seorang gadis yang berniat kabur dari rencana perjodohan yang dilakukan oleh ibu dan ayah tirinya, berniat ingin meninggalkan negaranya, namun saat di bandara ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang begitu tampan, pendiam dan berwibawa, berjalan dengan wajah dinginnya keluar dari bandara,
"jangan kan di dunia, ke akhirat pun akan aku kejar " ucap seorang gadis yang begitu terpesona pada pandangan pertama.
Assalamualaikum.wr.wb
Yuh, author datang lagi, kali ini bertema di desa aja ya, .... cari udara segar.
selamat menikmati, jangan lupa tinggalkan jejak.
terimakasih...
wassalamualaikum,wr.wb.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Marina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai pendekatan
Matahari telah terbenam sepenuhnya, meninggalkan langit kota dengan semburat ungu dan jingga yang cepat memudar. Lampu jalan kota mulai menyala, memperlihatkan keramaian yang kacau bagi mata Zora, yang terbiasa dengan ketertiban jalanan ibukota.
"Pak Budi, jangan sampai terlewat! Kita harus tahu di mana persisnya rumahnya!"
Pak Budi berusaha keras. Mobil sedan tua hitam yang membawa Yusuf dan ibunya meliuk-liuk cepat, seolah pemiliknya hapal setiap tikungan dan gang. Untuk beberapa saat, mereka hampir kehilangan jejak di persimpangan yang padat. Pak Budi harus membunyikan klakson keras-keras dan menerobos lampu kuning hanya untuk tetap berada dalam pandangan mobil target.
"Mereka mulai keluar dari jalan utama, Nona. Sepertinya kita menuju area pedesaan," lapor Pak Budi, suaranya tegang. Jalanan mulai menyempit, aspal berganti menjadi jalan beton berlubang di beberapa bagian, dan deretan ruko modern berganti menjadi rumah-rumah sederhana.
Namun, saat mobil melambat, Zora melihat sesuatu yang kontras. Di antara sawah dan rumah-rumah kayu, mulai muncul plang-plang besar: "HOTEL KENCANA - Pemandian Air Panas" dan deretan "Villa Disewakan" dengan arsitektur modern minimalis.
"Tunggu, Pak Budi. Desa ini... Desa Purbasari ini, terkenal dengan wisata air panasnya!" kata Zora, terkejut.
"Benar, Nona. Informasi di terminal tadi menyebutkan desa ini tujuan wisata domestik yang ramai. Ada hotel, vila, dan bahkan mini-resort di pusatnya., disini juga banyak perbukitan, dan letaknya benar di kaki gunung"
Zora sontak menegang" tadi saya juga sudah mencari nya lewat internet, saya tidak percaya, desa ini sangat indah " ucapnya tersenyum.Pondok pesantren Al-Hidayah, tempat Yusuf tinggal, ternyata berada di sudut desa, jauh dari keramaian turis. Ini bukan sekadar desa, ini adalah percampuran antara komunitas agama yang ketat dan pusat liburan yang ramai.
Pengejaran itu berakhir tiba-tiba. Mobil sedan tua itu berbelok ke sebuah gang kecil di antara deretan rumah, dan berhenti di depan sebuah rumah kayu yang tampak kokoh namun sederhana. Di depan rumah itu berdiri sebuah plang kecil bertuliskan: Yayasan Pondok Pesantren Al-Hidayah.
Zora sontak menegang. Pondok pesantren? Tentu saja. Seorang Ustadz lulusan Kairo akan kembali ke pesantren. Di sini, ia adalah Tuan Muda, sang Guru.
"Tunggu, Pak Budi. Jangan terlalu dekat. Parkir di tempat yang aman, pura-pura saja sedang mencari alamat," perintah Zora, jantungnya berpacu kencang karena adrenalin pengejaran.
Dari kejauhan, Zora melihat pemandangan yang menghangatkan hati sekaligus menampar realitasnya. Begitu Yusuf turun, puluhan santri kecil dan beberapa pemuda dengan gembira menyambutnya. Mereka bersalaman, mencium tangan Yusuf sebagai bentuk takzim, dan melontarkan ucapan syukur atas kepulangannya. Mereka mengelu-elukan Yusuf seolah ia adalah pahlawan.
Yusuf membalas sapaan mereka dengan senyum lembut, pandangannya teduh dan penuh kasih. Ia tampak sepenuhnya menjadi bagian dari tempat ini.
"Nona, kita bisa mencari hotel di pusat desa. Jauh lebih nyaman," usul Pak Budi.
Zora menggeleng cepat. "Tidak, Pak Budi. Hotel terlalu mencolok. Saya adalah mahasiswi yang sedang melakukan penelitian sosial di daerah pesantren, bukan turis manja. Cari rumah warga yang bisa disewa. saya harus terlihat sederhana."
Mereka berputar mencari tempat menginap. Setelah beberapa kali bertanya dan menolak tawaran menginap di rumah-rumah yang terlalu dekat dengan pesantren, Pak Budi berhasil menemukan sebuah rumah kecil yang disewakan oleh seorang janda tua yang tinggal sendirian, letaknya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari Pondok Pesantren Al-Hidayah.
Malam itu, Zora tidur di kasur sederhana beraroma kapur barus dan melati, di bawah kelambu. Langit-langit kamarnya bukan dihiasi lampu kristal, melainkan oleh suara jangkrik dan aroma masakan rumahan dari dapur tetangga. Ia menggigil bukan karena dinginnya AC yang hilang, tetapi karena ketakutan dan kegembiraan akan petualangan baru.
Ia berhasil melarikan diri dari takdir yang diatur Ayah tirinya . Sekarang, ia harus mengatur takdirnya sendiri, bagaimana mendekati Ustadz Yusuf tanpa mengungkap identitas aslinya.
Di subuh hari, Zora terbangun oleh suara asing yang belum pernah ia dengar di kota nya , suara merdu dan syahdu, lantunan adzan yang dikumandangkan langsung dari mushola kecil di dekat rumah. Zora yakin, itu adalah suara Yusuf. Badannya terasa sakit karena dia tidak pernah tidur di kasur yang terasa keras.
Ia bangkit dari tempat tidur. Fajar menyingsing, dan Desa Purbasari terlihat diselimuti kabut tipis. Tiba-tiba, ia merasakan dorongan aneh, ia harus pergi ke musholla itu. Ia harus melihat Yusuf lagi...
Ia mengambil mukena yang di berikan oleh pemilik rumah ini, dia mengambil air wudhu , air mengalir sangat dingin, membuat bulu kuduknya berdiri..... Lalu memakai mukena terusan yang menurutnya sangat aneh, karena mukena dirumah nya semuanya terpisah antara bagian atas dan bawah, walaupun sudah sangat lama Zora meninggalkan ibadahnya, tapi dia masih ingat. Lalu melihat wajahnya di cermin....,ia mengagumi parasnya sendiri yang cantik tanpa riasan apapun.
Zora berjalan ke arah mushola, disana sudah banyak berkumpul para penduduk, musholla ini terletak di luar pesantren, sedangkan di dalam pesantren sendiri ada masjid, tetapi Yusuf tidak berada di sana, karena sudah ada penanggung jawabnya... Yusuf di minta warga, untuk menjadi imam di musholla yang berada di luar pesantren.
Para warga terkejut melihat seorang gadis berparas cantik yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, ... Bola matanya biru, seperti bukan warga sini.
Mereka beramai-ramai berkenalan, dengan senang hati Zora memperkenalkan diri nya yang sebagai mahasiswi yang sedang meneliti tentang pondok pesantren.
Setelah melakukan sholat subuh, Zora menghadang Yusuf di depan pintu masuk, entah apa yang dilakukan Yusuf di dalam , sampai-sampai musholla sudah terlihat sepi tapi dia Betah berlama-lama didalam , di luar orang-orang sudah kembali ke rumahnya masing-masing .
Zora berjalan bolak-balik di depan mushola tapi Yusuf tidak kunjung keluar, dia melihat seorang laki-laki yang sedang membawa peralatan kebersihan, yang ia yakini bahwa laki-laki tersebut adalah petugas yang dikhususkan untuk membersihkan area mushola,
Zora mendekati laki-laki tersebut dan meminta tolong kepadanya.
"permisi Pak..., bolehkah saya meminta bantuan bapak?" tanya Zora ramah.
"insyaallah non, mari silakan, ada yang bisa saya bantu..." kata laki-laki tersebut yang merupakan marbot mushola tersebut.
"emmm , tolong panggilkan ustad Yusuf... karena saya ada keperluan mendesak" ucap Zora sopan.
"baiklah... kalau begitu tunggu sebentar ya" ucapnya ramah, lalu marbot tersebut masuk ke dalam mushola, dan melihat ustad Yusuf yang sedang mengaji.
dia mendekat dengan sopan... Yusuf yang melihat ada seseorang yang duduk di sebelahnya kemudian dia mengakhiri bacaannya.
"shadaqallahul adzim" ucapnya setelah menyelesaikan bacaannya.
lalu menoleh ke arah marbot tersebut,
"ada apa pak?" tanya Yusuf sopan.
Lalu marbot tersebut mengatakan kalau ada seorang gadis yang sedang mencarinya di depan mushola.
eh Thor semoga itu Zorra bisa mengatasi fitnahan dan bisa membongkar dan membalikkan fakta kasihan yang lg berhijrah di fitnah....
lanjut trimakasih Thor 👍 semangat 💪 salam