"Ketimbang jadi sadboy, mending ajarin aku caranya bercinta."
Guyonan Alessa yang tak seharusnya terucap itu membawa petaka.
Wanita sebatang kara yang nekat ke Berlin itu berteman dengan Gerry, seorang pria sadboy yang melarikan diri ke Berlin karena patah hati.
Awalnya, pertemanan mereka biasa-biasa saja. Tapi, semua berubah saat keduanya memutuskan untuk menjadi partner bercinta tanpa perasaan.
Akankah Alessa dapat mengobati kepedihan hati Gerry dan mengubah status mereka menjadi kekasih sungguhan?
Lanjutan novel Ayah Darurat Untuk Janinku 🌸
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Mau Ke Apartemenku?
...“Mau ke apartemenku? Karena hari ini ulang tahunmu, aku akan membuatkanmu sesuatu.” — Gerry Anderson...
Alessa langsung berdiri dari duduknya dengan ekspresi terkejut. Wanita dengan mantel coklat dan baju turtleneck putih itu langsung melambaikan kedua tangannya kepada Gerry.
“B—bukan. Aku—”
“Terus kenapa masih di sini?” Gerry mulai bertanya dengan intonasi penuh penekanan. Padahal, tak seharusnya ia melontarkan pertanyaan itu. Memangnya jalan dan kursi panjang itu miliknya? Jelas-jelas itu milik publik. Jadi, ia sama sekali tak berhak untuk melarang gadis itu.
"Kamu sengaja 'kan di sini biar bisa ngikutin saya? Tunggu," Gerry bertolak pinggang sambil menghela nafas kesal. "Bagaimana kamu bisa tau kalau malam ini saya akan keluar?"
"Ini peringatkan saya pertama dan terakhir—”
“Maaf. Sepertinya kamu salah paham. Aku akan pindah ke tempat lain.” Alessa mengambil tas ranselnya dan berniat beranjak pergi meninggalkan Gerry, tapi sayang lengannya di tahan paksa oleh pria itu.
“Tunggu, tunggu.” Gerry melepaskan cengkeramannya saat wanita itu berhenti bergerak dan menoleh ke arahnya. “Kamu mau melarikan diri dan tak mengakui kesalahan kamu? Hm?”
Alessa mendadak tercengang. Ia tak menjawab pertanyaan Gerry, namun hanya menggelengkan kepalanya karena saat itu ia sedang tak ingin berdebat. Apalagi dengan pria yang dua hari terakhir ini ingin sekali ia ajak berteman.
“Terus? Ngapain kamu di sini sampai jam segini? Padahal udah sejak—”
“Hari ini adalah hari peringatan kematian ibuku. Jadi ... aku nggak mau pulang cepat. Karena kalau di kamar, hanya akan membuatku menderita sendirian.”
Mendengarkan penjelasan wanita itu, seketika ekpresi tak nyaman Gerry berubah menjadi merasa bersalah. Ia menghela nafas berat sambil menyeka kasar rambutnya menggunakan satu tangan. Ia mengutuki dirinya yang sudah berprasangka buruk pada wanita malang itu. "Gerry, Gerry. Apa sih yang kamu pikirkan?!"
Entah apa yang ada di pikiran Gerry saat itu, secara spontan ia mengajak wanita itu untuk membayar rasa bersalahnya. “Mau jalan-jalan sebentar?”
Alessa kembali tercengang sesaat. Kemudian ia mengerutkan keningnya dan mendadak gugup. “Ha? Ah … oh … i—iya, boleh.”
Cukup lama mereka berjalan tanpa arah, tapi tak kunjung ada satu pun percakapan yang terjadi.
“Maaf. Tadi saya udah salah paham dan menuduh kamu seenaknya.” Gerry memulai percakapan dengan perasaan bersalah. Kali ini, ia benar-benar merasa tak sedap hati.
“Oh … nggak apa-apa. Tapi, wajar aja sih kalo kamu berfikiran seperti itu.” Alessa mengakatannya sambil menatap ke bawah, ke arah kakinya yang silih berganti berjalan satu per satu. “Aku juga minta maaf karena selama ini selalu mengusikmu. Padahal … sudah berulang kali kamu menolak ajakanku.”
Gerry tersenyum sambil mengangguk pelan. Matanya berkeliling menatap ke arah pemandangan malam di kota itu.
“Alessa.” Wanita dengan alis mata tebal itu menoleh ke arah Gerry. Ia mengulurkan tangannya ke arah pria itu. “Sepertinya kita belum kenalan dengan benar.”
Gerry menyambut uluran tangan wanita itu sambil balik menatap wanita itu. “Gerry.”
“Thanks, Gerry. Ini jalan-jalan pertama kita,” ucap Alessa sambil mengulum senyum tepat di bawah cahaya lampu jalan yang berwarna kuning itu. Menampakkan dua buah lesung pipi yang selama ini tak pernah Gerry sadari.
Sesaat, Gerry mendadak terkesima dengan senyuman yang indah itu. Entah kenapa, baru kali ini ia menyadari senyuman indah itu dilengkapi sepasang lesung pipi. Padahal, selama ini gadis itu kerap kali tersenyum padanya, walaupun ia selalu mengacuhkannya.
Alessa melepaskan tangannya karena menyadari Gerry tak kunjung menyudahi jabatan tangan mereka. Tentu hal tersebut membuat Gerry tersadar dari lamunannya. Ia pun langsung menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku mantel hitamnya.
“Aku pulang dulu ya.” Alessa mengatakan hal tersebut karena tanpa sadar, mereka berjalan ke arah U-bahn Station, atau lebih dikenal sebagai stasiun kereta bawah tanah.
“Hm.” Gerry mengiyakan ucapan Alessa. “Sekali lagi, maafkan saya.”
“Justru sebaliknya. Kalau bukan karena kejadian tadi, mungkin aku nggak akan pernah menemukan hari di mana kita berjalan seperti tadi.” Alessa tersenyum sumringah, menampilkan hampir semua giginya yang rapi itu.
Malam itu, Gerry mendadak mengurungkan niatnya untuk datang ke club malam. Entah kenapa, ia merasa bahwa ia tak membutuhkan kesenangan fana itu. Entah karena senyuman yang indah sepaket dengan lesung pipi itu, atau memang suasana hatinya yang mendadak berubah.
...🌸 ...
Hari demi hari telah berlalu. Tanpa terasa, sudah dua minggu hubungan pertemanan Gerry dan Alessa terjalin. Alessa yang masih seperti biasa memulai menyapa Gerry lebih dulu, kini disambut hangat oleh Gerry. Pria itu sudah tak lagi mengacuhkan wanita pemilik mata biru itu.
“Espresso double shot. Dan …,” Alessa meletakkan pesanan Gerry seperti biasa. Tapi, hari ini berbeda. Ia menambahkan sebuah slice cake coklat dengan sebuah strawberri di atasnya. “Strawberry slice cake.”
Gerry menatap Alessa dengan mimik wajah heran dan bertanya-tanya. Sepertinya ia tak memesan dessert itu. Tapi kenapa Alessa meletakkan cake itu ke atas mejanya?
“Aku nggak mesan ini.” Gerry menunjuk cake yang ada di mejanya.
“Hari ini ulang tahunku. Jadi, aku yang mentraktirmu cake ini.” Lagi-lagi Alessa tersenyum dan menampilkan sepasang lesung pipi serta giginya. Sepasang mata biru miliknya terlihat sedang bahagia.
“Ah! Ulang tahun?” Gerry membulatkan mata dan mulutnya. Ia terkejut dan langsung mengucapkan selamat pada wanita itu sambil tersenyum. Kali ini senyuman lepas tanpa beban. “Happy birthday.”
“Entschuldigung!”
Belum sempat Alessa menjawab ucapan pria itu, ada seorang pelanggan yang memanggilnya. Ia pun menoleh ke arah suara itu dan bergegas menghampirinya.
“Ein Kaffee mit Milch, bitte?” (Satu kopi dengan susu)
“OK. Heiß oder kalt?” (Panas atau dingin)
“Heiß, bitte!” (Panas)
Usai mengingat pesanan pelanggan tersebut, Alessa pun bergegas melanjutkan pekerjaannya.
Gerry terus menoleh ke arah dalam restoran, menanti Alessa keluar dan berharap bisa lanjut mengobrol dengannya. Tapi sayang, ia melihat wanita itu sangat sibuk hari ini, sampai-sampai mereka tak sempat mengobrol seperti biasanya. Sehingga ia pun memutuskan menunggu wanita itu sampai melupakan waktu.
Tepat pada pukul 17.00, Alessa akhirnya keluar dari restoran dengan mengenakan mantel coklatnya dan baju turtleneck berwarna cream. Ia menyandang tas hitam untuk kembali ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Gerry sedang berdiri tepat di depannya saat ini.
“Mau ke apartemenku?”
Alessa terperangah saat mendengarkan ucapan pria itu. “Ha?”
“Karena hari ini ulang tahunmu, aku akan membuatkanmu sesuatu.” Gerry mengatakannya dengan gamblang tanpa basa basi. Ini pertama kalinya ia memberikan ajakan pada seseorang sejak ia berada di Berlin.
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
Alessa kan kak??
❤❤❤❤❤
ampuuunnn..
manis sekali lhoooo..
jadi teehura..
berkaca2..
❤❤❤❤❤❤
akhirnya mumer sendiri..
😀😀😀😀😀❤❤❤❤
berjanggut ya jadi pangling gonk..
😀😀😀❤❤❤❤❤