NovelToon NovelToon
Cinta Suami Amnesia

Cinta Suami Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Penyesalan Suami / Suami amnesia
Popularitas:15.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mama eNdut

Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji Yang Terlupa

Pagi ini Vian mengantar Nara ke kantor seperti biasa, namun tanpa Arland karena pria itu sudah lebih dulu menuju kantor dengan mobilnya sendiri. Mereka berdua berangkat pagi-pagi, dengan matahari yang masih terbit di ufuk timur.

Di dalam mobil, Nara mempersiapkan diri untuk hari ini. Dia memeriksa pesan dari atasannya.

Di sisi lain, Vian memandang Nara dengan senyum. "Semoga hari ini berjalan lancar, Sayang," katanya.

Nara tersenyum kembali. "Terima kasih, Mas".

Mereka berdua tiba di tempat kerja Nara. Vian mematikan mesin mobil dan mencondongkan badannya untuk mencium Nara.

"Selamat bekerja, Sayang,".

"Terima kasih, Mas. Mas juga ya".

Vian tersenyum dan kembali ke tempat duduk pengemudi. "Nara, nanti siang kita makan siang bersama ya".

"Boleh Mas tetapi di mana?".

Vian menoleh ke sekitar, pandangannya terhenti pada sebuah cafe sederhana yang berada tidak jauh dari tempat Nara bekerja.

"Di sana Sayang", tunjuk Vian.

Nara menoleh dan mengangguk. "Aku akan menunggu kamu, Mas".

Nara turun dari mobil dan berjalan ke arah toko, Vian memandangnya dengan senyum sampai gadis yang di cintai ya itu hilang dari pandangan.

Di tempat lain, terlihat Gaby yang tengah berjalan di lorong Rumah Sakit, dia baru saja diperbolehkan pulang oleh dokter setelah kondisinya membaik. Dia yang sibuk mencari ponselnya di dalam tas dan tidak terlalu memperhatikan jalan di depannya. Tiba-tiba, saja ia bertabrakan dengan seorang pria yang sedang berjalan dari arah sebaliknya. Keduanya saling meminta maaf.

Gaby mengangkat wajahnya dan terkejut melihat pria yang bertabrakan dengannya adalah Arka, saudara sepupu Vian. Begitu juga dengan pemuda itu yang terkejut melihat Gaby, tapi dia segera tersenyum dan mengucapkan salam.

"Apa kabar, Gaby?" tanya Arka dengan senyum yang ramah.

Gaby tersenyum kembali dan membalas salam. "Apa kabar, Arka? Aku tidak menyangka bertemu denganmu di sini."

Arka mengangkat bahu. "Aku sedang mengunjungi teman yang sedang sakit. Bagaimana denganmu? Apa yang terjadi?"

Gaby menghela napas. "Biasalah, alergiku kambuh".

"Gara-gara udang lagi?", tanya Arka setelahnya.

"Ya begitulah, tapi aku sudah sembuh sekarang."

Arka mengangguk. "Syukurlah."

Keduanya berdiri di lorong rumah sakit, berbicara dengan santai. Arka tidak bisa tidak memandang Gaby dengan mata yang penuh kasih sayang. Dia telah mencintai Gaby sejak lama, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.

Gaby dan Arka berjalan bersama mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Mereka memutuskan untuk pergi ke resto yang berada di dekat rumah sakit.

Setelah memesan minuman, mereka duduk di meja yang nyaman dan mulai berbasa-basi. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, seperti pekerjaan dan hobi. Namun, Gaby tidak bisa tidak memikirkan tentang Vian. Dia penasaran tentang apa yang terjadi pada mantan pacarnya itu.

"Arka, apa kabar dengan Vian? Aku sudah lama sekali tidak bertemu dengannya", tanya Gaby dengan hati-hati.

Arka menghela napas dan memandang Gaby dengan mata yang serius. "Vian mengalami kecelakaan beberapa bulan yang lalu," kata Arka dengan suara yang pelan.

Gaby terkejut. "Kecelakaan? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan cepat.

"Vian mengalami cedera kepala yang parah. Dia mengalami amnesia dan tidak bisa mengingat apa-apa tentang masa lalunya."

Gaby sangat terkejut. Dia tidak bisa percaya bahwa Vian, pria yang pernah dicintainya, sekarang tidak bisa mengingat apa-apa tentang masa lalunya. "Pantas saja setiap aku ajak bicara dia selalu mengalihkan pembicaraan dan juga sikapnya berubah menjadi lebih baik padaku, jadi bukan karena dia peduli dan sudah memaafkan ku, namun karena dia tidak ingat dengan semua yang sudah terjadi diantara kita", batin Gaby. Rasa yang mengganjal karena perubahan sikap Vian sudah terjawab. "Tapi bukankah jika seperti ini aku bisa mendekati Vian kembali?", batinnya cukup senang, namun sesaat kemudian kesenangannya itu terpatahkan dengan ucapan Arka berikutnya.

"Vian sekarang sudah menikah".

Gaby kembali terkejut, matanya melebar, dan bibirnya terbuka. Dia merasa seperti telah dipukul oleh palu yang besar. Dia tidak percaya apa yang dia dengar.

"Me-menikah?" Gaby bertanya dengan suara yang tergagap. Dia merasa seperti telah kehilangan napas.

Arka mengangguk. "Ya, Vian menikah beberapa bulan yang lalu."

Gaby merasa seperti telah ditabrak oleh truk. Dia tidak percaya bahwa Vian, pria yang pernah dicintainya, sekarang sudah menikah.

Dia memandang Arka dengan mata yang berkaca-kaca. "Siapa... siapa yang dia nikahi?" tanya Gaby dengan suara yang tergagap.

Arka memandang Gaby dengan ekspresi yang tidak nyaman. "Dia menikahi seorang wanita biasa bernama Aya."

Mendengar itu, Gaby merasa seperti telah kehilangan segalanya. Matanya mulai berair. Gaby berdiri menyambar tasnya lantas berlari keluar tanpa memperdulikan Arka yang menatapnya sendu.

Gaby berjalan sendirian di jalan, mencoba mengatur perasaannya yang masih terguncang. Namun tiba-tiba dia berpikiran lain, Vian memang sudah menikah, tapi saat ini dia kehilangan ingatan.

Gaby memandang ke depan, matahari yang mulai tinggi membuatnya merasa lebih bersemangat. Gaby merasa seperti ada harapan baru. Dia merasa bahwa dia masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan Vian kembali, tidak peduli betapa sulitnya. Dia merasa bahwa jika jauh di hati yang terdalam, Vian masih menyimpan rasa cinta untuknya.

"Aku tidak akan menyerah," kata Gaby kepada dirinya sendiri. "Aku akan mencoba untuk mendapatkan Vian kembali, tidak peduli apa pun yang terjadi."

*****

Gaby tiba di kantor Vian dengan membawa kotak makanan. Dia berjalan ke resepsionis dan bertanya di mana ruangan lelaki itu, siapa tahu setelah sekian lama tidak kemari, Vian berpindah ruangan.

Resepsionis memandang Gaby dengan senyum. Perempuan yang duduk di bangku resepsionis itu memang sudah mengetahui siapa itu Gaby karena beberapa kali gadis itu pernah datang kesini. "Anda bisa naik ke lantai sebelas. Itu ruangan Pak Vian."

Gaby mengangguk dan berjalan ke arah lift. Dia merasa sedikit gugup, tapi dia tidak peduli. Dia ingin bertemu dengan Vian saat ini.

Gaby tiba di depan ruangan Vian dan mengetuk pintu. Suara Vian terdengar dari dalam.

"Masuk!"

Gaby membuka pintu dan berjalan masuk. Vian memandangnya dengan terkejut begitu juga dengan Arland. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Gaby tersenyum dan membawa kotak makanan ke meja Vian. "Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih atas pertolonganmu, Vian. Aku membawa makanan untukmu."

Vian memandang Gaby dengan hati-hati, kemudian meminta Arland untuk keluar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia sudah menikah dengan Nara, tapi dia masih merasa ada sesuatu yang spesial dengan Gaby.

Tanpa di minta Gaby beralih kearah sofa, duduk disana sembari menyiapkan dan menata kotak makan yang dia bawa di atas meja.

"Aku membawa makanan kesukaanmu Vian, sesuai janjiku dulu aku akan belajar memasaknya dan kemari lah, coba makanan buatanku ya".

Vian memandang makanan yang lezat dan merasa sedikit lapar. Dia berpindah, duduk di kursi dan memulai menyicipinya.

"Bagaimana?", tanya Gaby, gadis itu terlihat begitu antusias.

"Lumayan", ucap Vian dengan ekspresi yang datar.

"Hanya lumayan? Aku sudah berusaha keras untuk membuatnya Lo, hem mungkin aku harus belajar lagi".

"Kau yakin telah membuatnya sendiri?".

"Ya, memangnya kenapa? Apa ada yang salah?".

"Kau lupa membuang stiker pada kotak makanannya", ucap Vian sembari menunjukkan stiker terimakasih dengan tulisan nama tempat makanan itu di beli.

"Ah, .. ", Gaby tersenyum kikuk, antara malu dan juga kesal. "Sialan", batinnya.

Tiba-tiba saja Vian berdiri, merapikan jasnya dan meraih ponselnya. Di lihatnya layar ponsel yang ternyata mati.

"Maaf, tetapi aku harus pergi".

"Pergi? Pergi kemana? Maksudku bukankah ini jam makan siang dan aku sudah membawakan makanan untukmu, kenapa tidak disini saja dan makan bersamaku?", tanya Gaby yang juga ikut berdiri.

"Ya kau benar, aku ingin makan siang namun tidak denganmu".

Tiba-tiba, Gaby mengambil tangan Vian dan memandangnya dengan mata yang dalam. "Vian, aku langsung datang kemari setelah aku keluar dari Rumah Sakit, aku juga membawakan mu makanan, kita....".

Vian merasa tidak nyaman dengan situasi yang baru saja terjadi. Dia melihat jam tangannya dan tersadar bahwa dia sudah melupakan janji makan siangnya dengan Nara.

"Aku tidak memintamu melakukan hal demikian". Vian melepaskan tangan Gaby dari tangannya.

Baru saja Vian hendak membuka pintu keluar, pintu itu terdorong dan Arland lantas berjalan masuk, wajahnya terlihat sedikit panik.

"Bos, kita memiliki masalah," kata Arland dengan wajah yang khawatir. "Model yang kita pilih untuk syuting iklan mengalami kecelakaan dan tidak bisa melakukan syuting hari ini."

Vian terkejut dan langsung meminta Arland untuk mencari pengganti model tersebut. Tapi, Arland mengatakan bahwa tidak ada model lain yang tersedia dalam waktu singkat. Selain itu klien mereka meminta iklan itu segera di terbitkan.

Gaby, yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka mendengarkan percakapan mereka dan tiba-tiba memiliki ide.

"Aku bisa menjadi model pengganti," kata Gaby dengan percaya diri.

Vian memandang Gaby dengan terkejut. "Kamu?" tanyanya.

Gaby mengangguk. "Ya, aku. Vian, apa kamu lupa jika aku seorang model, aku yakin aku bisa melakukan syuting iklan tersebut."

Vian memandang Gaby dengan ragu, tapi juga memiliki harapan. Dia menatap Arland yang juga mengangguk tanda jika laki-laki itu setuju, demi perusahaan.

"Baiklah," kata Vian. "Kamu bisa menjadi model pengganti. Tapi, kamu harus siap untuk bekerja keras dan melakukan syuting iklan tersebut dengan baik."

Gaby tersenyum dan mengangguk. "Aku siap," katanya dengan percaya diri.

Sementara itu, di tempat lain Nara masih menunggu Vian di restoran. Dia sudah menunggu selama lebih dari tiga puluh menit dan belum juga mendapatkan kabar dari Vian. Dia mulai merasa khawatir dan tidak sabar.

"Apa yang terjadi dengan Mas Vian?" katanya kepada dirinya sendiri.

Dia tidak tahu bahwa suaminya itu sedang sibuk dengan masalah di kantor dan tidak sempat memberikannya kabar.

Dari kejauhan seseorang memperhatikan Nara yang duduk sendirian. Gadis itu terlihat celingukan memandang sekeliling cafe, melihat orang-orang yang sedang makan dan berbicara.

Tiba-tiba, Nara merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Dia memandang ke arah sumber perhatian tersebut dan terkejut melihat Asraf, seorang pria tampan nan menyebalkan, mendekat ke arahnya.

Laki-laki itu duduk di kursi kosong yang berada satu meja dengan Nara, tanpa permisi.

"Maaf, aku tidak mengganggu, kan?" kata Asraf dengan senyum yang tidak terlalu jujur.

Nara memandang Asraf dengan ragu. "Kursi itu untuk seseorang" katanya dengan nada yang datar.

"Kamu menunggu seseorang?" tanyanya.

Nara mengangguk. "Ya, aku menunggu suamiku."

"Suamimu? Kamu sudah menikah?", Asraf begitu terkejut mendengarnya, bahkan nada bicaranya terdengar lebih keras.

Nara mengangguk lagi. "Ya, aku sudah menikah."

Asraf memandang Nara dengan penasaran yang semakin besar. "Aku tidak tahu kamu sudah menikah," katanya.

"Aku rasa itu juga bukan hal yang seharusnya penting untuk kamu tahu".

Asraf menghela nafasnya, mencoba menetralkan kembali ekspresinya. "Ya, aku hanya penasaran, gadis cuek dan jutek seperti kamu siapa yang mau!", katanya dengan nada yang sedikit menggoda.

"Apa peduli mu?,".

"Baiklah-baiklah, sepertinya kedatanganku tidak terlalu kamu harapkan. Jadi aku akan pergi saat suami kamu tiba, bagaimana?".

Nara merasa sedikit ragu. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh laki-laki itu, tapi dia bisa merasakan bahwa Asraf tidak hanya ingin mengobrol biasa.

"Terserahlah".

Beberapa kali Nara mengirim pesan kepada Vian, namun pesannya hanya menunjukkan jam merah yang berarti nomer WhatsApp Vian sedang tidak aktif, begitu juga saat gadis itu mencoba menelponnya.

Asraf menghela nafasnya, ia segera memanggil seorang waiters dan memesan dua menu favorit di cafe tersebut. "Kami ingin memesan dua menu favorit, satu untuk saya dan satu untuk... teman saya ini," kata Asraf dengan senyum, menunjuk Nara.

"Tidak perlu, aku belum lapar, kalaupun lapar aku akan memesannya sendiri. Lagi pula aku sedang menunggu suamiku" kata Nara dengan cepat.

Asraf memandang Nara dengan senyum yang tidak terlalu jujur. "Tidak apa-apa, aku ingin membelikan kamu makanan. Kamu bisa memakannya setelah kamu merasa lapar sembari menunggu suamimu yang tidak segera datang,".

Nara sedikit tidak nyaman, merasa bahwa Asraf sedang mencoba untuk memanfaatkannya. Tapi, karena waiters sudah mengambil pesanan dan laki-laki itu sudah membayar, Nara tidak bisa menolak.

"Baiklah, tetapi ...", ucapan Nara terjeda, gadis itu sibuk mengambil dompet di tas ranselnya, mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkannya kepada Asraf.

"Simpan saja uangmu, kau bisa mentraktirku lain kali sebagai balasan", ucap Asraf sembari mendorong kembali uang yang di sodorkan oleh Nara. "Mari kita makan bersama,".

Nara merasa bahwa dia sedang terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan. Gadis itu menatap jam pada layar ponselnya dan jam istirahatnya sudah hampir habis, ia juga sangat lapar sehingga Nara tidak ingin terlalu jauh mendebatnya.

Di sela makan mereka, Asraf terus saja bercerita hal konyol yang membuat Nara tanpa sadar tertawa. Nara mulai mengetahui sisi humoris Asraf yang tidak dia sangka sebelumnya. Asraf ternyata memiliki kemampuan untuk membuat orang lain tertawa dan merasa nyaman.

Saat mereka mengobrol, Nara mulai merasa bahwa rasa sedih dan kecewanya karena Vian yang tidak datang tanpa kabar mulai memudar. Asraf berhasil membuatnya tertawa dan merasa lebih baik.

"Kamu tahu, aku tidak menyangka kamu bisa membuat aku tertawa seperti ini," kata Nara dengan senyum.

"Aku memiliki banyak talenta yang tidak diketahui orang lain," katanya dengan nada yang sedikit menggoda.

Nara kembali tertawa dan memandang Asraf dengan lebih baik. Dia mulai menyadari bahwa Asraf tidak hanya seorang CEO yang sukses, tapi juga seorang yang memiliki sisi humoris dan baik.

"Terima kasih, Asraf," kata Nara dengan tulus. "Kamu berhasil membuat aku merasa lebih baik."

"Aku senang bisa membantu," katanya. "Dan aku senang kita bisa menjadi teman."

"Teman? Sejak kapan kita menjadi teman?".

"Em, saat ini di detik ini juga".

Nara tersenyum, dia merasa bahwa dia telah menemukan seorang teman yang baik dan bisa diandalkan.

Saat mereka makan bersama, Nara tidak lupa mengabari Vian. Dia bahkan memotret makannya yang sebelumnya Asraf pesankan untuknya dan mengirimkannya kepada Vian melalui pesan WhatsApp.

[Aku sudah makan siang Mas, Mas Vian juga ya, jaga kesehatan mas dan jangan lupa makan siang] tulis Nara dalam pesan WhatsApp tersebut.

"Kamu benar-benar mencintai suamimu, ya?".

"Ya, aku sangat mencintainya,".

"Apa yang membuat kamu mencintainya?" tanyanya.

"Aku tidak tahu, tapi aku tahu bahwa aku sangat bahagia saat bersamanya,".

Asraf menganggukkan kepalanya, mengerti. "Aku senang kamu bahagia," katanya.

Setelah selesai makan, Asraf memandang Nara a dengan senyum. "Aku bisa mengantarkan kamu kembali ke tempat kerjamu, jika kamu mau".

"Tidak perlu, Asraf. Aku sudah cukup merepotkan kamu dengan mentraktir aku makan siang. Aku bisa kembali ke tempat kerja sendiri. Lagi pula tempat kerjaku hanya di seberang".

Asraf memaksakan senyumnya yang sedikit kecewa. "Baiklah, jika kamu tidak ingin aku mengantarkan kamu, aku juga tidak berani memaksa".

1
Muliati Sherina
ceritanya banyak alurnya belum terlalu ngerti tapi ceritanya cukup menantang dan bikin penasaran, mampir baca novel aku masih pemula biar semangat judulnya" jarum penunggu"
Nur Adam
lnjut
Antok Antok
Sepertinya aku yang pertama.... lanjut Thor
WiwikAgus
bagus /Good/
Antok Antok
kelomang lukis jadi inget mainan jaman kecil dulu
Antok Antok
Menarik
Antok Antok
Semakin menarik... semoga novel ini berlanjut sampai tamat. dan banyak p mbacanya yang suka.... lanjut torrrrr
Antok Antok
Awal yang bagus, lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!