Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 — Pengkhianatan Shan Bo
Pagi hari itu di Desa Kain Sutra terasa dingin, meskipun matahari bersinar cerah. Udara dipenuhi keheningan yang tebal—bukan keheningan damai, melainkan keheningan yang mencekam sebelum badai. Setiap penduduk desa tahu apa yang terjadi di Balai Desa kemarin, dan mereka tahu apa yang mungkin terjadi di gudang padi malam harinya.
Mei Lan kembali dari rumah Nona Yuhe saat hampir tengah hari. Ia tahu, jam tengah hari adalah waktu pertemuan mereka yang telah disepakati di pinggir hutan. Namun, ia tidak dapat pergi. Ibu Chen, meskipun sakit hati karena kehilangan hak tenun, tidak lagi marah, melainkan dipenuhi ketakutan dan putus asa.
Ayah Chen duduk di halaman, memegang cangkul, tetapi ia tidak bekerja. Ia hanya menatap kosong ke tanah. Kemiskinan yang mengancam kini terasa nyata.
“Mei Lan,” bisik Ibu Chen, air mata mengalir di pipinya. “Mengapa Kau melakukannya? Mengapa Kau menolak Ling Fan? Setidaknya kita akan aman.”
“Kita tidak akan aman, Bu,” jawab Mei Lan, suaranya tenang. “Kita akan aman tetapi kita akan mati di dalam. Jangan khawatir, saya akan mencari jalan. Saya tidak akan membiarkan kita kelaparan.”
Mei Lan berusaha menenangkan mereka, tetapi ia tahu, ia harus pergi. Ia harus bertemu Jian, mengambil gulungan itu, dan melarikan diri, membawa Ayah dan Ibunya jika mungkin.
Api Amarah Shan Bo
Sementara keluarga Chen berjuang dengan kehancuran ekonomi, Shan Bo sedang dibakar oleh amarah dan rasa malu yang melumpuhkan. Penolakan Mei Lan yang terbuka di Balai Desa—di depan seluruh desa—telah menghancurkan harga dirinya. Jian telah mempermalukannya dengan menjatuhkannya ke lumpur. Dan sekarang, dia tahu Jian bersembunyi di gudang, tidur di atas takdir yang seharusnya menjadi miliknya.
Shan Bo duduk di kedai desa, minum anggur beras dengan agresif. Ia tidak lagi peduli dengan kehormatan. Ia hanya menginginkan pembalasan.
Tiba-tiba, kedai itu menjadi sunyi.
Sebuah kelompok kecil orang asing memasuki desa. Mereka tidak mengenakan pakaian prajurit resmi, tetapi pakaian perjalanan sutra gelap. Ada tiga orang, dipimpin oleh seorang pria tinggi kurus dengan mata tajam seperti elang. Pria itu, Letnan Han, adalah salah satu tangan kanan terpercaya Tuan Yu, Mata-mata Kepala Istana.
Letnan Han tidak mencari Kepala Desa Liang. Ia langsung mencari penduduk yang paling vokal tentang masalah orang asing.
Letnan Han menghampiri Shan Bo. “Kau adalah Shan Bo, putra pedagang?”
Shan Bo, meskipun mabuk, merasakan bahaya yang dingin dari pria asing itu. Ia mengangguk.
“Kami sedang mencari seorang pria. Dia seorang buronan Istana,” kata Letnan Han, suaranya pelan tetapi tajam. “Namanya Jian. Dia menyembunyikan dirinya. Dia mungkin memiliki tanda aneh di pergelangan tangannya. Jika Kau memberikannya, Istana akan sangat murah hati. Kekayaan, kemuliaan, dan perlindungan dari semua masalah desa Anda.”
Mata Shan Bo melebar. Cap Singa. Itu benar. Jian adalah buronan kelas kakap!
Dua hal bergejolak dalam diri Shan Bo: pertama, kekayaan yang dijanjikan, yang bisa mengembalikan kehormatannya dan memenangkan kembali pedagang Ling. Kedua, pembalasan yang manis untuk penolakan Mei Lan.
“Aku tahu di mana dia,” bisik Shan Bo, mencondongkan tubuhnya ke depan, pengkhianatan terasa manis di lidahnya.
Kesepakatan Berdarah
Shan Bo membawa Letnan Han dan dua anak buahnya ke Balai Desa, tempat Kepala Desa Liang sedang menghitung kerugiannya.
Kepala Desa Liang terkejut melihat perwira Istana yang begitu dingin dan profesional. Ia segera menjadi patuh.
Shan Bo menceritakan semuanya: bagaimana Jian muncul, bagaimana ia bersembunyi di gudang padi di balik tumpukan jerami, dan yang terpenting, tentang cap Singa yang dicabut di pergelangan tangan Jian—bukti nyata bahwa dia adalah pengkhianat atau kriminal yang dicari.
Letnan Han tersenyum. Senyum itu tidak menjanjikan kebaikan. “Kerja bagus, Tuan Shan Bo. Kau telah menyelamatkan kehormatan Kekaisaran. Kami akan memastikan semua hutang Ayahmu dan masalah desa ini diselesaikan.”
Shan Bo merasa seperti pahlawan yang disalahpahami. Ia telah menjual Jian, dan ia telah menjual Mei Lan.
Letnan Han tidak ingin mengandalkan milisi desa yang lambat. Ia mengirimkan pesan melalui merpati yang ia bawa—burung yang sangat terlatih—ke kota terdekat.
“Kami tidak akan menyerbu sekarang,” kata Letnan Han kepada Kepala Desa Liang. “Kami akan menunggu penguatan, tetapi kami harus memastikan pria itu tidak bergerak. Dia adalah Bayangan Singa. Dia adalah Jenderal. Dia bisa melarikan diri dari apa pun.”
“Shan Bo,” perintah Letnan Han, tatapannya dingin. “Kau dan anak buahmu kepung gudang itu. Jangan dekati dia! Jangan masuk! Hanya berdiri di luar. Jika dia mencoba keluar, segera beri tahu kami. Jika dia berhasil kabur, kami akan menggantungmu di tiang gantungan di depan keluargamu.”
Ketakutan memukul Shan Bo. Ia menyadari ia tidak lagi bertarung dengan gelandangan, tetapi dengan Jenderal yang diburu oleh seluruh Kekaisaran. Tapi sudah terlambat untuk mundur.
Pengepungan Diam-Diam
Shan Bo, ditemani oleh empat pemuda yang kini sama takutnya, mengelilingi gudang padi. Mereka membawa garpu jerami dan beberapa kapak—senjata petani, bukan senjata perang.
Mereka bersembunyi di balik tumpukan jerami dan dinding tanah liat yang rendah. Mereka tahu Jian ada di dalam, dan pengetahuan itu membuat jantung mereka berdebar kencang.
Di Balai Desa, Letnan Han mengatur posisi dua anak buahnya di titik-titik tinggi desa, memastikan mereka memiliki pandangan yang jelas tentang gudang padi. Dia menunggu penguatan.
Deteksi Jenderal yang Dikepung
Di dalam kegelapan gudang padi, Jian sedang memeriksa gulungan rahasia itu untuk terakhir kalinya. Ia sedang menunggu Mei Lan, yang seharusnya sudah tiba lima belas menit yang lalu.
Dia tidak gelisah karena Mei Lan terlambat. Dia gelisah karena keheningan desa.
Keheningan ini berbeda dari keheningan normal. Itu terlalu teratur. Tidak ada anjing menggonggong di dekatnya. Tidak ada suara tukang kayu dari rumah tetangga. Tidak ada suara pertengkaran anak-anak. Semua suara kecil kehidupan desa telah mereda, digantikan oleh keheningan yang disiplin.
Pengepungan.
Jian tersenyum dingin. Mereka tidak tahu mereka sedang mengepung Bayangan Singa.
Ia mendengar napas Shan Bo yang terlalu keras di balik tumpukan karung gandum yang berjarak dua puluh meter. Jian tahu Shan Bo tidak akan berani mendekat. Itu bukan ancaman.
Ancaman itu datang dari aroma yang sangat samar, aroma minyak wangi cendana mahal dari kota, yang baru saja dibawa oleh angin ke gudang. Itu adalah aroma yang selalu digunakan oleh mata-mata Istana yang berpura-pura menjadi pedagang atau utusan.
Mereka sudah datang.
Ini bukan lagi Kepala Desa Liang. Ini adalah Tuan Yu.
Jian segera bertindak. Ia mengambil gulungan itu, membungkusnya dengan lapisan sutra Mei Lan yang halus, dan menyembunyikannya di dalam lapisan pakaian terdalamnya. Ia memeriksa pisau kecilnya yang tersembunyi.
Dia tidak bisa menggunakan pintu. Itu adalah jebakan. Dia juga tidak bisa menggunakan terowongan air—tempat itu terlalu sempit, dan dia tidak punya waktu untuk memberitahu Mei Lan tentang perubahan rencana.
Jian bergerak ke sudut terjauh gudang. Ia tahu, di sana, dindingnya terbuat dari kayu lapuk yang hanya ditutupi lumpur kering, didukung oleh semak-semak lebat di luar. Itu adalah satu-satunya titik lemah.
Ia mengangkat tangan kirinya, Bayangan Singa. Dengan kekuatan yang tidak terbayangkan, ia memukul dinding itu dengan bahunya.
BRAKK!
Lumpur kering itu hancur, dan dua papan kayu retak. Jian memukulnya lagi, dan lagi.
Di luar, Shan Bo dan para pemuda itu terkejut. Mereka tidak menyangka Jian akan menyerbu dinding.
“Dia melarikan diri! Dia menghancurkan dinding!” teriak Shan Bo, panik.
Interupsi di Jalan
Pada saat yang sama, Mei Lan sedang berjalan cepat menuju hutan. Ia tidak peduli dengan orang tuanya atau pandangan desa. Ia harus bertemu Jian.
Ia terkejut melihat Letnan Han, pria asing dengan mata tajam, berdiri di jalan utama desa, di dekat kantor Kepala Desa Liang. Pria itu menatap lurus ke arah gudang padi.
Mei Lan merasakan dingin di perutnya. Istana.
Ia tahu, ia tidak boleh terlihat. Tetapi ia tidak bisa lagi berpura-pura. Ia harus memperingatkan Jian.
Mei Lan mulai berlari, menuju gudang padi, tetapi terlambat.
Suara kayu retak dan teriakan Shan Bo terdengar jelas.
“Dia melarikan diri! Tangkap dia!”
Mei Lan berhenti. Ia menoleh ke arah gudang padi, jantungnya berdebar kencang.
Ia melihat bayangan gelap melompat keluar dari lubang di dinding gudang yang baru hancur. Jian. Ia berlari cepat menuju hutan lebat.
Di belakangnya, Shan Bo dan para pemuda desa berteriak.
Letnan Han tersenyum. “Bodoh. Mereka pikir mereka bisa menangkap Bayangan Singa dengan garpu jerami.”
Letnan Han memberi isyarat kepada dua anak buahnya. “Cepat. Jangan biarkan dia memasuki hutan sebelum penguatan datang! Target utamanya adalah gulungan itu. Jangan bunuh dia. Lumpuhkan dia.”
Mei Lan melihat Jian melarikan diri, diikuti oleh teriakan warga desa dan kini, juga para perwira terlatih dari Istana. Ia tahu, ia adalah penyebab semua ini.
Ia tidak punya waktu untuk lari. Ia tidak punya waktu untuk menangis. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menjadi pengalih perhatian.
Dengan keputusan yang tiba-tiba dan heroik, Mei Lan berbalik dari arah Jian. Ia mulai berlari ke arah Balai Desa.
Ia harus membuat kekacauan yang akan mengalihkan perhatian para pengejar yang dingin dan profesional itu. Jian telah memberinya segalanya. Sekarang giliran Mei Lan untuk melindungi Jian.