Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Tanggung Jawab yang Dipaksakan
Hari ini, wanita itu—Claire—akan datang ke rumah mereka secara resmi. Begitulah waktu yang sudah mereka tentukan ketika terakhir kali bertemu di pemakaman. Namun Aaron masih berada di kamarnya, sudah mengenakan kemeja putih, dasi, dengan bawahan navy. Bersiap untuk berangkat ke tempat kerja.
Aaron tahu, ia harus menemui wanita itu, setidaknya untuk membicarakan perihal darah daging kakaknya. Tapi di satu sisi, ia merasa harus menghindari percakapan itu. Setidaknya tidak dengan kehadiran kedua orang tuanya.
Mengambil jas navy yang tergeletak di atas tempat tidur, Aaron melangkah keluar dari pintu kamarnya. Ia harus pergi sebelum wanita itu tiba di kediaman orang tuanya.
Namun langkahnya terhenti tak jauh dari pintu utama begitu melihat pelayan rumah membukakan pintu untuk seseorang. Hanya melihat dari rambut coklatnya saja, Aaron langsung tahu siapa yang ada di sana.
Ketika pelayan hendak memberi jalan, saat itulah Aaron bertatap muka dengannya. Manik hijau Claire tampak sedikit membesar begitu melihatnya, namun detik berikutnya berubah menjadi sorot mata sendu. Ia menundukkan kepala, sedikit membungkuk memberi salam pada Aaron.
"Aaron," panggil Charles. Kedua orang tuanya ternyata sudah berdiri tak jauh darinya, entah kenapa dia tidak menyadari kehadiran mereka. "Kau akan pergi ke mana, Nak?" tanya ayahnya, menyadari cara berpakaian formal Aaron.
"Aku—" Aaron melirik ke arah Claire yang berdiri di dekat pintu, kemudian berganti menatap kedua orang tuanya. "—harus datang ke kantor hari ini."
"Tidak," ujar Charles, suaranya pelan tapi tegas. "Kau telah diberi cuti seminggu. Jadi tetaplah di sini untuk sementara waktu." Charles melanjutkan, "Jika memang sangat mendesak, maka datanglah nanti, setelah pembicaraan kita selesai." Sorot matanya seolah menolak untuk dibantah.
Sementara ibunya, Eva, menatapnya sedih, memohon dengan mata agar dirinya tinggal sebentar.
Aaron menghela nafasnya. Keinginannya untuk melarikan diri terasa sia-sia. Ia memutuskan untuk tinggal.
"Kemari, Nak," Eva memanggil Claire, mengisyaratkan untuk datang mengikuti ke mana mereka pergi.
Claire, dengan langkah ragu, mengikuti Eva dan Charles menuju ruang keluarga. Saat jarak mereka sudah hampir sejajar, Claire menatap Aaron. Matanya gelisah, seakan ada satu hal yang ingin ia katakan saat itu juga. Namun Aaron hanya bergeming, memasang wajah tanpa ekspresi, seolah membangun tembok.
Setibanya di ruang keluarga, tak ada yang bersuara. Hanya gerakan pelan teratur dari pelayan rumah yang menyajikan kopi, teh, dan sepiring camilan di atas meja. Setelah pelayan itu pergi, keheningan yang menekan masih mengudara di antara mereka. Aaron bisa mendengar detak jam dinding yang terasa mengganggu.
"Nona Hayes," Charles buka bicara, suaranya terdengar dingin, kontras dengan kehangatan yang biasa ia tunjukkan pada Eva atau Aaron.
Claire, yang namanya disebutkan, mendongak memandang pria itu. Wajah Charles tampak lelah namun tatapannya tajam. "Apa kau yakin, anak yang sedang kau kandung adalah milik Benjamin?"
Disaat nama Benjamin disebut, Eva kembali terisak, suaranya lirih, "Putraku..."
Claire meremat rok di atas pangkuannya dengan kedua tangan. Pertanyaan itu wajar, bahkan ia sudah menduganya, namun tetap saja terasa seperti pukulan dingin di ulu hati. Aaron menyadari gelagat wanita itu.
"Iya," kata Claire, suaranya tercekat. "Benjamin adalah yang pertama bagi saya."
Pertama. Aaron langsung memahami maksud dari kata itu. Sebuah pengakuan yang sederhana namun sarat makna.
"Hanya dia yang saya punya," lanjutnya. Suaranya kemudian menjadi lebih lirih, penuh kesedihan, "Sampai... sampai saat dia meninggal dunia."
Eva, kembali meneteskan air mata, isakannya terdengar lagi. Charles merangkul istrinya, mengelus bahunya, matanya tidak lepas dari Claire, seolah menimbang setiap kata wanita itu.
Aaron melihat pemandangan itu, hanya bisa menghela napas berat. Entah Claire sengaja atau tidak, tapi wanita itu selalu mengatakan hal-hal yang tampaknya dirancang untuk memancing emosi ibunya, mengingatkan semua orang pada Benjamin yang sudah tiada.
Setelah beberapa saat, Charles kembali berbicara, suaranya kini beralih ke topik utama. "Benjamin banyak melakukan hal di luar aturan sejak lama." Ia berhenti, seolah mencari kata yang tepat. "Bahkan kematiannya... dia mengambil hak Tuhan atas nyawanya sendiri."
"Dan sekarang," mata Charles tertuju pada Aaron, tatapannya penuh tuntutan, "karena apa yang telah dia lakukan di masa lalu, ada konsekuensi yang melibatkan darah dagingnya... darah daging kita."
Pandangannya beralih pada Claire, lalu kembali ke Aaron. "Anak ini tidak bersalah. Dia tidak pantas dicap sebagai anak yang lahir di luar nikah. Itu akan menghancurkan masa depannya."
Charles menghela napas. "Aaron," ucapnya, nadanya melembut tapi sarat permohonan yang berat. "Sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya... tolong, perbaiki kesalahan kakakmu."
Matanya menatap Aaron lurus. "Menikahlah dengan Nona Hayes."
Bak sambaran petir di siang bolong. Aaron membeku di tempat. Pikirannya terasa kosong, namun di saat yang sama ia bisa mendengar sesuatu meledak—seperti beling pecah—jauh di dalam benaknya. Rasa tidak percaya menjalari setiap sarafnya.
Claire juga sama terkejutnya, ia mendadak panik, menatap Charles lalu beralih pada Aaron dengan tatapan gelisah yang mencari jawaban.
"Bagaimana menurutmu, Nona Hayes?" tanya Charles, mengalihkan pandangannya pada Claire.
Claire meneguk ludah. "Sa-saya..." Suaranya begitu pelan, nyaris tak terdengar, sarat keraguan dan ketakutan.
"Aku bahkan tidak mengenalnya," gumam Aaron dengan nada getir, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang tuanya.
Ia lalu mendongak, melihat wajah ayahnya. Bagaimana bisa kalian mengatakan itu padaku?! pikirnya, kemarahan membuncah di dadanya.
"Ini demi nama baik keluarga kita, Aaron," terang Charles, suaranya kembali tegas, seolah argumen itu sudah final.
Eva menimpali dengan lirih, matanya memohon. "Aaron, sayang... bagaimana nasib anak ini nantinya kalau lahir tanpa ayah? Tanpa nama keluarga?"
Aaron menggeleng pelan, tak percaya bahwa ibunya juga turut mendukung perkataan ayahnya. "Tidak..." gumam Aaron, suaranya nyaris tak terdengar, lebih kepada penolakan dalam hati.
"Aaron—" Charles memulai lagi.
"Ini gila!" Aaron membentak, suaranya terdengar begitu keras, bergema dalam ruangan yang sebelumnya hening.
Claire yang duduk di hadapannya sedikit terperanjak kaget, kedua bahunya menegang, matanya melebar.
"Hanya kau yang bisa melakukan ini, Aaron," ujar Eva, suaranya putus asa, seolah meletakkan seluruh harapan di pundak Aaron.
"Kau harus bertanggung jawab, Aaron!" tegas Charles, suaranya begitu penuh otoritas, menuntut kepatuhan.
"Kenapa harus aku?!" sergah Aaron, sama sekali tak mau kalah, suaranya malah semakin tinggi, beradu dengan suara ayahnya. "Bukan aku yang melakukannya! Ini tidak ada hubungannya denganku! Kalian tidak bisa memaksaku!" Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan amarah.
Charles terdiam, melihat bagaimana kilatan amarah terdapat di mata Aaron dan mendengar cara bicaranya yang kasar kepada orang tuanya sendiri—sesuatu yang jarang sekali Aaron lakukan. "Apa kau membenci saudaramu, Aaron?" Suaranya berubah pelan, menusuk, menargetkan inti permasalahannya.
"Demi Tuhan aku tidak membencinya!" tampik Aaron, amarahnya bercampur kepedihan. "Aku tidak membencinya, bahkan sampai detik ini," kemudian suaranya berubah pelan, sarat kepahitan. "Tapi aku juga tidak membenci diriku sendiri, Ayah."
Matanya kini menatap Charles dan Eva bergantian, tatapannya menyakitkan. "Aku... bahkan sudah sampai sejauh ini. Di usiaku yang seperti ini. Haruskah aku masih mengabdikan hidupku pada kesalahan saudaraku? Bahkan setelah dia sudah tidak ada di sini?"
Kedua tangan Aaron terkepal kuat di sisi tubuhnya. Rasa perih di matanya, akibat menahan air mata atau amarah, sangat mengganggunya, menambah kejengkelannya.
Kenapa Benjamin dibiarkan hidup sesuai keinginannya? Kenapa Benjamin bebas menentukan pilihannya, bahkan jika itu menghancurkan dirinya? Kenapa Benjamin tidak dituntut dalam banyak hal seperti dirinya? Dan kenapa, kenapa Benjamin bahkan sampai akhir hidupnya masih bisa merebut simpati kedua orang tuanya, bahkan menciptakan masalah besar yang kini dilimpahkan padanya?
Semuanya… semua yang terjadi bahkan sampai detik ini, semua itu karena Benjamin anak emas di dalam keluarganya. Anak yang bahkan hanya duduk di meja belajarnya semasa kecil sudah menjadi suatu kebanggaan besar bagi kedua orang tuanya. Sesuatu yang luar biasa.
Bukan seperti dirinya, Aaron Silvan, yang melakukan banyak hal—prestasi, tanggung jawab, kesuksesan—sebagai sesuatu yang sudah seharusnya. Sesuatu yang biasa, yang sudah sepatutnya ia lakukan, dan tidak pernah terasa sehebat pencapaian kecil Benjamin di mata mereka.
Aku hanya ingin... tenang. Keinginan sederhana itu terasa seperti kemewahan yang mustahil diraih.
"Saya... saya mengerti jika hal ini sangat memberatkan," celetuk Claire, suaranya terdengar pelan, nyaris rapuh, memecah keheningan tegang setelah ledakan emosi Aaron. "Saya juga tidak mengharapkan hal seperti ini, tapi..." Kepalanya semakin ditundukkan dalam, menyembunyikan wajahnya. "...Saya tidak punya keluarga lain yang bisa membantu."
Eva beranjak dari duduknya, segera duduk di sebelah Claire, menggenggam kedua tangannya lembut, penuh dengan kasih sayang, dengan empati yang tulus.
Claire, yang tangannya dipegang, melihat Eva menatapnya dengan lembut, membuat matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ia terisak, bahunya gemetar. Eva merangkulnya, memeluknya, menenangkannya seperti putrinya sendiri. Matanya kemudian beralih pada Aaron, ekspresinya sendiri—patah hati, lelah, dan sarat keputusasaan yang mendalam.
"Aaron," bisiknya, suaranya lemah, namun membawa beban yang sangat berat. "Demi ibu, Nak."