"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Api Unggun
...୨ৎ L A V I N I A જ⁀➴...
Setelah aku berkeliling di setiap ruangan, mencari kunci lemari, berharap ada sesuatu yang bisa memicu ingatanku, akhirnya aku menyerah dan menuju dapur. Soalnya, perutku sudah minta diisi. Aku buka kulkas, kupikir isinya kosong. Aku bahkan sudah siap-siap memesan taksi atau apalah buat pergi ke pusat kota. Eh, ternyata kulkasnya justru penuh.
Aku mengambil beberapa bahan untuk membuat sandwich. Baru saja aku mulai makan, aku mendengar suara aneh dari luar. Seketika aku diam, menahan napas. Tapi enggak ada apa-apa.
Aku lanjut makan sambil berusaha menenangkan pikiran. Padahal biasanya aku nyaman sendiri, tapi sejak kecelakaan, kesendirian justru membuatku gelisah. Semakin lama sendiri, pikiranku makin liar, aku takut enggak akan pernah jadi diriku yang dulu.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, sontak membuatku melompat. Aku melirik ke meja kecil tempat Ernest bilang dia menaruh pistol.
"Ini kita, santai!" Talia berteriak dari luar, dia tahu kalau aku pasti panik.
Aku membuka pintu, dan di sana sudah ada Talia, Inggrid, Maisie, dan Calla. Mereka membawa kantong plastik berisi makanan dan wine.
"Bawa oleh-oleh, nih!" kata Maisie sambil menyeringai.
Talia langsung masuk duluan. Gayanya santai banget, seperti sudah biasa main ke sini.
"Eh, gak usah repot-repot gitu, lah," kataku, tapi satu per satu mereka sudah terlanjur masuk.
Aku memeluk Calla karena ini pertama kalinya kami bertemu lagi sejak aku kembali ke Palomino.
"Gila, cowokmu benar-benar ngerombak tempat ini, ya," Talia mengamati sekeliling. "Benar-benar dibersihin."
Talia meletakkan makanan di meja dapur.
"Yah, kan dia emang nyewain tempat ini," kata Maisie.
"Dia buang semua foto kalian berdua," tambah Inggrid sambil menggeleng.
"Tapi Maisie benar juga, penyewa pasti jijik lihat foto kalian."
"Kamu tahu dia naruh semua barang kamu di mana?" tanya Talia sambil mengeluarkan bungkusan aluminium dari kantong.
"Ada lemari yang dikunci. Tapi aku enggak punya kuncinya," jawabku.
Talia langsung jalan ke sana. Kami semua mengikuti, sepertinya dia bisa membuka lemari itu. Dia mencoba memutar gagangnya, sama seperti yang kulakukan tadi. Tetap tidak berhasil.
"Aku yakin semua barang dia disimpan di sini," ujarnya.
Aku mengangguk. "Aku udah nyari kuncinya, tapi enggak ketemu."
Talia menggaruk dagunya. "Udah, ah ... makan dulu aja. Biar otak kita lebih encer kalau kenyang."
Kami kembali ke dapur. Mereka mulai membuka bungkus aluminium, dan ternyata ... mereka bawa Kebab!
"Dulu kamu sukanya ayam doang, tapi sekarang kita bawa yang macam-macam. Kali aja selera kamu berubah," kata Maisie sambil mengambil piring, sedangkan Inggrid sudah menyiapkan sendok dan garpu.
"Kalian sering nongkrong di sini juga, ya?" tanyaku sambil memperhatikan mereka yang bergerak di dapur seperti di rumah sendiri.
Mereka saling bertatapan, lalu Inggrid menjawab, "Kamu sama Ernest tuh selalu jadi tuan rumah buat Kebab Party. Terus tiap Sabtu juga tempat ini kayak Open Door Club. Ernest tuh sering banget smoke daging kadang juga barbekiu-an."
Aku mengangkat alis.
"Smoke? Kayak ... ngerokok?"
"Nggak, haduuh ... dari smoker yang gede itu, loh," Maisie menunjuk ke arah dek belakang. "Kamu turun aja ke bawah, kamu bakal lihat."
Penasaran, aku keluar ke dek dan melihat tangga yang mengarah ke jalan setapak. Di ujungnya ada api unggun kecil yang dikelilingi kursi. Aku turun, dan benar saja, ada Smoker Grill dirantai ke tiang dek, lengkap dengan tulisan “Bukan untuk penyewa”.
Tempat itu tampak jelas sering dipakai. Aku sampai bengong menatapnya.
"Kamu enggak apa-apa?" Inggrid tiba-tiba datang dan menyentuh bahuku.
Aku mengangguk. "Aku cuma pengin ingat aja."
"Maaf, ya," katanya pelan.
"Nggak usah minta maaf."
"Aku dengar, kamu ke mana-mana selalu digosipin orang." Ia tersenyum miris.
Aku tertawa. "Iya, tapi aku tahu mereka niatnya baik kok."
"Oh syukurlah ... Dulu—" ia terhenti. "Eh, udah deh. Nanti aku kena masalah hari Senin."
Dia menyandarkan kepala ke pundakku, dan aku menyandar balik. Aneh memang, tapi meskipun ingatanku kabur, aku merasa dekat dengan keluarga Sastrowardoyo, seperti sudah mengenal mereka sangat lama.
"Tunggu. Maksud kamu tadi apa? 'Dulu' kenapa?"
Dia langsung mengangkat kepala. "Ayo balik dulu sebelum Kebab favorit kamu abis," katanya, lalu berjalan lebih dulu.
"Malam ini kita bikin api unggun, yuk. Aku yakin Ernest punya stok kayu bakar di sini." Dia menunduk ke bawah dek dan menemukan beberapa potong kayu.
“Inggrid!” panggilku.
“Tahu enggak sih, tempat ini rating-nya bintang lima semua, loh di Maps. Eh, kecuali satu orang.”
“Inggrid .…”
“Cewek ini nyebelin banget. Dia nelepon Ernest mulu selama di sini, ngeluh mulu. Dia kasih bintang tiga terus katanya tempat ini terlalu kuno. Serius, dia kira ini hotel bintang lima apa gimana?”
“Inggrid!” Kali ini aku berteriak. “Kamu tadi mau ngomong apa?”
Inggrid bengong.
“Nggak ada. Enggak penting. Lupain aja!”
“Serius? Kamu mau gantung aku gitu aja?”
Wajahnya sontak berubah. “Nggak bisa. Orang aku udah janji buat enggak ngomong.”
“Please? Semua orang tahu gimana keadaan aku yang dulu. Aku juga pingin tahu, aku dulu tuh orang kayak gimana, sih?”
“Oke deh. Aku nyalain apinya dulu, ya? Tenang ... Tapi kalau cewek-cewek di atas sampai tahu aku bocorin ini, bisa-bisa aku didepak dari geng.”
Inggrid mulai mengambil kayu.
“Wah, serem juga tuh,” kataku sambil membantunya membawa kayu ke arah api unggun. “Oke. Aku janji enggak bakal ngomong. Kamu segitu bencinya, ya, sama aku, humm?” Aku meletakkan kayu dekat api unggun, sementara Inggrid mulai menyusunnya dengan rapi.
“Nggak lah! Sumpah! Mana bisa aku benci sama ipar.” Dia berhenti sejenak. “Cuma … kadang dulu kamu tuh .…”
Aku berdiri, tangan di pinggang, menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. “Inggrid?”
“Sombong ... sama ... sok banget jadi orang!” Dia menghela napas. “Aduh, aku jahat banget ya udah ngomong begini?”
“Jadi aku tuh???”
Dia tertawa. “Eh, jangan salah paham. Kita semua bisa aja jadi orang yang nyebelin, kan? Itu enggak masalah, kok.”
Aku membantunya menaruh kayu, dan dia menyelipkan ranting-ranting kecil ke celah piramida kayu yang ia susun.
“Aku kelihatan kayak cewek nyebelin, ya?" tanyaku.
“Kamu enggak nyebelin, kok. Serius. Lavinia yang dulu enggak bakal mau bantuin aku kayak gini.”
“Apaan?” Alisku langsung terangkat.
“Iya, kamu dulu paling cuma duduk aja di kursi pas aku sibuk ngerjain semua ini.”
“Wah, gila sih. Maaf ya, Inggrid,” kataku sambil menyalakan api.
“Nggak usah minta maaf. Dulu emang sifatmu kayak gitu. Dan toh juga enggak ada yang benci kamu karena itu.”
“Woi, kalian berdua! Enggak mau Kebab super crunchy ini, apa!?” teriak Talia dari balkon, mulutnya masih penuh makanan.
“Kita habisin, ya?” Maisie ikut berteriak sambil menuangkan Wine ke gelas Talia.
“Ayo, kita have fun aja malam ini. Lupain semua drama,” kata Inggrid sambil naik kembali ke tangga setelah api menyala.
“Inggrid,” panggilku. Dia menoleh ke belakang. “Kamu pikir Ernest benaran sayang sama aku? Maksud aku … benaran cinta?”
Dia kembali turun dan langsung memelukku.
“Cuma itu sih yang paling aku yakin. Ernest itu enggak pernah berhenti sayang sama kamu. Makanya aku nyesel banget udah ngomong macem-macem.” Dia memelukku erat. “Kita semua sayang sama kamu, Lavinia. Kamu itu udah kayak keluarga kita sendiri. Dan sama kayak anggota keluarga lainnya, kamu juga punya kebiasaan nyebelin. Aku juga sebel sama Maisie yang kelihatannya selalu sempurna. Atau Lettie yang suka gosipin orang di salon, tapi enggak pernah cerita ke aku. Silas yang selalu mengkritik acara radioku. Dan Leo? Gila, dia gombalin semua cewek yang dia lewatin. Tapi ya gitu deh, kita semua punya sisi anehnya masing-masing. Kamu juga. Enggak ada yang salah.”
Dia memelukku sekali lagi. Pelukannya enak banget, jujur. Sudah lama aku enggak merasakan pelukan kayak begini sejak kecelakaan.
“Udah, sekarang kita makan Kebab dan have fun bareng, ya?” Dia tersenyum.
“Boleh nanya satu hal lagi, nggak?” Dia melirikku sambil mengembuskan napas panjang. “Soalnya cuma kamu yang mau ngomong blak-blakan sama aku.”
Dia mengangguk pelan. “Yah, mungkin itu hal yang paling nyebelin dari aku buat mereka.” Dia tertawa kecil.
“Aku dulu bahagia enggak sih? Maksudku, sama Ernest?”
Dia menarik napas lagi. “Menurut aku sih ... Hemm ... Iya. Kamu kelihatan bahagia. Tapi pas kamu tiba-tiba pergi, kita semua kaget banget.”
“Aku juga ngerasa gitu. Aku pingin bareng lagi sama dia sekarang, tapi gimana kalau dulu justru aku yang jahat? Mungkin enggak, sih kalau aku yang selingkuh?”
Dia tertawa. “Di kota kecil kayak gini? Hmm ... kayaknya susah, deh. Tapi apa pun bisa aja sih, terjadi ya, kan? Tapi kalau iya, mana cowoknya sekarang?”
Aku mengangguk. “Mungkin aja aku udah putus sama dia.”
“Jadi kenapa enggak balik ke sini?”
“Karena aku ninggalin Ernest? Enggak tahu juga.” Aku mengangkat bahu.
Dia mengelus lenganku. “Aku enggak yakin kamu selingkuh. Soalnya kamu sama Ernest selalu sama-sama. Dan pas dia kerja, kamu biasanya nongkrong bareng Talia atau sama saudara cewek yang lain. Kamu itu enggak suka sendirian tahu, nggak?”
“Kalau itu, sih, enggak berubah.”
“Nah, makanya kita nyamperin kamu terus, kan? Biar rame. Tuh kan, ide aku kadang oke juga.” Dia tertawa.
“Gimana kalau dia yang selingkuh?” Dadaku mulai sesak.
Inggrid menggeleng. “Nggak mungkin. Dia, tuh type cowok yang butuh waktu lama buat move on. Naomi, tuh pacar pertamanya sejak kamu pergi. Dan mereka juga baru deket pas kamu balik lagi.”
“Serius?” Mataku melebar.
Dia tersenyum, puas bisa cerita. “Insting aku, sih, bilang kalau kamu pergi bukan karena ada orang ketiga."
“Kamu sendiri enggak punya pacar?”
Dia menggeleng. “Aku bakal jadi perawan selamanya kayaknya. Cuma jadi penonton saudara-saudaraku yang dapat happy ending.”
“Siapa, sih yang kamu omongin?"
“Silas sama Rosemary. Kamu sama Ernest ....”
Aku langsung buka mulut buat protes, tapi langsung dipotongnya. “Udah lah, kalian bakal nyatu lagi. Aku yakin. Terus Ansaldo sama Xena juga.”
“Xena?” tanyaku.
“Ingat, nggak?”
Aku mencoba mengingat. “Eh iya, Rosemary sama Xena mirip banget, deh.”
Mata Inggrid membesar. “Mereka tuh sebenarnya kakak beradik ... baru ketemu lagi aja. Panjang pokoknya ceritanya. Entar aku ceritain!”
Aku mengangguk.
“Yah, aku curiga Ansaldo sama Xena udah jadian diam-diam. Mereka sering bareng terus. Terus ... ya, Leo sih, pasti bakal dapat cewek juga suatu hari nanti.”
“Kamu juga pasti ketemu orang yang tepat nanti,” kataku. “Biasanya, sih, justru dari seseorang yang enggak kamu duga.”
Dia merangkul bahuku. “Kamu tahu nggak? Aku lebih suka deh sama Lavinia yang sekarang. Mungkin kamu harus ke Lettie, minta potongin rambut. Gaya pixie warna pink buat versi barumu, yah? Hehehe.”
“Pink tuh warna favorit aku, ya?” tanyaku.
Dia tertawa, melepas rangkulannya, dan menggeleng-geleng waktu di tangga. “Udahlah, stop mikirin masa lalu. Sekarang kamu sukanya warna apa?"
Inggrid naik tangga, dan aku cuma bisa diam di bawah. Mungkin dia benar. Mungkin aku harus berhenti memaksakan diri untuk jadi Lavinia yang dulu, aku harus mulai hidup di versi sekarang.
“Masalah datang!” teriak Talia dari pintu belakang.
Inggrid menoleh dari atas tangga. “Apaan?”
“Cowok-cowok resek pada datang,” katanya.
“Woy, Amnesia!” kata Leo sambil muncul dari balkon. “Ternyata kamu bisa juga nyalain api, ya?”
“Ahh, curang ... Pakai arang, ya?” teriak Silas.
Inggrid langsung kabur. Saat aku sampai di atas, cuma ada Ernest di balkon.
“Kelihatannya kamu udah nemuin semuanya, ya?”
“Kecuali kunci lemari,” jawabku.
Dia membuang mata.
“Ernest?”
“Besok aja, ya? Malam ini aku pingin santai dulu.”
“Oke,” jawabku. Enggak mau merusak suasana.
“Serius?”
“Iya! Aku juga bisa nyantai, kok!” tegasku.
“Kamu udah nyoba Kebab Ayamnya belum? Soalnya kalau ada cowok-cowok itu, semenit aja bisa jadi cuma tinggal piring doang.”
“Aku pingin yang daging sapi deh.”
Dia tersenyum kecil. “Oke, aku rebutin satu buat kamu.” Dia jalan duluan dan aku mengikuti di belakangnya.
Masih banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, tapi buat malam ini ... aku akan coba buat menikmatinya saja dulu.
lanjut kak