 
                            Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Untuk apa kalian datang setelah menghancurkan hidup orang lain?
Langkah Arum terhuyung saat keluar dari ruangan itu. Napasnya tersengal, dadanya sesak oleh tangis yang baru saja ia tahan di depan Reghan. Air matanya belum sempat kering ketika suara langkah kaki berat terdengar cepat di belakangnya.
“Arum!”
Suara itu, suara yang dulu pernah ia rindukan setiap pagi, namun kini hanya membuat tubuhnya menegang. Arum mempercepat langkahnya di koridor rumah sakit, namun Reghan tetap mengejar. Orang-orang yang lewat menoleh, menyaksikan adegan yang tak biasa di tengah lorong putih itu.
Reghan akhirnya berhasil meraih lengan Arum dan menariknya perlahan.
“Arum, dengar aku dulu...”
“Lepas!” jerit Arum, menoleh dengan mata yang merah basah. “Aku nggak mau dengar satu kata pun dari kamu!”
“Arum, aku...”
“Cukup, Reghan!” suara Arum memecah keheningan, menggema di sepanjang lorong. “Kamu pikir setelah semua yang kamu lakukan, aku masih sanggup lihat wajah kamu? Aku benci kamu! Aku benci semuanya!”
Tangannya bergetar, tubuhnya gemetar di antara amarah dan luka lama yang terbuka lagi. Reghan hanya berdiri di depannya, menatap wajah wanita itu yang kini penuh air mata dan rasa sakit yang ia ciptakan sendiri.
“Benci nggak akan ngubah kenyataan, Arum,” suaranya parau, nyaris berbisik. “Kamu masih peduli … Aku yakin kamu masih cinta. Kalau nggak, kamu nggak akan datang dan nangis kayak gini.”
Arum memukul dada Reghan sekuat yang ia bisa. “Diam! Aku nggak pernah cinta sama kamu! Aku nggak pernah cinta sama kamu lagi!”
Setiap kata terasa seperti belati di dada Reghan, tapi pria itu justru menarik Arum lebih dekat dan memeluknya. Arum meronta, menolak sekuat tenaga.
“Lepas, Reghan! Lepas! Jangan sentuh aku!”
Namun Reghan tak melepaskan, kedua lengannya mengurung Arum dalam pelukan yang dipenuhi rasa bersalah, cinta, dan kehilangan.
“Sekali ini aja, Arum … biarkan aku minta maaf tanpa kata-kata,” bisiknya di telinga Arum. “Aku cuma pengin kamu tahu, aku masih di sini. Aku nggak akan biarkan kamu tanggung semuanya sendirian lagi.”
Arum memukul bahunya, air matanya membanjiri dada Reghan.
“Kamu bahkan nggak tahu rasanya disiksa karena tuduhan yang nggak pernah aku lakuin … kamu nggak tahu gimana aku bertahan hidup sambil ngandung anakmu sendirian…”
Suaranya pecah, berubah jadi isak yang lirih tapi menyayat. Reghan memejamkan mata, rahangnya menegang menahan rasa bersalah yang mengguncang dadanya.
“Maaf … aku nggak bisa ubah masa lalu. Tapi aku bisa menebusnya, Arum. Aku cuma mau kamu percaya satu hal ... aku nggak akan pergi kali ini.”
“Kamu udah pergi empat tahun yang lalu, Reghan!” seru Arum, mendorongnya keras hingga Reghan nyaris kehilangan keseimbangan.
“Dan waktu itu, sesuatu di dalam aku juga ikut mati bersamaan.”
Reghan terpaku, air matanya jatuh, pelan tapi pasti. Tatapan mereka bertemu dalam diam yang berat dua jiwa yang dulu menyatu, kini saling menyiksa dengan kenangan yang sama. Dari ujung koridor, Gavin berdiri kaku di ambang pintu. Matanya tajam, tapi wajahnya datar.
Dia menyaksikan semuanya, pelukan yang penuh luka itu, air mata Arum yang dulu hanya ia lihat ketika mimpi buruk datang, dan Reghan yang kini berdiri di hadapannya, seolah hendak merebut kembali sesuatu yang sudah lama ia jaga. Tangan Gavin terkepal erat di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras menahan emosi. Ia tahu, Arum bukan miliknya sepenuhnya. Tapi melihat Arum di pelukan pria yang pernah menghancurkannya, membuat dada Gavin terasa seperti diremas dari dalam.
“Arum,” suara Gavin akhirnya pecah, berat dan tajam. Kedua orang itu menoleh serempak.
“Kalau kamu masih butuh waktu, aku tunggu di ruang Revano. Tapi aku nggak akan biarkan kamu jatuh untuk kedua kalinya karena orang yang sama.”
Arum menarik napas dalam, menatap Gavin dengan mata yang penuh air mata. Dia menatap Reghan untuk terakhir kalinya, suaranya bergetar saat berkata,
“Jangan muncul lagi di hadapan aku, Reghan … jangan buat aku harus membenci kamu lebih dari ini.”
Dia berjalan melewati Gavin yang diam tanpa kata. Sementara Reghan hanya bisa berdiri menatap punggung wanita itu menjauh perlahan, tapi pasti. Dan di balik semua kesakitan itu, Reghan akhirnya sadar, cinta Arum padanya memang tak pernah hilang.
Tapi luka yang ia tanam sudah terlalu dalam untuk bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf.
Suasana ruang inap itu semula tenang. Hanya terdengar bunyi alat monitor jantung yang berdetak pelan, menandai napas kecil Revano yang tertidur lemah di ranjang rumah sakit. Arum menggenggam tangan mungil anak itu dengan mata masih sembab.
Pintu tiba-tiba terbuka. Dua sosok berdiri di ambang pintu wanita tua dengan senyum lembut dengan mata yang sayu, dan seorang pria paruh baya dengan wajah tegas serta aura berwibawa yang tak asing bagi Arum. mereka Oma Hartati dan Tuan Argantara.
Langkah Arum seketika membeku. Tatapan matanya yang lembut berubah tajam dalam sekejap.
“Kenapa kalian di sini?” suaranya dingin, nyaris tanpa ekspresi, tapi mengandung amarah yang tertahan.
Oma Hartati melangkah pelan ke depan, suaranya bergetar.
“Arum, Nak … Oma cuma mau lihat cicit Oma. Tolong, jangan usir kami. Oma mohon maaf atas semuanya. Oma tahu … dulu keluarga kami salah besar.”
Arum berdiri, tubuhnya kaku, tatapannya penuh luka dan ketegasan.
“Maaf?” ia mengulang lirih, tapi nada suaranya getir.
“Semua orang di keluarga kalian bilang maaf setelah menghancurkan hidup orang lain. Setelah menuduh, setelah mengusir, setelah membiarkan aku dan anakku hidup tanpa nama.”
Dia menggeleng, air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Kalian nggak punya hak buat datang ke sini.”
Tuan Argantara maju satu langkah, suaranya berat namun tegas.
“Arum, bagaimanapun juga anak itu ... Revano ... masih darah daging keluarga Argantara. Aku tidak akan menutup mata terhadap cucuku sendiri.”
Tatapan Arum langsung berubah tajam, seperti pisau yang siap mengiris.
“Cucu?” katanya dengan nada getir. “Anak ini bukan tanggungan keluarga kalian, Tuan Argantara. Kalian bahkan nggak tahu gimana dia bertahan hidup selama tiga tahun tanpa bantuan siapa pun. Jadi jangan pernah sebut Revano bagian dari keluarga itu!”
Udara di ruangan terasa tegang. Oma Hartati mulai terisak, namun Arum tak menoleh sedikit pun.
“Pergi, aku nggak mau Revano tumbuh dikelilingi orang-orang yang cuma bisa menghancurkan.”
“Arum, tolong...” Oma Hartati mencoba meraih tangan Arum, namun wanita itu mundur satu langkah.
“Jangan sentuh aku, Oma. Aku udah cukup berjuang sendirian tanpa belas kasihan siapa pun dari keluarga kalian.”
Suara langkah Gavin terdengar dari belakang. Ia masuk dengan wajah dingin dan tatapan tajam.
“Sudah cukup,” katanya tenang namun penuh wibawa. Ia menatap keduanya bergantian. “Saya rasa, Nyonya Hartati, Tuan Argantara … Arum dan Revano butuh ketenangan. Ini bukan waktu yang tepat untuk memaksa bicara soal masa lalu.”
Tuan Argantara menatap Gavin, nadanya menurun tapi tetap keras.
“Dan kamu siapa? Sampai berani bicara begitu di depan saya?”
Gavin menatap lurus tanpa gentar. “Saya dokter yang selama ini merawat Arum dan Revano. Orang yang tahu bagaimana beratnya perjuangan mereka ... tanpa bantuan siapa pun dari keluarga besar kalian.”
Dia memberi isyarat halus ke arah pintu. “Kalau Tuan dan Nyonya sungguh peduli, tolong hormati batas mereka.”
Oma Hartati menatap cicitnya yang terbaring dengan mata berkaca, dia menutup mulut menahan isak.
“Baiklah, Nak … Oma pamit dulu,” katanya lirih, menatap Arum dengan tatapan yang masih memohon. “Tapi tolong, jangan tutup pintu sepenuhnya untuk Oma.”
Arum tak menjawab, dia hanya memalingkan wajahnya ke arah Revano, membelai rambut anak itu pelan seolah dunia luar sudah tak berarti lagi.
Tuan Argantara akhirnya menarik napas dalam dan menatap Gavin sekilas. “Jaga mereka baik-baik, Dok. Karena kalau sampai sesuatu terjadi pada cucuku, saya akan tahu siapa yang bertanggung jawab.”
Tanpa menunggu balasan, keduanya pun melangkah pergi. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan hening yang berat di ruangan itu.
Arum menunduk, air matanya jatuh ke punggung tangan kecil Revano. Gavin berdiri di belakangnya, menatap punggung rapuh wanita itu. Ia ingin menghibur, tapi tahu tak ada kata yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu.
gas laaah
ga jelas banget dah itu orang
dulu aja menghakimi tanpa belas kasih
sekarang aja sok berhak atas cucunya
g usah dipaksa klo emng membhyakan re,, gampang ja nebus keslhan yg telah mnghncurkn arum , pnjrakan atau siksa aja itu orang yg sdh fitnah arum han, greget bngt sm mereka yg jhat tp aman" aja hidupnya 😢😢
gara gara part ini aku sampai nangis bombai.......,😭😭😭 nyesek banget rasanya nya.....
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,