Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA
Sejak peristiwa itu, kepercayaan Bara pada Gala semakin erat, menitipkan Nara kepadanya setiap kali ia harus meninggalkan kota karena tuntutan bisnis keluarga Harisman. Bara bukan sekadar mahasiswa akhir; ia adalah penerus dan pemimpin yang tangguh di kerajaan bisnis mereka.
"Ayo, kita pulang," ajak Bara dengan nada lembut pada adiknya.
"Em..." Nara membalas sambil menyesuaikan tasnya di bahu.
"Ga, aku bawa Nara pulang. Terima kasih sudah banyak membantu," ucap Bara sambil memberikan tepukan hangat di punggung Gala.
"Oke, hati-hati di jalan," Gala membalas dengan suara yang menunjukkan kekhawatiran akan keselamatan Bara. Sebelum Nara memasuki mobil, ia berbalik dan menatap Gala dengan penuh makna, seperti ada kata yang tak terucap namun terpahat dalam pandangannya.
"Mas Gala, terima kasih," katanya sambil mengulurkan sebuah lolipop dari dalam ranselnya. "Apa ini, Dek Nara?" Gala bertanya, matanya mengerjap sambil meneliti permen tersebut.
"Itu untuk Mas Bara," Nara menjelaskan cepat, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil. "Oh, terima kasih atas permennya," ucap Gala, senyumannya mencairkan keheningan.
Mobil menderu membelah angin yang menemani perjalanan ke rumah Harisman. Sesaat setelah tiba, Nara berlari bergegas menuju kamarnya.
"Mas, Eyang tidak jadi pulang hari ini?" tanyanya seraya membuka pintu.
"Tidak, Eyang masih terikat urusan di Singapura," sahut Bara sambil menekan tombol laptopnya, tubuhnya ambruk ke sofa yang empuk.
*******
Satu tahun berlalu, dan tibalah Nara di ambang pintu masa depannya. Di tengah persiapan asesmen yang menentukan kelulusannya, untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Gala muncul menjadi penunjuk arah. Pria itu, dengan sabar menjadi guru privat di rumah, pelan tapi pasti menyemai benih kedekatan di antara mereka. Namun, ketika mendekati hari kelulusan semakin mendekat, sebuah pukulan datang dari Gala.
Gala harus kembali ke kota asalnya. Kabar itu seakan jatuh bagai meteor, menghancurkan semua harapan dan mimpi yang sempat terbina dalam angan gadis kecil itu. Nara, kini, harus menghadapi tes yang menentukan, dengan hati yang berkeping-keping.
"Hey, kok ngelamun, Dek?" Bara merengkuh kepala Nara dengan lembut. Gadis cilik itu terlihat gelisah, bayangan duka tergambar jelas di wajahnya sejak mendengar berita perpindahan Gala ke kota asalnya.
"Mas, antar aku ke rumah Mas Gala ya, ada tugas yang ingin aku tanyakan," bohong Nara, ia ingin menghabiskan waktunya bersama Gala, sebelum pria itu benar benar meninggalkan ibu kota.
"Emang tugas apa?" tanya Bara seakan meragukan niat adiknya.
"Pokoknya tugas lah," balas Nara sekenanya.
"Hem, ayok... sekalian Mas mau ketemu klien di hotel Melati," kata Bara.
Bara tidak pernah sekalipun menolak apa pun yang diminta adiknya. Bara begitu menyayangi adik semata wayangnya itu.
Mobil mereka berhenti tepat di depan kediaman Gala. Nara langsung menekan bel rumah dengan penuh antisipasi. Tak lama, muncul sosok wanita cantik yang membuka pintu. Nara menatap wanita itu dengan pandangan tajam yang menyesatkan, seolah-olah bisa melihat melalui jiwa wanita itu.
"Hai, cari siapa?" sapa wanita itu dengan suara lembut yang penuh keramahan. Nara membisu, matanya masih terpaku penuh prasangka, ketika suara Gala terdengar dari dalam, membawa angin perubahan yang tak terduga.
"Siapa Ca?" Gala mempertanyakan dengan nada yang dipenuhi keheranan. Ica menjawab sekenanya, "Entahlah, ada bocil imut yang mencarimu." Nara yang dikatai anak kecil itu mendengus kesal saat dirinya disebut 'bocil' oleh wanita berambut pirang itu.
Dengan langkah yang begitu gesit, Nara melaju masuk, menabrak Ica, dan langsung memeluk Gala dengan erat.
"Mas Gala..." rengek Nara dengan manja.
Gala yang terkejut langsung membalik badan.
"Nara.."ucap Gala sembari menangkup wajah imut Nara.
"Apakah benar, seperti kata Mas Bara, kamu akan pindah,Mas?" suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca mencerminkan kekhawatiran.
Gala tersenyum pahit, sambil melepas pelukan Nara yang hangat di pinggangnya.
"Ya, Mas harus kembali ke Semarang, dan berencana melanjutkan S2 di sana," Gala menjelaskan seraya mengusap lembut wajah Nara yang tampak lesu.
"Tapi kenapa? Bisakah menunggu sampai Nara selesai ujian?" Nara mendesak, suara bergetarnya semakin kencang. Gala menggeleng lemah.
"Maaf, Dek Nara. Tidak bisa," ujarnya dengan nada suara yang meredam kesedihan. "Ayah Mas sakit parah, dan tidak ada yang bisa merawatnya di sana," lanjutnya. Nara membeku, perasaannya hancur.
"Apakah Mas Gala tidak akan kembali lagi kesini?" rasa takut merasuk ke dalam suaranya, sambil meremas ujung bajunya yang gemetar. Gala hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa memastikan, seraya berkata dengan berat.
"Mas tidak tahu, Dek Nara." Suara Gala begitu teduh, namun terdengar pecah dalam gendang. Wajah Nara pucat, dan air mata mulai merembas, menciptakan kolam kesedihan yang tak terperikan. Dia berdiri terpaku, dunianya seakan runtuh mendengar kenyataan akan kepergian Gala.
Ditengah perbincangan mereka berdua, Ica terus menatap intens kedekatan antara Gala dan gadis kecil itu. Ada rasa cemburu yang luar biasa dari dalam hati Ica, karena setelah kedatangan Nara, Gala mengacuhkan Ica, akhirnya Ica pun pamit pulang.
Gala tengah asyik mengatur tumpukan pakaian dan beberapa buku berharga untuk disumbangkan ke panti asuhan. Satu persatu barang terkumpul dalam kardus besar di sampingnya. Tiba-tiba, saat Gala hampir menutup kardus, Nara muncul dan menahan tutupnya dengan tangannya yang kecil. Mata Nara terpaku pada sebuah boneka rubah di dalam kardus.
"Ada apa?" Gala bertanya, penuh tanya. "Boneka ini?" Nara berujar lembut, jari-jarinya menyentuh lembut bulu boneka itu.
"Kamu menyukainya? Ambil saja, kalau kamu ingin," tawar Gala dengan senyum hangat. "Aku sudah besar, tidak membutuhkan boneka lagi," tolak Nara, tapi matanya tidak lepas dari boneka itu.Gala hanya tersenyum mendengar kepolosan Nara.
"Baiklah, kalau begitu aku akan membuangnya," ucapnya mencoba menguji reaksi Nara. Mendengar kata 'membuang', Nara segera menyambar boneka itu dan mendekapnya erat.
"Jangan dibuang! Aku akan menyimpannya. Sayang sekali kalau boneka sebagus ini terbuang percuma," katanya, matanya berbinar menatap Gala, seolah boneka itu adalah harta yang tak ternilai.
Selesai mengemas seluruh barang barangnya, Gala membawa Nara ke lantai atas, di sana mereka bernyanyi dan karoke dengan lagu lagu kesukaan mereka. Lelah bernyanyi, Nara duduk di sofa yang menghadap ke arah laut, jendela kaca besar itu seakan melukiskan keindahan alam terbuka.
"Ini, untumu" ucap Gala memberikan Nara segelas jus mangga kesukaan gadis kecil itu.
"Makasih Mas," ucap Nara langsung menyeruput jus pemberian Gala.
"Mas, apa kakak pirang tadi itu kekasihmu?" tanya Nara dengan mata menatap Gala dengan tajam. Gala menyipit lalu menggeleng.
"Aku sedang tak dekat dengan siapapun, kecuali kamu" ujar Gala, tak sadar jika kata kata Gala itu terdengar ambigu di telinga Nara.
"Oya, benarkah?" tanya Nara dengan senyum sumringahnya.
"Hem...apa Mas pernah bohong?" sahut Gala sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Hem, baguslah jika begitu. Nara jadi lega. Apa Mas Gala mau berjanji untuku?" tanya Nara pada pria dewasa di sebelahnya.
"Katakan, Mas harus janji apa, padamu?" tanya Gala.
"Bisakah Mas Gala gak pacaran dengan gadis manapun, sampai aku tumbuh menjadi wanita dewasa? aku ingin menjadi wanita dewasa yang berada di sisi Mas Gala," pinta Nara mengejutkan pria berhidung mancung itu..
Namun keterkejutannya itu ia tutupi dengan nada bercanda.
"Ooo...Mas yakin, kamu akan tumbuh menjadi gadis cantik yang mempesona dan saat kamu tumbuh dewasa Mas yakin kamu tak akan mengingat Mas Galamu lagi,karena rambutku yang mulai memutih" Nara terkekeh mendengar ucapan Gala.
Hari makin senja, Bara tak kunjung menjemput Nara. Bahkan Bara memberi kabar pada Gala, jika ia meminta untuk menemani Nara sementara waktu, karena Bara harus ke Singapura, ada hal penting yang harus ia selesaikan di sana.
"Ada apa dengan Mas Bara, Mas?" tanya Nara ingin tahu.
"Kamu nginap di sini ya, Mas Baramu harus terbang ke Singapura sore ini," ucap Gala memberi tahu Nara.
Mendengar kabar itu, Nara tersenyum manis. Karena ia memiliki waktu yang banyak untuk bersama Mas Galanya malam ini, sebelum hari perpisahan itu tiba.
Malam merangkak larut, jam menunjukkan pukul sepuluh, langit semakin menggelap, perkiraan cuaca akan terjadi hujan disertai angin kencang malam ini. Benar saja tepat pukul 21.00 angin kencang disertai kilatan terlihat bercahaya terang di balik tirai.
Tiba-tiba kilatan cahaya memecah kesunyian malam, membuat Nara meringkuk di balik selimut. Mendengar suara petir, Gala langsung berhenti dari pekerjaannya di depan laptop, menutup perangkat itu dengan terburu-buru dan berlari menuju kamar.
Dengan langkah yang dipenuhi kehawatiran atas diri Nara, akan teror hujan badai malam ini, dia tak akan membiarkan Nara, gadis kecil yang trauma itu, menderita sendirian.
"Tenanglah, ada Mas di sini," bisik Gala dengan suara yang penuh ketenangan, seraya mendekap tubuh mungil Nara yang gemetar ke dalam pelukannya yang hangat.
"Aku takut, Mas," bisik Nara terbata,"Jika Mas Gala pergi, siapa yang akan menjagaku?" suara Nara bergetar, nada putus asanya menyayat hati Gala.
"Kamu harus belajar menghadapi ini, Dek. Pelan-pelan hadapi ketakutanmu sendiri" Gala menenangkan sambil terus mengelus punggung Nara dengan lembut, berharap rasa takutnya akan perlahan sirna.
Malam itu, Gala tak lagi sendiri. Dia berbagi ranjang dengan gadis cilik yang telah mengisi ruang kosong di hatinya, mendampingi Nara melawan terornya hingga fajar menyingsing. Nara si gadis cilik itu, masih meringkuk dengan aman dalam dekapan hangat Gala.