Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 : BARANG YANG BERACUN
Hari mulai gelap, aku tak tau sejak kapan aku terlelap di dalam gudang yang penuh barang.
Erlangga membanting pintu gudang itu hingga terbuka, cahaya terang dari luar mendadak menusuk mataku yang sudah terbiasa dengan kegelapan. Tanpa sepatah kata pun, ia menyambar lenganku dan menyeretku menuju meja makan yang sudah tertata rapi dengan hidangan mewah.
"Makan," perintahnya singkat, suaranya terdengar sangat tajam di tengah kesunyian ruang makan.
Aku hanya duduk mematung. Aroma makanan yang biasanya menggugah selera kini justru membuatku mual. Air mata terus mengalir tanpa henti, membasahi pipiku yang masih terasa perih dan panas. Aku menunduk, menatap piring kosong di hadapanku, sementara tubuhku tak berhenti gemetar.
"Aku bilang makan, Shilla!" bentaknya sambil menggebrak meja. Gelas kristal di sampingnya berdenting keras. "Aku sudah bersusah payah menyiapkan ini semua. Jangan buat kesabaranku habis!"
Aku tetap diam. Bibirku terkatup rapat, terkunci oleh rasa takut dan benci yang meluap. Isak tangisku semakin keras, memenuhi ruangan itu dengan suara keputusasaan.
Melihat reaksiku yang hanya diam membisu, kemarahan Erlangga meledak. Ia berdiri dengan sentakan kasar hingga kursinya terjungkal ke belakang.
"Kau benar-benar ingin mengujiku, ya?" desisnya dengan mata yang melotot mengerikan.
Ia menjambak rambutku dan memaksaku berdiri. "Kalau kau tidak mau makan, berarti kau punya banyak energi untuk menerima hukumanmu!"
Ia menyeretku dengan kasar menuju kamar utama. Aku mencoba meronta, mencengkeram kaki meja, namun kekuatannya jauh lebih besar. Begitu sampai di dalam kamar, ia melemparkanku ke atas tempat tidur dengan sangat keras hingga kepalaku pening.
Lampu kamar yang remang-remang menciptakan bayangan panjang yang menakutkan di dinding. Erlangga menindih tubuhku, mengunci kedua pergelangan tanganku di atas kepala dengan satu tangan besarnya yang terasa seperti borgol besi. Napasnya memburu, terasa panas dan memburu di ceruk leherku.
"Lepaskan... Erlangga, kumohon..." rintihku dengan suara yang pecah karena isak tangis.
Ia tidak memedulikan permohonanku. Ia justru semakin menekan tubuhnya ke arahku, memaksaku merasakan dominasinya yang mutlak. Dengan gerakan kasar, ia mulai menciumi leherku, namun bukan ciuman penuh kasih sayang—itu adalah klaim kepemilikan yang menyakitkan.
"Diamlah," bisiknya parau di telingaku. Suaranya bergetar antara amarah dan gairah yang terdistorsi. "Kenapa kau harus sesulit ini? Aku hanya ingin kau kembali, Sarah."
Setiap kali aku mencoba meronta, ia akan mengeratkan cengkeramannya hingga aku meringis kesakitan. Keintiman yang seharusnya didasari cinta, kini berubah menjadi senjata untuk menghancurkanku. Suasana kamar itu dipenuhi oleh suara yang kontras: desahan napasnya yang berat dan penuh kepuasan egois, beradu dengan isak tangisku yang tersedak.
Lengan kekarnya melingkari pinggangku dengan posesif, menarikku paksa untuk mengikuti setiap gerakannya. Di bawah tekanan tubuhnya, aku merasa oksigen di sekitarku seolah menipis. Lenguhan yang keluar dari bibirnya terdengar seperti kemenangan, sementara aku hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat, mencoba memisahkan jiwaku dari tubuh yang sedang ia sakiti.
"Katakan namaku," perintahnya, suaranya dalam dan mengancam di tengah aktivitasnya yang semakin intens. "Katakan kau mencintaiku!"
Aku tidak menjawab. Aku menggigit bibirku hingga berdarah, menolak memberikan kepuasan itu padanya. Namun, hal itu justru membuatnya semakin liar. Desahan napasnya kian memburu saat ia memaksaku masuk lebih dalam ke dalam dunia ilusinya. Baginya, setiap reaksi tubuhku adalah tanda kepatuhan, padahal itu hanyalah bentuk dari rasa sakit dan keterpaksaan yang luar biasa.
"aaaah... Saraaah..."
hati ku hancur, di saat dia merasakan kepuasan nama Sarah yang dia sebut. Yang artinya, dia benar-benar menginginkan aku menjadi Sarah.
Setelah semuanya berakhir, ia tidak langsung melepaskanku. Erlangga tetap memelukku erat, membiarkan napasnya yang mulai tenang menerpa bahuku yang polos. Tangannya yang tadi kasar, kini mengelus punggungku dengan lembut yang membuatku merasa mual.
"Kau sangat indah malam ini," gumamnya, suaranya terdengar puas, seolah beban berat di pundaknya baru saja terangkat. "Tidurlah. Kau sudah menjadi milikku seutuhnya sekarang."
Ia bangkit, mengenakan jubah mandinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sebelum keluar, ia sempat menoleh ke arahku yang masih meringkuk tak berdaya di atas seprai yang berantakan.
"Jangan berpikir untuk pergi. Tubuhmu sudah mengenalku sekarang, Shilla. Kau tidak akan bisa lari."
Suara kunci yang diputar dari luar menjadi titik akhir dari kehancuranku malam itu. Aku tertinggal dalam keheningan yang menyakitkan, dengan aroma tubuhnya yang masih tertinggal di kulitku—sebuah pengingat permanen bahwa malam ini, ia telah merampas bagian terdalam dari diriku.
Aku menyeret langkahku yang berat menuju balkon. Tubuhku terasa remuk, namun luka di dalamnya jauh lebih parah. Dengan tangan yang masih gemetar, aku mengambil sebatang rokok dari saku gaun yang tersampir di kursi, menyulutnya, dan menghirup asapnya dalam-dalam. Dinginnya angin malam menusuk kulitku yang hanya terbalut kain tipis, tapi rasa dingin itu tak mampu membekukan api amarah dan kesedihan di dadaku.
Asap rokok itu meliuk ke udara, seolah membawa potongan-potongan hidupku yang hancur.
Aku menatap kerlip lampu kota dari ketinggian apartemen mewah ini, namun hatiku merasa berada di lubang yang paling gelap. Sejak kecil, aku tidak pernah benar-benar memiliki hidupku sendiri. Aku adalah mesin pencetak uang bagi keluargaku, bekerja hingga tulangku serasa mau patah demi memenuhi tuntutan mereka yang tak pernah puas.
Lalu, puncaknya terjadi. Ayah, pria yang seharusnya melindungiku, justru menjadikanku barang jaminan. Ia kalah dalam judi, dan nyawanya terancam. Solusinya? Aku. Aku dilemparkan kepada Mahendra seperti barang rongsokan untuk melunasi hutang-hutang kotornya.
"Aku hanya sebuah angka di mata Ayah," bisikku getir, membiarkan abu rokok jatuh tertiup angin. "Dan sekarang, aku hanya sebuah bayangan di mata Erlangga."
Di rumah ini, aku bukan Shilla. Aku tidak pernah menjadi Shilla. Aku hanyalah pelampiasan nafsu seorang pria yang terobsesi pada mayat. Aku dipaksa memakai baju wanita mati, mencium aroma parfum wanita mati, dan malam ini... aku dipaksa melayaninya seolah-olah aku adalah wanita itu.
Setiap desahan dan lenguhan yang ia paksakan dariku tadi terasa seperti paku yang menusuk harga diriku. Ia memuja raga ini, tapi ia membenci siapa aku sebenarnya. Ia ingin aku hidup sebagai Sarah, bernapas sebagai Sarah, dan mati sebagai Sarah.
"Kau menang, Erlangga," gumamku pada kegelapan. "Kau sudah mengambil tubuhku, kau sudah mengambil kebebasanku. Tapi kau tidak akan pernah bisa memiliki jiwaku."
Aku menyandarkan kepalaku di pagar balkon yang dingin. Badai di hatiku tidak kunjung reda, justru semakin mengganas. Aku merasa seperti burung dalam sangkar emas yang sayapnya telah dipatahkan berkali-kali. Namun, di balik rasa putus asa ini, sebuah percikan kecil mulai muncul. Jika dunia menganggapku sebagai barang, maka aku akan menjadi barang yang paling beracun yang pernah dimiliki Erlangga.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,