Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Pertemuan Rahasia Tengah Malam
Bab 20: Pertemuan Rahasia Tengah Malam
Tengah malam.
Vila Adhitama akhirnya tidur.
Atau setidaknya, pura-pura tidur.
Lampu-lampu utama di koridor sudah dipadamkan satu per satu oleh kepala pelayan.
Menyisakan kegelapan yang pekat.
Hanya lampu taman yang menyala redup di luar sana.
Menciptakan bayangan panjang pohon pinus yang menari-nari tertiup angin gunung.
Yuni duduk di tepi ranjang King Size-nya.
Dia masih memakai dress tidurnya yang sopan (baju tidur katun panjang yang dia bawa sendiri, bukan lingerie sutra yang mungkin diharapkan Tante Lisa).
Matanya menatap pintu kaca yang tertutup tirai beludru.
Jam di nakas menunjukkan pukul 23:58.
Dua menit lagi.
Jantungnya berdetak seirama dengan jarum detik.
Tik... tik... tik...
Pesan ancaman tadi masih membekas di benaknya.
Sepatu kacamu retak.
Setiap kali angin menggoyangkan daun jendela, Yuni tersentak.
Takut itu bukan Juan.
Takut itu pengirim pesan misterius.
Pukul 00:00.
Tepat.
Suara ketukan di kaca.
Pelan sekali.
Hampir tak terdengar.
Tok. Tok.
Yuni menahan napas.
Dia turun dari ranjang.
Kakinya menyentuh lantai parket yang dingin.
Dia berjalan mengendap-endap ke arah tirai.
Menyingkapnya sedikit.
Sangat sedikit.
Di balik kaca, ada sosok gelap.
Memakai hoodie hitam. Tudung ditarik menutupi kepala.
Seperti pencuri.
Atau pembunuh bayaran.
Yuni mundur selangkah. Ragu.
Sosok itu menurunkan tudungnya sedikit.
Wajah Juan terlihat di bawah sinar bulan yang pucat.
Dia menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Ssst.
Yuni menghembuskan napas lega.
Dia membuka kunci pintu kaca itu dengan hati-hati.
Engselnya berdecit pelan.
Suara decitan itu terdengar seperti ledakan di keheningan malam.
Juan menyelinap masuk.
Cepat.
Seperti kucing hitam yang lincah.
Dia langsung menutup pintu di belakangnya.
Menguncinya kembali.
Lalu menutup tirai rapat-rapat.
Memastikan tidak ada celah cahaya yang keluar.
Dia berbalik menghadap Yuni.
Napasnya sedikit terengah.
Ada embun di hoodie-nya. Aroma rumput basah dan tanah menguar darinya.
"Gila," bisik Juan.
Dia menyisir rambutnya yang basah karena embun dengan jari.
"Anjing penjaga di sayap barat hampir bangun."
"Kamu... lewat mana?" tanya Yuni.
"Manjat pagar balkon kamarku. Turun lewat talang air. Lari lewat semak mawar."
Juan mengangkat tangannya.
Ada goresan merah panjang di punggung tangannya.
Darah segar.
"Kamu terluka," kata Yuni, refleks mendekat.
"Cuma duri mawar," kata Juan, mengibaskan tangannya.
"Yang penting nggak ketahuan satpam."
Dia melihat sekeliling kamar Yuni.
Mata Juan menyipit saat melihat koper Yuni yang belum dibongkar sepenuhnya.
"Kamu belum tidur?"
"Gimana bisa tidur?" balas Yuni.
"Aku nungguin kamu."
"Dan..." Yuni ragu.
Haruskah dia memberitahu Juan soal pesan ancaman itu?
Juan sedang stres. Dia baru saja memanjat talang air.
Kalau Yuni bilang ada pengintip, Juan mungkin akan panik. Atau malah nekat mencari pelakunya dan bikin keributan.
"Dan apa?" tanya Juan, menatap tajam.
"Dan... aku takut," kata Yuni. Setengah jujur.
"Tempat ini kayak rumah hantu."
Juan menghela napas.
Dia berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan.
Duduk di kursi rotan.
"Duduk," perintahnya. "Kita nggak punya banyak waktu."
Yuni duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Juan.
"Oke. Evaluasi," kata Juan. Mode seriusnya kembali.
"Insiden Udang."
"Itu bencana," kata Yuni.
"Itu penyelamatan," koreksi Juan.
"Kevin curiga. Dia tahu kita bohong."
"Dia nggak punya bukti," kata Juan tegas. "Dia cuma punya ingatan kalau aku makan lobster."
"Tapi sekarang, di mata Oma, kamu adalah pacar yang perhatian yang melarang aku makan sembarangan demi kesehatan."
"Poin plus buat kamu."
"Tapi poin minus buat logikaku," bantah Yuni. "Siapa orang yang lupa kalau dia punya alergi?"
"Orang yang sibuk. Orang yang overworked. Oma suka narasi itu."
Juan mengeluarkan secarik kertas kecil dari saku celananya.
Kertas itu lecek dan sedikit basah.
"Ini jadwal besok," katanya.
"Hafalkan sekarang."
Yuni mengambil kertas itu.
Tulisannya buru-buru. Tulisan cakar ayam Juan.
06:00 - Bangun. 06:30 - Kumpul di teras belakang. (Outfit: Sporty tapi sopan. Jangan pake legging ketat). 07:00 - Jalan pagi keliling komplek vila. Rute 3 KM. Target: Oma. Misi: Dampingi Oma jalan. Jangan biarkan dia jalan sendirian, tapi jangan sok akrab.
"Jalan pagi?" tanya Yuni lemas. "Aku benci lari."
"Bukan lari. Jalan santai. Tapi medannya nanjak."
"Oma itu fisiknya kuat. Dia mantan atlet tenis waktu muda."
"Dia akan ngetes fisikmu. Dan mentalmu."
"Sambil jalan, dia bakal nanya-nanya."
"Nanya apa?"
"Masa lalu," kata Juan.
Suaranya memberat.
"Dia akan gali soal keluargamu. Bapakmu. Ibumu."
"Asal usulmu."
Yuni terdiam.
Ini zona merah.
"Aku harus jawab apa?"
"Jujur," kata Juan.
Yuni terkejut. "Jujur?"
"Jujur soal kondisi keluargamu yang sederhana. Petani. Di kampung."
"Jangan coba-coba ngarang jadi anak pejabat atau pengusaha bangkrut."
"Oma punya koneksi intelijen lebih bagus dari CIA. Dia bisa cek latar belakangmu dalam satu jam."
"Jadi... aku bilang bapakku petani yang lagi terlilit utang?"
"Jangan sebut utang," potong Juan cepat.
"Bilang petani. Pekerja keras. Jujur."
"Oma menghargai kerja keras. Dia benci orang kaya baru yang manja."
" Framing-nya adalah: Kamu anak orang biasa yang berjuang naik kelas lewat pendidikan."
"Itu narasi Cinderella yang dia suka. Asal kamu nggak kelihatan gold digger."
Yuni mengangguk.
Strategi yang berisiko, tapi masuk akal.
"Satu lagi," kata Juan.
Dia mencondongkan tubuh ke depan.
"Besok siang. Ada tamu tambahan."
"Siapa lagi? Presiden?"
"Hampir," kata Juan sarkas.
"Mantan tunanganku."
Yuni tersedak ludahnya sendiri.
"Apa?"
"Mantan tunangan. Namanya Clarissa."
"Anak rekan bisnis Ayah. Kami dijodohkan dua tahun lalu. Batal karena dia selingkuh sama instruktur yoga-nya."
"Tapi ibunya dan ibuku masih sahabatan."
"Mereka diundang makan siang besok."
Yuni memijat pelipisnya.
"Juan, ini gila. Kamu bawa pacar pura-pura ke kandang singa, terus sekarang kamu masukin mantan tunangan ke kandang yang sama?"
"Bukan aku yang undang. Ibuku."
"Ini ujian buat kamu."
"Clarissa itu... sempurna secara fisik. Model. Lulusan Paris."
"Ibuku mau bandingin kamu sama dia secara langsung."
"Biar aku minder?"
"Biar kamu hancur," kata Juan dingin.
"Ibuku berharap kamu nggak kuat mental liat Clarissa, terus mundur teratur."
Yuni menatap Juan.
"Kamu masih suka sama dia?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja.
Tidak ada di skenario.
Juan terdiam.
Dia menatap lantai parket.
"Nggak," jawabnya pelan.
"Aku benci dia."
"Dia yang bikin aku nggak percaya sama komitmen."
"Dia yang bikin aku harus sewa kamu."
Ada kepahitan yang kental dalam suaranya.
Luka lama yang belum kering.
Yuni merasa iba. Sedikit.
Ternyata Juan si Raja Teknik yang arogan ini juga korban patah hati.
"Oke," kata Yuni.
"Aku akan hadapi dia."
"Aku nggak akan minder sama model lulusan Paris."
"Aku punya sesuatu yang dia nggak punya."
Juan mengangkat alis. "Apa?"
"Aku punya kamu," kata Yuni.
"Maksudku... kontrak kamu," ralatnya cepat, wajahnya memanas.
"Di atas kertas, kamu milikku sekarang. Dia cuma masa lalu."
Juan menatap Yuni.
Perlahan, senyum miring khasnya muncul lagi.
"Benar."
"Kamu milikku. Secara kontrak."
"Jadi, besok..."
Juan berdiri.
Berjalan mendekat ke arah Yuni.
Dia berhenti tepat di depan Yuni yang masih duduk di ranjang.
Dia menunduk.
Menatap mata Yuni.
"Besok, kalau Clarissa nyerang kamu..."
"Jangan takut."
"Pegang tanganku."
"Remas sekeras yang kamu mau."
"Aku akan balas serangannya."
"Kita habisi dia bareng-bareng."
Itu adalah deklarasi perang.
Dan deklarasi aliansi.
Yuni mengangguk.
"Oke. Partner."
Juan mengulurkan tangannya.
Menyentuh pipi Yuni sekilas.
Ibu jarinya mengusap noda hitam kecil di pipi Yuni—sisa maskara yang luntur.
"Hapus makeup-mu sebelum tidur. Kamu kayak panda."
Romantisme hancur seketika.
Yuni menepis tangan Juan. "Pergi sana."
Juan terkekeh pelan.
"Kunci pintu setelah aku keluar."
"Tidur nyenyak."
Dia berjalan kembali ke pintu kaca.
Membuka tirai sedikit. Mengintip ke luar.
Aman.
Dia membuka kunci.
Angin malam menerobos masuk.
"Juan," panggil Yuni sebelum dia keluar.
Juan menoleh.
"Hati-hati. Talang airnya licin."
Juan tersenyum.
Kali ini senyum yang tulus.
"Siap, Bos."
Dia menyelinap keluar.
Menghilang ke dalam kegelapan malam dan kabut.
Yuni segera mengunci pintu kaca itu lagi.
Menutup tirai rapat-rapat.
Jantungnya masih berdebar.
Tapi kali ini, bukan karena takut.
Ada rasa adrenalin.
Rasa semangat.
Dia punya misi.
Dia punya partner.
Dan besok, dia akan menghadapi mantan tunangan model dari Paris.
"Ayo kita lihat," gumam Yuni pada bayangannya di cermin.
"Siapa yang menang. Model Paris atau Anak Sastra."
Dia menghapus sisa makeup-nya dengan kasar.
Membersihkan wajahnya.
Lalu naik ke tempat tidur.
Menarik selimut sampai dagu.
Di luar, angin menderu.
Tapi di dalam hati Yuni, api perlawanan mulai menyala.
Dia bukan lagi Cinderella yang ketakutan.
Dia adalah pemain yang siap membalikkan meja permainan.