"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat dari Rania
Seminggu setelah kepergian Rania, rumah sakit akhirnya mengizinkan Naura pulang.
Pagi itu, Bani berdiri di depan inkubator NICU dengan tangan gemetar. Bayinya terbaring kecil, masih rapuh, tapi napasnya stabil. Perawat dengan hati-hati memindahkan Naura ke dalam gendongan khusus. “Selamat ya, Pak. Bayinya sudah cukup kuat untuk pulang,” ucap perawat lembut.
Bani hanya mengangguk. Kata selamat terasa asing baginya.
Ini bukan kepulangan yang ia bayangkan. Tidak ada senyum Rania. Tidak ada tangannya yang menunggu.
Di parkiran rumah sakit, orang tua Bain, Umi Fatimah dan Baba Rasyid Atmadja, sudah menunggu. Wajah umi sembab, tapi ia berusaha tersenyum saat melihat cucunya.
“MasyaAllah… Naura,” lirih umi, tangannya gemetar saat menyentuh pipi kecil itu.
“Cantik sekali Masya Allah.... mirip Rania.”
Nama itu membuat dada Bani sesak.
"Kamu kuat Ban." Baba Rasyid menepuk pelan bahu putranya.
Bani hanya menunjukkan getiran senyum.
Begitu mobil berhenti di halaman rumah, semua orang turun perlahan.
Rumah itu… rapi. Bersih. Persis seperti terakhir kali Rania meninggalkannya.
Namun justru itu yang membuatnya terasa asing.
Bani melangkah masuk sambil menggendong Naura. Langkahnya ragu, seolah ia takut menginjak kenangan.
Di ruang tamu, Nafisah dan Zaki sudah menunggu. Mereka berdiri, lalu mendekat pelan. “Assalamu’alaikum,” ucap Nafisah lirih.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Bani singkat.
Nafisah menatap wajah Bani. Tatapan kosong. Hampa. Seperti seseorang yang tubuhnya ada, tapi jiwanya tertinggal di ruang operasi.
“Bani…” Nafisah ingin berkata banyak, tapi lidahnya kelu.
Zaki hanya menepuk bahu Bani pelan. “Kami di sini, Ban."
Bani mengangguk tanpa menatap.
Naura mulai merengek kecil.
Bani refleks menggoyangkan tubuhnya, meniru cara Rania dulu saat dirinya belajar menjadi orangtua. Tapi tangis itu tidak berhenti. Justru semakin pelan tapi panjang—tangis bayi yang mencari kehangatan yang hilang.
Umi Bani mendekat. “Sini, sama Umi.”
Naura tetap menangis.
Baba pun mencoba. Hasilnya sama.
Nafisah mengulurkan tangan, ragu. “Boleh aku coba, Ban?”
Bani menyerahkan Naura. Tangisan itu sedikit mereda, tapi masih ada isak kecil.
Nafisah menghela napas pelan.
Zaki menatap adegan itu dengan perasaan yang berat, teringat percakapan Rania, firasat-firasat yang dulu mereka anggap hanya kecemasan seorang ibu hamil.
Zaki mendekat ke Nafisah, berbisik pelan, “Rania seolah sudah tahu semua ini.”
Nafisah mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dan dia menyebut satu nama… Laras.”
Bani mendengar itu.
Tubuhnya menegang.
Ia menoleh perlahan. “Jangan,” katanya pelan tapi tegas. “Tolong… jangan sebut itu dulu.”
Nafisah terdiam.
Bani menatap Naura di pelukan Nafisah. Bayinya kecil. Rapuh. Sendiri.
Di dalam hatinya, dua suara mulai bertarung. Setia pada kenangan Rania, atau memenuhi kebutuhan Naura.
Dan Bani tau… pertarungan ini baru saja dimulai.
Beberapa saat setelah Nafisah menggendong Naura, tangis Naura memecah keheningan kembali.
Melengking. Panjang. Tidak mau berhenti.
“Kasihan…” gumam umi sambil menggendong cucunya. “Sini sama umi lagi."
Namun Naura justru menangis semakin keras.
Abi mencoba. Bahkan Zaki ikut menimang dengan canggung.
Tangis itu tak reda.
Bani berdiri mematung di sudut ruangan. Tangannya gemetar. Kepalanya tertunduk. “Maafkan Papa, Nak…” bisiknya lirih.
Saat itulah Laras datang.
Ia melangkah pelan bersama Ameera. Wajah Laras pucat, matanya sembab, namun langkahnya tenang. Ia mencium tangan umi dan abi dengan hormat.
"Assalamu'alaikum semuanya. Maaf baru bisa datang,” ucapnya lirih.
Semua yang berada di ruang tamu menoleh. "Wa'alaikumussalam."
Tangis Naura masih menggema.
"Naura kenapa mbak?"
Nafisah yang sedang menggendong Naura menghela napas lelah. “Tadi sempat diam sebentar, tapi nangis lagi.”
"Apa dia haus?"
"Tadi sudah aku kasih susu makanya dia diam, baru beberapa menit diam sudah menangis lagi."
Tanpa rencana, tanpa isyarat, Laras melangkah mendekat.
“Boleh saya?” tanyanya pelan, hampir berbisik.
Nafisah menatap Laras sejenak—lalu mengangguk.
Begitu Naura berpindah ke pelukan Laras—Tangis itu berhenti. Bukan perlahan. Bukan bertahap. Berhenti seketika.
Naura mengerjap, wajah mungilnya mengendur. Tangannya yang kecil menggenggam ujung baju Laras. Nafasnya melambat. Bahkan Naura menunjukkan senyum kecilnya.
Lalu… ia terlelap. Semua terdiam.
Umi menutup mulutnya sendiri. Nafisah memejamkan mata. Zaki menelan ludah. Ameera mematung, menatap adiknya dengan mata berbinar.
"Ini bayi tante Rania, bunda?" Tanya Ameera.
"Iya betul sayang.... Ameera mau lihat?" Ameera mengangguk.
Laras mensejajarkan dirinya dengan Ameera, ia berlutut sambil menggendong Naura. "Bagaimana? Cantik kan adiknya?"
"Cantik banget bunda, mirip banget sama tante Rania."
Bani terduduk di sofa. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Ya Allah…” lirih Nafisah.
Setelah beberapa menit, Laras perlahan meletakkan Naura di ranjang kecilnya.
Begitu punggung Naura menyentuh kasur—tangis itu kembali pecah.
Melengking.
Mengiris.
Laras refleks menggendongnya kembali.
Dan lagi-lagi—Naura diam.
Tenang.
Seolah menemukan rumahnya. Tidak ada yang bicara. Tak satu pun.
Namun di antara tatapan-tatapan yang saling beradu, semua merasakan hal yang sama—firasat Rania tidak salah.
Umi memejamkan mata, air matanya jatuh. Abi menghela napas panjang, berat.
Nafisah menoleh ke Zaki. Zaki mengangguk pelan.
Bani menatap Laras. Bukan dengan cinta. Bukan pula dengan keinginan.
Melainkan dengan ketakutan yang dalam—karena ia tau, hidup sedang menuntutnya memilih antara kenangan dan masa depan anaknya.
Laras menatap Naura, mengusap kepalanya dengan lembut. “Tenang ya, Nak…” bisiknya. “Ada bunda dan Ameera disini."
Kata itu meluncur begitu saja. Dan entah kenapa—tak satu pun yang menyangkalnya.
***
Ruang keluarga rumah Bani malam itu terasa berat. Naura akhirnya tertidur—bukan di boks bayi, bukan di pelukan umi Fatimah atau Nafisah, melainkan di dada Laras. Ameera tertidur di samping ibunya.
Bani berdiri agak jauh. Matanya menatap pemandangan itu seperti seseorang yang sedang melihat takdirnya sendiri sedang digambar ulang.
Baba Rasyid memecah keheningan. “Fatimah…” panggilnya lirih.
Umii Fatimah mengangguk pelan. “Aku melihatnya juga.”
Nafisah menelan ludah. “Seperti… Rania sedang berbicara lewat bayi itu.”
Zaki menghela napas panjang. “Ini bukan kebetulan.”
Bani akhirnya duduk. Suaranya serak. “Kalian ingin mengatakan apa?”
Baba Rasyid menatap putranya lama—tatapan seorang ayah yang tahu luka anaknya belum mengering. “Rania sudah lama menyiapkan ini,” katanya pelan. “Bukan untuk menggantikan dirinya… tapi agar Naura tidak tumbuh tanpa kehangatan.”
Umii Fatimah menyeka matanya. “Laras bukan orang asing, Nak. Rania memilihnya bukan tanpa alasan.”
Bani menggeleng lemah. “Aku belum siap.”
Nafisah mendekat. “Kami tahu, Ban. Tapi kesiapan seorang ayah kadang datang setelah kebutuhan anaknya.”
Sunyi kembali jatuh. Tidak ada yang memaksa. Tidak ada yang memutuskan.
Hanya satu hal yang mereka semua rasakan sama. Rania benar.
Malam semakin larut.
Bani duduk di tepi ranjang kamar tidurnya—kamar yang masih beraroma Rania.
Mukena Rania masih tergantung. Sisirnya masih di meja rias. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku setia, Ran…” bisiknya. “Aku tidak pernah berniat menggantikanmu.”
Tangannya gemetar saat membuka laci. Ia menemukan buku kecil—diari Rania. Belum dibuka. Takut. Bani merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit.
“Kenapa kamu pergi secepat ini…”
“Dan kenapa kamu meninggalkanku dengan pilihan yang menghancurkan?”
Air mata jatuh tanpa suara.
Di satu sisi, janji kesetiaan pada kenangan Rania.
Di sisi lain, tangisan Naura yang hanya tenang di pelukan perempuan lain.
“Apa aku ayah yang egois… atau suami yang setia?”
Pertanyaan itu tidak punya jawaban malam itu.
Pagi menjelang.
Laras berdiri di dapur, menyiapkan air hangat untuk mandi Naura.
Bani memperhatikannya dari ambang pintu—cara Laras menggendong, menepuk perlahan, berzikir lirih.
“Laras.”
Laras menoleh, langsung menunduk.
“Iya, Mas.”
“Terima kasih.”
Laras terdiam.
“Untuk Naura,” lanjut Bani. “Dan… karena kamu tau batas.”
Laras mengangguk. “Aku tidak pernah berniat melampaui apa pun, Mas. Aku hanya… tidak tega mendengar dia menangis.”
Bani menatap bayi di pelukan Laras.
“Kamu tahu Rania?”
“Dia perempuan paling kuat yang pernah aku kenal,” jawab Laras pelan. “Dan paling mencintai kamu.”
Bani menghela napas panjang. “Dia menitipkan sesuatu padaku, aku baru teringat semalam."
Laras mengangkat wajahnya. “Surat?”
Bani terkejut. “Kamu tau?”
Laras menggeleng. “Aku… hanya merasa.”
Laras membaca surat itu.
"Assalamu'alaikum Mbak Laras. Saat kamu membaca suratku ini, mungkin aku sudah tidak ada di dunia. Aku sangat mengagumi ketegaran hatimu mbak. Kamu punya hati yang tulus dan aku bisa melihat itu semua.
Jika aku boleh minta satu hal sama kamu, mbak. Bolehkah kamu menjaga putriku dengan baik, dengan cinta tulus, dengan kasih sayangmu? Entah kenapa hati aku memilih kamu. Mbak, menikahlah dengan Mas Bani. Agar Naura punya pelukan dan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah ia dapatkan dari ibu kandungnya. Dan Ameera pun punya seorang ayah yang tak pernah ia dapatkan sejak ia lahir. Jangan merasa bahwa kalian mengkhianati aku, aku tidak pernah merasakan itu, aku yang meminta dan aku memohon. Semoga mbak selalu bahagia, terimakasih sudah menerima."
- Rania -
Setelah membaca surat tersebut, Laras menutup mulutnya, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, ia luruh begitu saja. "Kenapa harus aku, Ran?" Lirihnya. "Aku gak tau harus bagaimana."
***
Pada malam itu, Bani akhirnya membuka buku kecil milik Rania. Di halaman terakhir, selembar surat terselip.
Tulisan Rania.
"Mas Bani, Jika kamu membaca ini, berarti aku benar-benar sudah pergi. Jangan marah ya, Mas… aku tidak takut mati, aku hanya takut Naura tumbuh tanpa pelukan seorang ibu. Mas, aku mengenal Laras. Aku melihat luka dan ketegarannya. Aku melihat bagaimana tangannya gemetar saat memeluk Ameera, tapi hatinya utuh.
Jika suatu hari Naura lebih tenang di pelukannya, tolong jangan anggap itu pengkhianatan. Anggap itu jawaban doaku.
Aku mencintaimu, Mas. Dan justru karena itu aku ingin kamu melanjutkan hidup, bukan membeku di kenanganku. Jaga Naura.
Jika hatimu belum siap mencintai lagi, tak apa.
Tapi jangan biarkan anak kita tumbuh tanpa kasih sayang. Aku ridha."
Bani menangis kembali. Ia tak bisa mengabulkan permintaan istrinya namun Naura juga butuh kasih sayang seorang ibu meskipun ia sanggup.
***
(Monolog batin Laras)
Surat itu bergetar di tanganku.
Tulisan tangan Rania—rapi, lembut, seperti dirinya. Setiap huruf terasa hidup, seolah ia sedang duduk di hadapanku, tersenyum kecil seperti biasa.
“Mbak Laras…”
Dadaku sesak.
Aku menutup mata sejenak, menarik napas panjang, tapi air mata tetap jatuh.
"Ran… kenapa kamu sebaik ini bahkan saat kamu akan pergi?
Aku tidak pernah meminta peran ini. Tidak pernah membayangkan hidupku akan sampai pada titik ini, menggantikan seseorang yang begitu dicintai, begitu dirindukan.
Aku hanya ingin hidup tenang. Membesarkan Ameera. Menyembuhkan luka-lukaku sendiri.
Tapi kamu, Ran…
kamu menitipkan hidup paling berhargamu padaku.
Naura.
Anak kecil itu bahkan belum tahu namaku. Belum tahu wajahku akan menjadi yang paling sering ia lihat saat terbangun nanti.
Aku takut.
Takut tidak cukup baik.
Takut tidak bisa setulus kamu.
Takut setiap pelukanku hanya akan terasa seperti bayangan.
Bagaimana caranya menjadi ibu… untuk anak dari perempuan sekuat kamu? Bagaimana caranya berdiri di samping Bani, laki-laki yang hatinya masih sepenuhnya milikmu? Aku bukan pengganti, Ran. Aku tahu itu. Aku tidak akan pernah mengambil tempatmu. Dan mungkin… itulah yang kamu mau. Kamu tidak meminta aku menggantikanmu. Kamu hanya meminta aku menjaga. Menjaga Naura dengan cinta. Menjaga Bani agar tidak runtuh sendirian. Menjaga rumah itu agar tetap hangat."
Aku menekan surat itu ke dadaku.
"Kalau kamu masih ada, aku pasti akan bilang: jangan titipkan ini padaku. Tapi kamu sudah pergi. Dan kamu pergi dengan percaya."
Air mataku jatuh semakin deras.
Aku tidak berjanji akan sempurna, Ran…
Tapi aku berjanji tidak akan kejam.
Aku akan mencintai Naura seperti aku mencintai Ameera—tanpa hitung-hitungan darah. Aku akan menghormati namamu dalam setiap langkahku.
Dan aku akan menjaga jarak yang kamu titipkan—agar cintamu tetap utuh, meski ragamu tiada.
Jika ini jalan yang kamu pilihkan… aku akan melangkah dengan hati-hati. Bukan sebagai perempuan yang menang. Tapi sebagai perempuan yang dipercaya.