NovelToon NovelToon
Perjalanan Mengubah Nasib

Perjalanan Mengubah Nasib

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / CEO
Popularitas:437
Nilai: 5
Nama Author: clara_yang

Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Koridor rumah sakit malam itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung, bercampur dengan udara dingin dari AC yang bekerja terlalu keras. Lampu-lampu putihnya menyala temaram, memantulkan bayangan panjang di lantai mengkilap. Suasananya sunyi—terlalu sunyi untuk malam penuh kepanikan seperti ini.

Reno mendorong pintu ruang tunggu dengan bahu, masih terengah setelah perjalanan gila-gilaan dari gudang tua tempat pertarungan terakhir tadi terjadi. Keyla mengikutinya dari belakang, tubuhnya diselimuti selimut tipis milik rumah sakit, wajahnya pucat, bibirnya retak, dan kedua tangannya masih gemetar.

Begitu pintu terbuka, seluruh mata menoleh.

Dan dalam sekejap, suara-suara tertahan berubah menjadi seruan lega bercampur syok.

“Keyla—!”

“Ya Tuhan! Keyla!”

Ibu Keyla, yang sejak tadi menangis tanpa suara, langsung berdiri dan berlari memeluk putrinya. Pelukannya begitu erat, seolah takut Keyla akan menghilang lagi jika ia melepaskannya barang satu detik.

“A-aku baik, Bu…” suara Keyla serak, nyaris patah, tetapi ia memaksa bibirnya tersenyum. “Aku sudah pulang…”

Tapi begitu kata “pulang” keluar, tangis ibunya pecah lebih keras. Tangan yang memeluknya bergetar, menyapu wajah Keyla seakan memastikan putrinya benar-benar hidup.

Ayah Keyla datang beberapa langkah kemudian, wajahnya merah, matanya sembab, tetapi ia menahan diri—tak ingin menambah tekanan pada Keyla. Ia hanya menatapnya dengan pandangan yang penuh luka dan syukur.

“Kami pikir… kami pikir kami kehilangan kamu.” Suaranya tebal, bergetar.

Keyla menggigit bibir, dan air mata jatuh tanpa ia sadari. “Aku… aku takut juga, Ayah.”

Di sisi lain ruangan, orang tua Kenny berdiri terpaku. Tadi mereka datang sambil hampir terburu-buru, berharap melihat Kenny sudah membaik. Tapi kenyataan yang mereka terima jauh lebih buruk dari dugaan.

Begitu melihat Keyla masuk bersama Reno, wajah ibu Kenny berubah lega—namun hanya sepersekian detik sebelum rasa sakit lainnya kembali menghantam.

Karena Kenny… anak mereka… masih berada di ruang operasi.

Reno masih berdiri di dekat pintu, terengah, tubuhnya penuh debu dan bercak darah kering. Ketika ibu Kenny melihatnya, ia segera menghampirinya—meski langkahnya goyah.

“Reno… Kenny… bagaimana keadaan Kenny sekarang?” suaranya nyaris tidak keluar.

Reno menghela napas, menatap wanita itu dengan mata lelah dan merah. Ada rasa bersalah dalam nada bicaranya, walau sebenarnya ia tidak pantas menyalahkan diri sendiri.

“Bibi… kami sudah membawa Kenny secepat mungkin. Tim dokter bilang dia kehilangan banyak darah… tapi mereka masih berusaha.” Reno menunduk, menahan emosi yang mendesak keluar. “Kenny… dia bertarung habis-habisan demi Keyla. Dia—”

Ibu Kenny langsung menutup mulutnya dengan tangan, menangis dalam diam.

Ayah Kenny menepuk bahunya pelan, walau terlihat jelas ia pun hampir roboh. “Terima kasih, Reno. Kau sudah melakukan banyak hal.”

Reno hanya menggeleng. “Belum cukup… belum sampai Kenny bangun sendiri.”

---

Sementara itu, Keyla berdiri kaku di tengah ruangan setelah dipeluk oleh keluarganya. Napasnya pendek-pendek, dan pandangannya menerawang. Ia merasa seperti terjebak antara kenyataan dan mimpi buruk yang masih membekas di kepalanya.

Ketika matanya akhirnya bertemu dengan ibu Kenny, tatapan wanita itu melunak—penuh cinta tetapi juga penuh luka.

“Keyla… sini, Nak.”

Langkah Keyla berat. Setiap gerakannya penuh rasa bersalah yang menghimpit dada. Dia seharusnya merasa lega karena selamat. Tapi di balik itu ada satu kenyataan yang mematahkan seluruh perasaannya.

Kenny terluka parah.

Karena menyelamatkannya.

Ibu Kenny memeluknya begitu gadis itu cukup dekat. Pelukannya tidak menuntut jawaban, tidak menyalahkan—pelukan itu hangat, lembut, dan menyampaikan satu hal:

Ini bukan salahmu.

Tapi hati Keyla menolak.

“A-aku… aku penyebabnya… Kenny seperti ini karena aku…” Suaranya pecah, tubuhnya gemetar hebat.

Ibu Kenny menempelkan tangan di pipi Keyla. “Dengar aku baik-baik. Kenny memilih menyelamatkanmu karena dia mencintaimu. Itu bukan salahmu, Nak. Jangan pernah berpikir begitu.”

Air mata Keyla jatuh tanpa henti. “Aku… aku takut kehilangan dia. Aku takut dia… aku takut Kenny—”

“Kenny akan berjuang. Aku percaya,” jawab ibunya, meski suaranya sendiri retak.

Reno memejamkan mata beberapa detik, menahan napas dalam-dalam. Tak ada yang tahu lebih jelas tentang kondisi Kenny dibanding dirinya. Ia yang pertama kali melihat Kenny tergeletak di lantai gudang, tubuhnya berlumuran darah, matanya tertutup, dan napasnya begitu lemah.

Saat itu, Reno benar-benar berpikir Kenny… tidak akan bertahan.

---

Beberapa menit berlalu dalam kesunyian berat. Hanya terdengar suara langkah perawat, mesin oksigen di kejauhan, dan penyedot udara yang berdengung halus.

Kemudian pintu ruang operasi terbuka sedikit.

Semua spontan menoleh.

Seorang dokter keluar, mengenakan masker yang sudah diturunkan sedikit ke dagu, wajahnya serius tetapi tidak sepenuhnya buruk.

“Apa ada keluarga Kenny Radhiva di sini?” tanyanya.

Seluruh ruangan langsung bergerak.

Ibu Kenny berdiri paling depan. “Saya, Dok… saya ibunya.”

Wajah dokter itu menunjukkan campuran kelelahan dan kehati-hatian. “Operasinya masih berlangsung. Namun saya harus memberi tahu bahwa kondisinya sangat kritis. Luka tusuknya cukup dalam dan mengenai pembuluh besar. Kami berhasil menghentikan pendarahan sementara, tapi tekanan darahnya masih sangat rendah.”

Napas semua orang tertahan.

“Apakah… apakah dia akan selamat?” ayah Kenny bertanya, suaranya serak.

Dokter menghela napas pelan. “Kami masih berusaha semaksimal mungkin. Yang bisa saya katakan sekarang… peluangnya tetap ada. Tapi kami butuh waktu.”

Setelah itu dokter kembali masuk, meninggalkan keluarga dalam lautan kecemasan yang semakin menyesakkan.

Begitu pintu menutup, Keyla jatuh berlutut.

Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan.

Reno terkejut dan langsung menghampirinya. Ia berlutut di sampingnya, memegang bahu Keyla.

“Keyla… hey… tenang dulu.”

“Aku… aku tidak kuat… Reno…” Keyla menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Bagaimana kalau Kenny… bagaimana kalau dia tidak bangun lagi? Bagaimana kalau semua ini—berakhir karena aku? Aku tidak bisa… aku tidak bisa hidup dengan itu…”

“Jangan bilang begitu!” suara Reno naik sedikit, membuat semua orang menoleh. Tapi ia tidak peduli. “Kenny masih hidup, Keyla. Dia sedang berjuang. Kamu harus percaya itu.”

Keyla menggeleng, air mata mengalir tanpa henti. “Tapi aku takut… aku takut sekali…”

Reno menarik napas panjang. Ia menatap Keyla dengan tajam, penuh ketegasan—mirip dengan cara Kenny menatap orang ketika ia ingin mereka sadar.

“Dengar aku, Keyla.” Reno memegang kedua bahunya. “Kenny tidak mau kamu menyalahkan diri sendiri. Dia ingin kamu aman, dia ingin kamu hidup—karena kamu berarti buat dia. Kalau kamu jatuh sekarang… kalau kamu runtuh… bagaimana Kenny nanti kalau dia bangun dan tidak menemukan kamu ada di sini?”

Keyla membeku.

Reno melanjutkan, suaranya lebih lembut. “Berjuanglah untuk dia… seperti dia berjuang untukmu.”

Kalimat itu membuat seluruh ruangan sunyi.

Ibu Keyla menutup mulutnya, menahan tangis haru. Ayah Keyla memalingkan wajah, mencoba menenangkan diri. Sementara orang tua Kenny menatap Reno dengan rasa terima kasih yang mendalam—anak itu selalu ada untuk Kenny.

Keyla mengusap air matanya perlahan.

“Aku… aku ingin… menunggu Kenny,” katanya pelan. “Sampai dia bangun.”

Reno membantu Keyla berdiri dan menuntunnya duduk di kursi paling dekat pintu operasi. “Kalau begitu kita tunggu sama-sama.”

Keyla mengangguk kecil.

Dan untuk pertama kalinya sejak dibawa ke rumah sakit, ia meremas jemarinya sendiri, seakan mencoba memberi kekuatan pada dirinya sendiri—atau mungkin berharap kekuatannya sampai ke Kenny.

---

Jam terus berjalan.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Keyla tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya menatap lantai, sesekali mengusap air mata, dan sesekali memejamkan mata sambil berdoa dalam hati.

Reno, yang duduk di sampingnya, tidak tidur barang satu detik pun. Ayah dan ibu Kenny terus memantau pintu operasi, sementara keluarga Keyla saling berpegangan tangan, mencoba tetap kuat bersama.

Suasana hening itu seperti sebuah ruang tanpa waktu.

Hingga akhirnya…

Pintu operasi terbuka lagi.

Semua orang berdiri serempak.

Seorang dokter keluar, wajahnya letih tetapi kali ini… terlihat lebih tenang.

“Bagaimana keadaan Kenny?!” ibu Kenny menangis sambil melangkah maju.

Dokter melepas maskernya.

“Kami berhasil menstabilkan kondisinya.”

Seluruh ruangan terdiam.

Kemudian suara isak lega terdengar dari segala arah.

“Dia masih dalam kondisi kritis… tapi dia selamat,” lanjut dokter itu. “Sekarang dia akan dibawa ke ICU. Jika ia mampu melewati 24 jam pertama dengan baik, peluangnya untuk pulih akan meningkat signifikan.”

Ibu Kenny langsung menekup wajah, menangis tanpa suara. Ayahnya menunduk, bahunya naik turun, menahan emosi. Keluarga Keyla saling berpelukan, lega luar biasa.

Reno menghembuskan napas panjang, seakan melepaskan beban yang menindih dadanya sejak tadi.

Dan Keyla?

Keyla berdiri mematung, air matanya kembali jatuh—kali ini bukan karena takut…

Tapi karena harapan baru akhirnya muncul.

“Kenny…” bisiknya, nyaris tidak terdengar. “Tunggu aku… aku akan berada di sini saat kamu bangun.”

---

1
SHAIDDY STHEFANÍA AGUIRRE
Nangkring terus
Tsuyuri
Ngga kecewa sama sekali.
sweet_ice_cream
Jangan berhenti menulis, cerita yang menarik selalu dinantikan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!