Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Bendera Kuning
Pagi itu, aroma masakan khas desa memenuhi ruang makan. Aylin duduk di kursinya dengan wajah masam, sementara Akay menikmati sarapannya dengan tenang. Nenek Ros duduk di ujung meja, menatap keduanya dengan sorot mata penuh harapan.
"Aylin, ambilkan teh untuk suamimu," perintah Ros lembut.
Aylin melirik sekilas ke arah Akay sebelum menjawab datar, "Dia punya tangan sendiri."
Ros menghela napas panjang, menahan kesabarannya. "Aylin, Nak, tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini."
Aylin meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar, lalu menatap neneknya. "Nenek tahu pernikahan ini hanya paksaan. Dia bukan suamiku yang sebenarnya, jadi aku tidak perlu melayaninya."
Ros terdiam sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke Akay. "Maafkan cucuku, Akay. Dia memang keras kepala dan belum memahami arti pernikahan. Aku memohon padamu, bimbinglah dia, didiklah dia."
Akay yang sejak tadi hanya menyimak akhirnya bersuara, "Saya bisa mencoba, Nek. Tapi Aylin harus mau berubah."
Aylin mendengus dan bangkit dari kursinya. "Aku tidak mau mendengar ini lagi." Tanpa menoleh, ia melangkah keluar rumah, meninggalkan Ros dan Akay di meja makan.
Ros menghela napas berat, menatap cucunya yang semakin menjauh. "Maafkan Nenek, Aylin... Maaf karena terpaksa menyerahkanmu dalam pernikahan yang tidak kau inginkan. Tapi Nenek tak punya pilihan lain," batinnya. Ia kembali menghela napas yang terasa sesak, lalu beralih menatap Akay dengan penuh harap. "Akay, Nenek tahu pernikahan ini terjadi bukan atas kehendak kalian. Tapi ikatan yang telah kalian buat adalah sesuatu yang suci. Nenek memaksa kalian menikah, tapi bukan berarti Nenek ingin kalian menganggapnya permainan."
Akay menatap Ros dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa Nenek begitu percaya pada saya? Kita baru bertemu, tapi Nenek menyerahkan cucu Nenek dan segalanya pada saya."
Ros tersenyum tipis, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Nenek tidak akan menikahkan cucu Nenek, satu-satunya pewaris keluarga kami, dengan pria sembarangan."
Akay terdiam, mencerna kata-kata Ros. Dalam hatinya, ia bergumam, "Dia berkata seperti itu berarti dia sudah mencari tahu tentang aku. Siapa sebenarnya nenek ini?"
Setelah beberapa saat hening, Akay akhirnya bersuara, "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Nek."
Ros tersenyum tipis, matanya menatap Akay dengan penuh keyakinan. "Nenek memang tidak salah menilaimu," katanya, lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia menyerahkannya kepada Akay. "Simpan baik-baik. Itu kontak orang kepercayaan Nenek. Jika suatu saat kamu butuh bantuan atau ingin tahu lebih jauh tentang keluarga kami, hubungi dia."
Akay menerima kartu itu, menatapnya sekilas. "Baik, Nek. Kalau begitu, saya pamit pergi bekerja."
Ros mengangguk, menatap punggung Akay yang menjauh dengan sorot mata penuh harapan. Ia tahu, meskipun pernikahan ini bukan pilihan Aylin, Akay adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga cucunya saat ia tiada.
Ros menghela napas pelan, matanya masih mengikuti punggung Akay yang menjauh. Ia ingin percaya bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Bahwa Akay bisa menjaga Aylin. Tapi benarkah?
"Aku tahu tubuhku semakin lemah. Setiap pagi, aku bangun dengan nyeri yang semakin tajam di perutku, dan aku harus menahan diri agar tidak menunjukkan betapa menyiksanya ini. Aku bahkan tak yakin bisa bertahan seminggu ke depan. Tapi aku tak bisa pergi dengan tenang jika Aylin masih sendirian. Dia keras kepala, liar, dan selalu menolak untuk tunduk. Aku hanya bisa berharap Akay bisa menjaganya…."
***
Aylin melangkah dengan gontai menuju danau tersembunyi di balik rimbunan pohon, tak jauh dari desa. Napasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena amarah yang belum juga mereda. Sejak pagi ia memilih menghilang, enggan pulang ke rumah karena hatinya masih panas—bukan hanya pada neneknya, tapi terutama pada Akay.
Ia berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kakinya yang terasa ringan meski kepalanya penuh beban. Begitu sampai di tepi danau, ia menjatuhkan diri dengan kasar di atas rerumputan. Jemarinya mencelup ke dalam air dingin, tapi itu tidak cukup untuk mendinginkan amarah yang berkecamuk di dadanya. Dengan sebal, ia menendang kerikil kecil ke permukaan air, menciptakan riak yang langsung menghilang—seperti kesabarannya yang habis dalam sekejap.
"Aku benci mereka," gerutunya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Kenapa sih, hidupku harus begini? Kenapa harus ada dia?"
Ia meraup air dan membasuh wajahnya, berharap dinginnya bisa menyadarkan dirinya, tapi tetap saja, bayangan Akay dengan wajah menyebalkan itu kembali memenuhi pikirannya.
"Kenapa harus dia? Kenapa bukan pria lain?" gerutunya dengan nada frustrasi.
Akay, pria yang usianya jauh di atasnya, sekarang adalah suaminya. Bukan atas keinginannya, tapi karena paksaan sang nenek. Aylin menggeram, menggenggam sejumput rumput dan mencabutnya dengan kasar. "Aku tidak akan membiarkan ini terus berlangsung. Aku harus menemukan cara agar dia menceraikanku."
Senyum perlahan terbit di wajahnya, senyum yang bisa disebut lebar—atau mungkin lebih tepat disebut licik. Jika Akay menceraikannya, maka ia tak hanya bebas, tapi juga kaya raya. Sesuai perjanjian yang mereka tandatangani, Akay harus membayar denda yang jumlahnya tidak sedikit jika memilih berpisah dengannya.
"Bayangkan saja... janda kembang muda dan kaya raya. Hidupku akan jauh lebih menyenangkan tanpa pria menyebalkan itu," bisiknya, matanya berkilat penuh perhitungan.
Ia mulai merancang berbagai skenario dalam kepalanya. Skenario yang akan membuat Akay begitu muak dan menyerah hingga memilih untuk menceraikannya.
Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Langit telah berubah menjadi oranye keemasan, dan bayangan pohon di tepi danau semakin memanjang. Aylin menarik napas dalam, memeluk lututnya sendiri. Ia tak berniat pulang dulu. Tidak sampai ia benar-benar menemukan cara yang sempurna untuk melepaskan diri dari pernikahan yang menyebalkan ini.
***
Akay menghela napas panjang saat mobilnya memasuki pekarangan rumah Nenek Ros. Hari yang panjang dan melelahkan ini belum berakhir, karena di dalam rumah itu ada seorang gadis keras kepala yang bahkan enggan mengakui dirinya sebagai suami.
Ia mendesah, memijat pelipisnya. "Mungkin... sepertinya hidupku bakal lebih dramatis daripada sinetron azab subuh-subuh."
Namun, sebelum ia sempat memarkirkan mobilnya dengan benar, seorang wanita paruh baya, ART nenek Ros, bergegas keluar dari rumah dengan wajah panik. Ia berlari menghampiri mobil Akay dan mengetuk kaca jendela dengan napas memburu.
"Tuan Akay! Cepat masuk! Nenek Ros jatuh!" serunya dengan suara gemetar.
Jantung Akay mencelos. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah, mengikuti wanita itu.
Di ruang tengah, ia melihat sosok nenek Ros tergeletak di lantai. Tubuh renta itu tampak lemah, napasnya tersengal, dan matanya setengah terpejam. Akay segera berlutut di sampingnya, tangannya hendak mengangkat tubuh wanita tua itu dengan hati-hati.
Namun, sebelum ia sempat berbuat lebih jauh, nenek Ros meraih tangannya dengan sisa tenaga yang ia miliki. Cengkramannya lemah, tetapi cukup untuk menghentikan gerakan Akay.
"Tolong... jaga Aylin..." suara nenek Ros lirih, terputus-putus. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti perjuangan.
Akay menelan ludah, hatinya mencelos. "Nenek, tahan dulu! Aku akan membawamu ke rumah sakit!"
Nenek Ros tersenyum samar, tatapannya mulai kosong. Napasnya tersengal, semakin melemah. Bibirnya sedikit bergerak, ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara tak lagi keluar. Matanya perlahan tertutup.
"Nenek? Nenek!" Akay mengguncang tubuh wanita itu dengan panik.
ART yang berdiri tak jauh dari mereka membekap mulutnya, tubuhnya gemetar menyaksikan kejadian di depan matanya.
Detik demi detik berlalu, dan kesunyian yang mencekam melingkupi ruangan. Tak ada lagi tarikan napas dari nenek Ros. Waktu seakan berhenti saat kenyataan menghantam Akay seperti badai yang tak terduga.
Nenek Ros... telah tiada.
Akay terdiam, menatap wajah tenang wanita tua itu yang baru saja pergi meninggalkan dunia ini. Ia menggertakkan giginya, menelan kesedihan yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Dalam hatinya, ia tahu—janji yang barusan diucapkan oleh Nenek Ros adalah titah terakhirnya. Ia harus menjaganya.
Ia harus menjaga Aylin.
...🌟🌟🌟...
..."Saat kita muda, kita sering memberontak terhadap batasan orang tua. Saat kita dewasa, kita merindukan batasan itu sebagai bukti cinta dan perhatian mereka."...
..."Cinta orang tua adalah kompas yang mungkin terasa mengikat saat kita muda, tetapi akan selalu menuntun kita pulang saat kita tersesat."...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍