Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Degh.
Eleanor terdiam, tapi tidak ada gejolak yang tampak di wajahnya. Ia tetap duduk dengan tegak, jemarinya berpindah perlahan dari satu sisi meja ke sisi lainnya, seperti menata ulang pikirannya tanpa menunjukkan keretakan sedikit pun dalam sikapnya.
Beberapa detik berlalu sebelum ia membuka suara dengan dingin, terukur, dan tanpa nada.
"Sergey," katanya pelan, seolah hanya mengulangi nama itu untuk memastikan ia mendengarnya dengan benar. "Menarik."
Ia mengangkat pandangan, menatap Aria dengan tatapan yang tenang namun tajam, seperti pisau yang diselubungi beludru.
"Sebagai seorang wanita yang dikenal tajam dalam menilai nilai tukar, aku harus bertanya, Aria... apa yang membuatmu menilai Sergey sebagai harga yang sepadan dengan Sesilia?"
Aria sempat terdiam, mungkin karena tak mendapati sedikit pun kemarahan, kekecewaan, atau keterkejutan dalam nada bicara Eleanor.
Hanya ketenangan, nyaris seperti ketidakpedulian dan justru karena itulah, pertanyaan itu terasa jauh lebih menusuk.
"Apa kamu belum tahu? aku dan Sergey adalah mantan kekasih sebelum kamu datang dan menghancurkan hubunganku, Eleanor." Jawab Aria sinis.
Sudut bibir Eleanor terangkat, membentuk senyum tipis yang tidak sampai ke matanya, senyum seorang pemain catur yang baru saja melihat bidak lawannya bergerak persis seperti yang ia prediksi.
"Ah," gumamnya ringan, seolah mendengar kabar tentang cuaca hari ini. "Jadi ini bukan tentang tanah, bukan juga tentang nilai. Ini tentang masa lalu yang belum sempat kamu menangkan."
Aria menyipitkan mata, tapi Eleanor sudah melanjutkan, masih dengan ketenangan yang menusuk dan elegan.
"Sayangnya, Aria, masa lalu tidak bisa diperdagangkan seperti sebidang tanah. Dan Sergey..." ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap langsung ke mata Aria, "...bukan objek dalam lelang."
Aria menggertakkan gigi, namun sebelum ia bisa membalas, Eleanor bersandar kembali, tenang seperti sebelumnya.
"Namun... demi negosiasi yang adil, aku tetap ingin mendengar tawaran lengkapmu. Bukan tentang perasaan, tapi rencana. Jika kamu benar-benar menginginkan Sergey, jelaskan padaku, secara rasional, apa posisi dia dalam proyek ini dan mengapa kehadirannya menjadi kunci dalam kesepakatan kita."
Kini giliran Aria yang terlihat sedikit gelisah. Permainan ini jauh lebih halus dari yang ia kira dan Eleanor, seperti biasa, bermain dalam diam, tapi tak pernah keluar dari kendali.
Aria menegakkan tubuhnya, mencoba mengembalikan kendali atas suasana. Ia tahu Eleanor tidak akan terpancing oleh emosi, jadi ia pun mengubah pendekatannya.
"Sergey bukan hanya masa lalu, Eleanor," katanya lebih tenang sekarang, meski sorot matanya masih menyala. "Dia arsitek utama di balik proposal pengembangan kawasan Sesilia. Tanah itu tak akan bernilai sebesar ini tanpa visinya."
Eleanor menyentuh tepi cangkir tehnya, mengangkatnya dengan satu gerakan halus. Ia meniup uapnya sejenak, sebelum menyeruput sedikit, seolah informasi yang baru saja disampaikan tidak lebih penting dari teh hangat di tangannya.
"Lanjutkan," katanya singkat, memberi ruang namun tanpa memberi keunggulan.
Aria menarik napas. "Proposal yang kamu ajukan aku tahu Sergey yang menyusunnya. Gayanya khas. Detailnya, pendekatannya terhadap lanskap dan konservasi… itu bukan milik perusahaanmu, tapi milik Sergey."
Eleanor meletakkan cangkirnya perlahan. "Jika itu pemikiranmu, maka kamu salah besar. Proposal ini jelas di buat olehku tanpa ada campur tangan dari Sergey. Tapi tidak masalah, aku di sini ingin mendengar keseluruhan detail dari tawaranmu dan kamu sepertinya ingin memilikinya kembali?"
"Aku ingin dia kembali bekerja bersama orang yang benar-benar memahami nilainya," jawab Aria tegas. "Bukan hanya sebagai pion dalam permainan akuisisi, tapi sebagai seseorang yang punya kendali atas apa yang dia bangun."
Sekilas, mata Eleanor menyipit bukan karena marah, tapi karena ia mulai melihat gambaran yang lebih besar.
"Jadi, ini tentang pengaruh," simpul Eleanor. "Kamu ingin tanah itu, Sergey, dan proyeknya. Kamu ingin semua bagian yang menyusunnya agar dapat mengatur ulang hasil akhirnya, sesuai versimu."
Aria mengangguk. "Dan kamu harus memutuskan ingin memiliki tanah yang indah, atau proyek besar yang benar-benar hidup, Eleanor."
Eleanor menghela napas pelan, lalu tersenyum. Kali ini senyumnya tulus, tapi sarat makna. "Sayang sekali, Aria. Aku tidak pernah memilih. Aku selalu mengambil keduanya."
Suasana kembali hening kali ini bukan karena keraguan, tapi karena garis pertempuran mulai jelas. Dan keduanya tahu, ini belum berakhir.
Eleanor menatap Aria cukup lama, seolah sedang menimbang sesuatu di dalam pikirannya yang tak bisa ditebak. Lalu, tanpa peringatan, ia kembali menyandarkan punggung ke kursi dengan sikap santai, namun matanya tetap penuh kuasa.
"Baiklah," kata Eleanor akhirnya. "Kalau Sergey yang kamu inginkan, maka anggap saja itu sebagai bagian dari kesepakatan kita."
Aria mengerjapkan mata, tak menyangka jawabannya datang semudah itu. Tapi sebelum ia bisa merespons, Eleanor mengangkat tangan pelan, memberi isyarat bahwa ia belum selesai.
"Tapi, tentu saja, aku tidak akan menyerahkannya begitu saja. Aku tidak akan membujuknya, memengaruhinya, atau menyingkir dari jalannya. Sergey bukan barang dalam daftar inventaris yang bisa kutandatangani lalu berpindah tangan." Senyumnya kembali muncul, dingin dan hampir kejam dalam ketenangannya. "Jika kamu menginginkannya, kamu harus mengambilnya sendiri."
Aria diam. Eleanor bersandar sedikit ke depan, suaranya merendah namun tajam seperti belati yang digosok perlahan.
"Lakukan sesukamu, Aria. Rayu dia. Guncang fondasi rumah tanggaku. Buat skandal jika kamu merasa itu perlu. Aku tidak akan menghalangimu. Tapi aku juga tidak akan mempermudah jalanmu."
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada hampir berbisik, "Kemenangan yang kamu inginkan... hanya akan berarti jika kamu bisa meraihnya sendiri."
Aria terdiam, ekspresinya berubah entah itu karena tantangan yang dilontarkan Eleanor, atau karena fakta bahwa perempuan itu tidak goyah sedikit pun saat mempertaruhkan suaminya.
Satu sudut ruangan terasa lebih sunyi dari yang lain, seolah kata-kata Eleanor menggantung seperti bayangan yang tak bisa diusir.
"Jadi?" tanya Eleanor tenang. "Kamu masih menginginkan kesepakatan ini?"
Aria mengatupkan rahangnya, diam-diam menelan rasa getir yang muncul di tenggorokannya. Ia datang dengan rencana matang, dengan strategi untuk menekan, bahkan menghancurkan jika perlu.
Tapi Eleanor... wanita ini tak goyah sedikit pun. Bahkan saat ditantang untuk mempertaruhkan suaminya, ia tetap anggun dan lebih berbahaya dari yang Aria perkirakan.
"Aku tidak mundur," jawab Aria akhirnya, suaranya tegas. "Kalau itu syaratmu, maka aku akan menerimanya."
Eleanor mengangguk ringan, seolah hanya menyetujui langkah kecil dalam sebuah kontrak panjang. Ia lalu mengambil pena yang tergeletak di samping dokumen, mencoret sesuatu dengan tenang, dan menandatangani halaman terakhir dengan gerakan nyaris malas.
"Kalau begitu, kita punya kesepakatan," ucapnya tanpa melihat ke arah Aria. "Tanah Sesilia akan menjadi milikku. Dan Sergey..." ia meletakkan pena dengan ringan, lalu menatap Aria dengan senyum yang nyaris penuh simpati, "akan menjadi urusanmu."
Aria mengulurkan tangannya meraih pulpen dan menandatangi berkas itu, lalu ia kembali mengulurkan tangan untuk menjabat Eleanor, tetapi Eleanor tidak langsung merespons. Ia hanya menatap tangan itu sejenak, lalu berkata,
"Aku akan memberimu satu nasihat terakhir, gratis... bukan sebagai lawan, tapi sesama wanita. Sergey bukan pria yang mudah ditaklukkan. Dia tidak akan berpaling hanya karena kenangan, atau nostalgia. Kamu harus memberinya sesuatu yang tidak pernah ia temukan bersamaku."
Aria menarik kembali tangannya perlahan, tak ingin terlihat ragu, meski hatinya mulai merasa berat.
"Aku tahu dia lebih dari yang kamu kira," balas Aria pelan. "Dan aku akan membuatnya memilih tanpa paksaan, tanpa tipuan. Tapi dengan kebenaran yang pernah kalian lupakan."
Eleanor tersenyum samar, berdiri dari kursinya dengan anggun. "Kalau begitu, selamat bermain, Aria. Dan semoga kamu cukup kuat menghadapi hasilnya. Karena kadang, yang paling menghancurkan bukan kehilangan... tapi menyadari bahwa yang kamu perjuangkan tidak pernah benar-benar menginginkanmu kembali."
Tanpa menunggu jawaban, Eleanor melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Aria sendirian dengan keputusannya.
Soo.... jangan lupa up tiap hari.. tiap waktu yaa Thor 👍😘😁😍😍