Sinopsis
Jovan, seorang pria muda pewaris perusahaan besar, harus menjalani hidup yang penuh intrik dan bahaya karena persaingan bisnis ayahnya membuat musuh-musuhnya ingin menjatuhkannya. Suatu malam, ketika Jovan dikejar oleh orang-orang suruhan pesaing, ia terluka parah dan berlari tanpa arah hingga terjebak di sebuah gang sempit di pinggiran kota.
Di saat genting itu, hadir Viola, seorang wanita sederhana yang baru pulang dari shift panjangnya bekerja di pabrik garmen. Kehidupannya keras, dibesarkan di panti asuhan sejak kecil tanpa pernah mengenal kasih sayang keluarga kandung. Namun meski hidupnya sulit, Viola tumbuh menjadi sosok kuat, penuh empati, dan berhati lembut.
Melihat Jovan yang berdarah dan terpojok, naluri Viola untuk menolong muncul. Ia membawanya bersembunyi di rumah kontrakan kecilnya yang sederhana. Malam itu menjadi titik balik dua dunia yang sangat berbeda.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lili Syakura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3 Dia telah pergi
Sementara itu, di tempat lain…
Jovan duduk di kursi kerja dalam ruangan yang cukup gelap, ditemani dua orang kepercayaannya. Wajahnya serius, matanya tajam menatap peta kecil yang terbentang di meja. Namun pikirannya tak sepenuhnya pada strategi.
"Pastikan gadis itu aman," ujarnya datar.
"Gadis itu, Tuan?"tanya salah satu anak buahnya ragu.
Jovan mengangguk, wajahnya tak terbaca.
"Ya, Viola. Jangan sampai ada yang mengganggunya. Dan laporkan semua yang terjadi padanya… langsung padaku."
Anak buahnya saling pandang, agak heran. Mereka tahu, Jovan jarang sekali memperhatikan orang lain, lebih lebih lagi seorang wanita, selain keluarganya atau urusan bisnis. Tapi kali ini berbeda—perintahnya tegas, bahkan nada suaranya mengandung sesuatu yang belum pernah mereka dengar sebelumnya,"kekhawatiran."
Setiap malam, laporan demi laporan masuk. Tentang Viola yang berangkat pagi-pagi, pulang larut, tentang senyumnya pada tetangga, tentang tangannya yang kasar karena bekerja keras. Dan setiap kali mendengarnya, Jovan tak kuasa menahan rasa hangat yang tumbuh di hatinya.
"Dia sungguh hidup sederhana… tapi kenapa aku merasa tenang hanya dengan tahu dia baik-baik saja?' gumamnya dalam hati.
Sementara Viola sendiri, tanpa sadar sering berdiri di depan rumah menatap jalanan. Seolah menunggu sesuatu—atau seseorang. Meski akal sehatnya berkata pria itu hanyalah persinggahan, hatinya mulai merindukan kemungkinan bahwa ia akan kembali.
Malam harinya .....
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Viola baru saja keluar dari pabrik garmen tempatnya bekerja. Lampu jalan sebagian redup, hanya beberapa yang menyala. Dengan tubuh lelah, ia menyalakan motor matic kesayangannya, lalu melaju perlahan melewati jalanan sepi.
Namun, dari kaca spion kecilnya, Viola menangkap bayangan,sebuah motor lain, yang sejak tadi tak pernah menyalip, hanya mengikuti di belakang. Jaraknya tak dekat, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
"Siapa itu? Kenapa dari tadi terus membuntuti ku?" bisiknya gelisah.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Viola mencoba mempercepat laju motor, namun motor itu tetap mengikutinya dengan kecepatan yang sama. Saat ia memperlambat, motor itu pun ikut melambat.
Ketika hampir tiba di jalan kecil menuju kontrakannya, Viola sengaja memutar arah lebih jauh,sekadar untuk memastikan. Dan benar saja, motor itu tetap berada di belakangnya.
Rasa takut mulai menguasainya. Viola menelan ludah, tangannya gemetar saat memegang setang motor. Ia hampir ingin berhenti dan berteriak minta tolong, tapi lingkungan sepi, tak ada siapa-siapa.
Akhirnya, ia nekat menyalakan gas penuh hingga sampai di depan kontrakannya. Begitu ia memarkir motor dengan terburu-buru, Viola cepat-cepat masuk ke dalam rumah, mengunci pintu rapat-rapat.
Di balik tirai jendela, ia mengintip. Dari kejauhan, motor itu berhenti sejenak, lampunya redup, lalu kembali berbalik arah.
Viola menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar hebat.
"Ya Tuhan… siapa orang itu? Kenapa mengikutiku?"
Yang tidak ia ketahui adalah… motor itu milik salah satu orang suruhan Jovan.
Mereka sengaja menjaga jarak, memastikan Viola aman dalam perjalanan malam. Namun karena ia tak pernah tahu, jadi bagi Viola semuanya terasa seperti ancaman.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya Viola sulit tidur. Bayangan motor misterius itu terus terlintas dalam pikirannya. Sementara, di persembunyiannya, Jovan menerima laporan dengan tenang.
"Dia terlihat takut, Tuan,!" ujar salah seorang anak buahnya.
Jovan terdiam lama, wajahnya penuh penyesalan.
"Mungkin cara ku salah… tapi aku hanya ingin memastikan dia tidak terluka."
Keesokan harinya, wajah Viola tampak pucat saat ia tiba di pabrik garmen. Matanya sembab karena semalam hampir tidak bisa tidur. Di sela jam istirahat, ia duduk bersama sahabat dekatnya, Rara, yang langsung menyadari keganjilan pada raut wajah Viola.
"Vio, kamu kenapa? Dari tadi aku lihat kamu murung sekali. Ada masalah di rumah?" tanya Rara sambil menyodorkan botol minum.
Viola menunduk, menggenggam kedua tangannya erat. Ia ragu, namun akhirnya tak sanggup lagi memendam rasa takutnya.
"Ra… semalam aku merasa diikuti seseorang saat pulang kerja. Dari pabrik sampai ke rumahku. Dia terus membuntuti ku dengan motor, tapi nggak pernah menyalip… seolah hanya mengawasi ku.!"
Rara terbelalak, menutup mulutnya.
"Apa?! Astaga, Vio! Terus kamu gimana?"
"Aku langsung kabur pulang, buru-buru masuk rumah. Aku lihat dari jendela, motornya berhenti sebentar lalu pergi. Tapi, Ra… aku benar-benar takut. Seandainya orang itu berniat jahat, aku sendirian, nggak ada yang bisa nolongin…" suara Viola mulai bergetar, matanya berkaca-kaca.
Rara spontan menggenggam tangan Viola erat-erat.
"Viola, kamu nggak boleh diam saja. Kamu harus hati-hati. Kalau perlu, aku temani kamu pulang malam ini. Atau kita lapor sama satpam komplek. Siapa tahu itu orang berniat buruk."
Viola hanya mengangguk pelan. Hatinya masih diliputi rasa takut. Namun, tanpa ia sadari, beberapa rekan kerjanya yang duduk tak jauh dari meja mereka mendengar percakapan itu.
Bisikan-bisikan pelan mulai terdengar.
"Katanya Viola diikuti orang… jangan-jangan ada pria yang naksir dia diam-diam."
"Hmm… kemarin kan memang ada cowok misterius di rumahnya, bener nggak? Jangan-jangan itu orangnya."
"Ih, jangan-jangan… Vio itu sembunyi-sembunyi punya pacar kaya raya, makanya ada mobil mewah sempat berhenti di depan rumahnya."
Viola tidak menyadari bahwa ceritanya pada sahabatnya justru menjadi bahan gosip baru. Rara yang sempat mendengar bisikan-bisikan itu hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan Viola yang sudah cukup tertekan.
"Udah, Vio. Nggak usah peduliin omongan orang. Fokus aja jaga diri kamu. Kalau perlu, aku minta kakakku buat jemput kamu nanti malam. Kamu nggak boleh pulang sendirian dulu."
Viola mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kecil, rapuh, dan sendirian menghadapi ketakutan itu. Namun jauh di tempat lain, Jovan justru terus menerima kabar perkembangan tentang dirinya.
"Dia mulai curiga, Tuan,' lapor anak buahnya.
Jovan menatap jauh, wajahnya muram.
"Semua ini malah membuatnya takut… tapi aku tak bisa berhenti mengawasinya. Aku hanya ingin dia aman."katakan Jovan.
Seperti yang di janjikan oleh Rara
Malam itu, sesuai janjinya, Rara menunggu Viola di depan pabrik. Mereka berdua pulang bersama menggunakan motor matic milik Viola. Rara duduk di belakang sambil melingkarkan tangan ke pinggang sahabatnya.
"Tenang aja, Vio. Kalau ada yang aneh, aku ada di belakang kamu," ujar Rara mencoba menenangkan.
Viola hanya mengangguk, tapi matanya terus melirik ke spion. Ia masih dihantui kejadian semalam. Jalanan menuju rumahnya cukup sepi, hanya sesekali dilewati truk atau motor lain.
Namun benar saja… tak lama setelah melewati perempatan lampu merah,sebuah motor hitam kembali muncul dari belakang. Lampunya sengaja dibiarkan redup, jaraknya tak pernah terlalu dekat, tapi juga tak pernah jauh.
"Degg… !!"
jantung Viola langsung berdegup kencang. Tangannya bergetar saat menggenggam setang.
"Ra… dia lagi. Dia ada di belakang kita,"bisiknya dengan suara panik.
Rara segera menoleh sedikit, lalu wajahnya langsung tegang.
"Kamu bener, Vio. Itu motor dari tadi ngikutin. Astaga… apa yang dia mau?!"