Aku setengah sadar, tiba-tiba kami sudah melakukan itu dan—”
“Stop, Alby!” pekik Vira, tidak sanggup mendengar pengakuan Alby.
“Aku aja yang nglurusin masalah ini,” ucap Vira dengan nada lirih. Ia menghela napas panjang sebelum merangkai ucapan yang ingin Alby utarakan padanya. “Jadi maksud kamu, aku yang salah. Aku nyuruh kamu nganterin Abel yang mabuk ke apartemennya, lalu kalian khilaf dan berbuat hal gila. Teruuus… kamu nggak nyangka Abel hamil, dan akhirnya kamu ingin kita putus dan menikah dengan dia. Hidup bahagia. Begitu?” tanya Vira dengan nada kecewa.
Alby menggelengkan kepalanya, meraih tangan Vira. Wanita yang ia cintai selama empat tahun. Keduanya bahkan memiliki rencana akan menikah di akhir tahun ini, namun harus kandas karena kesalahan Alby.
Vira menarik tangannya dengan kasar. “Aku nyuruh kamu nganter dia ke apartemen, bukan niduri dia!” Telunjuk Vira menekan dada Alby dengan keras.
“Aku sayang sama kamu Vira, aku cinta…”
Vira segera memotong ucapan itu, “Cinta? Bullshit! Kau tidur dengan sahabatku, menghamilinya, menikahinya, dan meninggalkanku, Alby!”
“Dan…” Vira mengumpulkan tenaganya lagi untuk memaki pria yang berdiri di depannya, “...kau menghancurkan semua impianku, impian kita!” Teriaknya histeris. Air mata perlahan lolos keluar dari pelupuk mata, membasahi pipinya.
Alby kalah, ia hanya diam membeku.
“Vira…” suara tidak asing itu terdengar dari belakang.
Pak William, yang sebelumnya akan masuk ke dalam mobil, mendengar suara teriakan segera mencari sumber suara.
“Kalian apa-apaan bertengkar di tempat ini!” William menyilangkan tangan di dada, menatap Alby dan Vira.
Vira menghapus air matanya dengan gerakan kasar. Ia berbalik dan berlari ke arah William. Dalam kondisi kacau, ia memeluk pria yang sebelumnya pernah di tolak.
“Mobil saya mogok, saya mohon bisa menumpang di mobil Bapak,” ucap Vira dengan suara bergetar. Ia membenamkan kepalanya di dada William, mencari perlindungan.
William terkejut dengan tindakan Vira yang tiba-tiba. Ia menatap Alby dengan bingung, lalu mengalihkan pandangannya pada Vira yang masih memeluknya erat.
“Alby, sebaiknya kamu segera pulang,” ucap William dengan nada dingin, memperingatkan Alby.
“Ta-tapi saya mau bicara dengan Vira,” jawab Alby dengan nada keras kepala, ia melangkah mendekat ke arah William, tidak peduli dengan ancaman William.
“Stop! Vira akan pulang dengan saya. Jangan repot-repot. Lagipula kamu akan menikah. Tidak baik berdua dengan wanita lain yang bukan siapa-siapa kamu,” tegas William, mendorong Alby menjauh.
Alby menghela napas pelan, namun matanya memancarkan amarah yang membara. Ia tidak rela melihat Vira pergi dengan pria lain.
William menarik lembut tangan Vira, menggenggamnya erat dengan tatapan menantang ke arah Alby. Jemarinya masuk memenuhi sela-sela jari Vira, seolah menunjukkan bahwa Vira sekarang miliknya. Mereka berjalan menuju mobil BMW hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat pertengkaran itu terjadi.
“Masuk,” ucap William sambil membukakan pintu mobilnya.
Vira masuk ke dalam mobil, ia tidak berani menatap William. Ia menutupi matanya yang sembab dengan mengarahkan pandangannya ke arah jendela, merasa malu dan tidak nyaman.
“Hah…” desah William, menghela napasnya pelan. Ia memberikan tisu pada Vira. “Hapus air matamu itu.”
Vira meraih tisu itu dan membersihkan sisa air mata di pipinya. “Makasih, Pak,” ucapnya dengan suara pelan.
Dengan gerakan lembut, William memasang seatbelt Vira. Tubuhnya perlahan mendekat, hingga ia bisa mencium aroma parfum Vira yang mengacaukan hatinya.
“Sudah jangan nangis, patah hati adalah hal biasa. Lagipula, dia tidak cukup tampan. Malah, terlihat jauh lebih tampan saya daripada dia,”
Vira menoleh, segera membantah, “Tapi lebih muda daripada, Bapak.”
“Kami hanya terpaut usia 5 tahun, aku bahkan di usia 35 sudah memiliki dua anak, dan dia...”William berhenti sejenak, menghela napas pelan “...sudahlah. Aku masih sanggup untuk menambah anak lagi. Jika kamu mau menikah dengan saya, Vira.”
Vira menyipitkan matanya, lalu kembali memalingkan wajah ke jendela. Ia mulai kesal setiap kali William membahas niatnya untuk menikahinya.
"Saya tidak cinta pada Bapak," sanggah Vira.
"Tapi saya cinta. Cinta itu bisa tumbuh seiring waktu. Kamu hanya belum mengenal saya, Vira." William meraih tangan Vira dengan lembut. Tangan yang lain menarik dagu Vira perlahan, hingga kedua mata mereka bertemu. "Coba buka hatimu dan kenali saya. Mungkin dalam hitungan jam saja kamu akan jatuh cinta pada saya."
Napas keduanya berpacu, merasakan kehangatan yang tiba-tiba memenuhi ruang mobil. Untuk pertama kalinya, Vira mengamati William sedekat ini. Sorot mata pria itu lembut, namun menyimpan ketegasan yang selama ini tak pernah disadari. Jantungnya berdebar tak terkendali. Mungkinkah, di tengah kekacauan hatinya, benih-benih perasaan baru mulai tumbuh?
Drrt… drrt…
Satu panggilan masuk terpampang di layar ponsel William. Dengan sigap, William mengangkatnya.
"Papa! Kapan pulang?!" pekik seorang anak. Suaranya begitu nyaring hingga William menjauhkan ponsel dari telinganya.
Bersambung…
Anaknya nyariin, bapaknya malah sibuk ngrayu wanita. 🤣🤣
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍