Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Suasana ruang rapat pagi itu penuh ketegangan. Kursi di ujung meja, tempat biasanya Damian duduk dengan laptop terbuka dan ekspresi seriusnya, kosong.
Semua mata saling melirik, dan bisik-bisik mulai memenuhi ruangan.
"Pak Damian gak bisa ya? Gak ada kabar sama sekali?" tanya salah satu staff dengan nada cemas.
"Asli aneh banget! Biasanya beliau yang pertama dateng, bahkan sebelum cleaning service nyalain lampu ruangan," sahut yang lain sambil mengintip ke arah pintu, berharap Damian tiba-tiba muncul dan bilang ini semua cuma simulasi tes kesiagaan tim.
"Iya, kemarin juga dia gak pulang bareng, padahal biasanya selalu on schedule. Jam tujuh pulang rapi, disiplin juga. Kayak kalender kerja jalan kaki!" tambah seseorang lagi dengan ekspresi heran.
Manager HRD masuk ruangan, memeriksa daftar absen, lalu berkata pelan, "Selama saya kerja di sini, belum pernah sekalipun Damian izin mendadak. Bahkan waktu dia flu berat pun, dia tetap hadir bawa tisu segede gulungan karpet tapi tetap kerja."
"Jangan-jangan dia kecelakaan? Atau ada urusan keluarga?" bisik satu staff pelan.
"Atau dia capek jadi manusia dan memutuskan jadi awan," celetuk yang lain setengah bercanda, tapi tak satu pun tertawa.
Beberapa mulai mengecek ponsel masing-masing, ngirim chat, email, bahkan ngetik Damian di Instagram. Tapi nihil, tidak ada aktivitas online.
Rapat pun berjalan dengan atmosfer aneh bagai orkestra tanpa konduktor. Semua masih tak percaya, sosok seperfeksionis Damian bisa "hilang" begitu saja dari sistem yang ia bangun sendiri.
Dan sementara itu, jauh dari kantor, Damian alias Deon lagi selonjoran di sofa, nonton kartun pagi sambil ngunyah croissant isi truffle sambil ngomong ke remote, "Gue rasa kerjaan bisa nunggu, tapi roti seenak ini gak bisa."
Sementara di kantor geger dan satu divisi udah kayak lagi investigasi hilangnya presiden direksi, Deon lagi selonjoran di apartemen Damian, pake kaus oversized, celana pendek nyaman, dan satu sisi rambutnya masih kebentuk bantal.
Dia duduk di sofa, ngelap remah croissant dari dada sendiri sambil nonton acara masak di TV. Di tangan kirinya, gelas kopi yang udah refill tiga kali, di tangan kanan remote yang udah jadi tongkat kekuasaan.
"Damn ini hidup. Ini hidup yang bener. Kenapa gue baru tahu sekarang ya rasanya jadi sultan modern?"
Saat suara notifikasi kerja muncul dari tablet Damian di meja, Deon cuma melirik sebentar terus ngegeser pakai ujung kaki.
"Slide to ignore, baby. Gue lagi quality time sama roti dan kemalasan."
Aroma terapi masih nyala, AC dingin pas, dan speaker muterin lagu-lagu jazz lo-fi yang bikin dia makin tenggelam dalam euforia mager absolut.
Deon berdiri, ngelirik cermin besar di ruang tengah sambil senyum ke bayangan dirinya.
"Karyawan teladan tahun ini? Damian. Orang pertama yang skip rapat dan tetep keliatan kayak lagi cuti ke Santorini."
Dia ambil tablet, selfie sambil ngangkat gelas kopi, dan ngirim ke galeri pribadi Damian biar dramatis.
“Cheers to not showing up but still winning.”
Dan di saat seluruh kantor mulai panik mikir kemungkinan buruk, Deon justru bersorak di dalam hati.
"Kalo ini mimpi, tolong jangan bangunin. Tapi kalo ini kenyataan Damian, lo gak usah balik. Gue lanjutin hidup lo, serius."
Beberapa menit kemudian, Deon berdiri di balkon apartemen Damian yang menghadap langsung ke gemerlap kota.
Angin sore yang semilir ngebelai rambutnya, matahari mulai turun perlahan, bikin langit berubah gradasi jingga keemasan.
Di tangannya, segelas jus jeruk segar karena dia udah kelebihan kafein, dan di kepalanya? Penuh pikiran liar.
"Gila ya dari anak kantoran biasa, tiba-tiba gue jadi manajer elite. Hidup kayak drama Korea, tapi gak ada sad-sadnya. Ini bukan hidup ini, upgrade sistem operasi!"
Deon nyender di pembatas balkon, ngebayangin dirinya lagi di opening scene sinetron kaya raya.
“Namaku Deon. Hidupku berubah sejak gue ketiduran dan bangun sebagai Damian. Manager ganteng, sukses, tinggal di apartemen smart-tech, dan punya sabun yang aromanya lebih mahal dari uang makan gue seminggu.”
Dia ketawa sendiri, lalu ngelirik jam tangan Damian yang super canggih, jam tangan yang kalau bisa ngomong, mungkin udah nanya,
"Bro, lo gak kerja nih serius?"
Deon ngangkat bahu santai. "Tenang bos, sekali-sekali manajer butuh self love. Biar besok kerja dengan performa maksimal, gitu loh."
Pas dia balik masuk ke dalam apartemen, smart lighting otomatis ngikutin langkahnya lampu nyala halus, AC nyesuaiin suhu badannya, dan playlist mellow favorit Damian tiba-tiba muter dari speaker.
Deon ngelus dinding, kaya lagi ngobrol sama rumah sendiri. "Damian, lo tuh nyembunyiin surga selama ini. Dan sekarang gue yang nerusin misinya."
Dia selonjor lagi di sofa, buka laptop, bukan buat kerja. Tapi buat nyari.
"10 cara tampil percaya diri di rapat tanpa ngerti apapun yang lo omongin."
“Besok gue masuk, tapi hari ini sultan rebahan dulu.”
__
Sambil nge-scroll tips rapat sambil kosong, Deon rebahan di sofa empuk Damian, kaki naik ke senderan, bantal dua ditumpuk di belakang kepala, dan ada piring snack di perutnya. TV nyala, tapi volumenya pelan, cuma jadi backsound santai.
Di meja sebelahnya, lilin aroma terapi terus nyala, mengisi ruangan dengan wangi hutan setelah hujan whatever that means, tapi baunya mahal banget.
"Bro, ini bukan hari bolos ini hari healing kelas sultan," gumam Deon sambil ngetap layar tablet buat mindahin lagu ke chill-hop favoritnya.
Dia ngeraih remote, lalu manggil, “Alexa, turunin lampu jadi 60%. Bikin vibe-nya cozy dong.”
Lampu langsung nyala remang sempurna. Deon cengar-cengir sendiri.
“Damian, lo mungkin manager hebat, tapi gue spesialis nikmatin hidup.”
Tangannya nyomot satu potong dark chocolate dari nampan, lalu langsung ngelirik ke arah kulkas.
"Hmm, gue belum nyobain wine di kulkas Damian nih. Ada label Perancis segala. Wuh, bahaya ini."
Tapi sebelum bangkit, dia diem dulu, terus ngebatin.
"Ntar aja, bentar lagi. Nikmatin dulu detik ini."
Lalu, dia pejam mata, tangan nyilang di dada, dan senyum kecil mengembang di bibirnya.
“Hari ini, hidup menang banyak. Gaji Damian, apartemen Damian, reputasi Damian tapi soul-nya tetap Deon.”
Dan dunia boleh sibuk di luar sana, tapi di sudut paling elit lantai 23, satu pria lagi rebahan kayak raja.
"Kalo ini dosa, tolong jangan ditebus dulu gue masih pengen satu episode lagi hidup sultan kayak gini."
Belum sempat Deon lanjut tidur siang ala bangsawan, tiba-tiba tablet di meja kedip-kedip. Notifikasi rapat darurat muncul besar-besar di layar.
URGENT! Rapat Internal Proyek MERCURY lengkap dengan tulisan merah yang berkedip, seakan-akan itu alarm kiamat korporat.
Deon mendecak pelan, masih rebahan tapi satu mata udah melirik tajam ke layar.
“Yah elah, belum juga sejam hidup damai, udah dikirim misi penyelamatan dunia.”
Lalu muncul satu pesan di ponsel Damian. “Pak Damian, kami tunggu kehadiran Bapak dalam 5 menit. Rapat tidak bisa dimulai tanpa Anda.”
Deon langsung mendongak, panik sepersekian detik lalu?
Dia rebahan lagi.
"Lah, mereka yang butuh gue. Bukan gue yang butuh mereka."
Sambil ngemil keripik kentang truffle dari pantry Damian yang kayak toko swalayan pribadi, dia nyengir ke arah langit-langit.
"Gue suka jadi Damian tapi Damian versi liburan panjang."
Tiba-tiba ponselnya bunyi lagi. Kali ini dari nomor yang dinamain Pak Dirut.
"JANGAN DIANGGAP ENTENG".
Deon lirih. "Gila, even namanya udah intimidasi."
Tapi dia cuma balas pakai voice note, dengan nada kalem. “Maaf pak, saya sedang refleksi diri dan menyusun strategi jangka panjang. Butuh ruang tenang.”
Lalu dia lanjut rebahan, sambil ngangkat gelas mocktail-nya ke udara, seolah bersulang pada diri sendiri.
“Untuk hari ini, Deon menang. Dunia kerja? Tunda dulu.”
Baru aja Deon mau memejamkan mata lagi, tiba-tiba pintu apartemen berbunyi ding-dong! disusul ketukan cepat dan panik.
“Pak Damian! Pak Damian! Ini saya, Citra! Dari tim marketing!” suara perempuan muda terdengar tergopoh di luar pintu, napasnya kedengaran ngos-ngosan.
Deon langsung duduk tegak, wajahnya panik setengah hidup. "Lah, siapa tuh Citra? Apaan tim marketing? Gue bahkan gak hafal nama-nama di kantor ini!"
Dia buru-buru lari ke pintu, tapi gak langsung buka.
Ngintip dulu dari lubang kecil di pintu sambil berbisik,
“Oke, oke, fokus Deon. Lo itu Damian sekarang. Damian tuh perfeksionis, dingin, rapi. Jangan jadi lo yang aslinya meleyot kalau panik.”
Deon tarik napas, betulin rambut dikit padahal masih awut-awutan, terus buka pintu dengan ekspresi Damian mode on dingin, cuek, dan mata setajam harga saham naik turun.
Citra langsung bicara tanpa jeda, “Pak, mohon maaf banget ganggu, tapi presentasi proyek MERCURY kacau total! Tanpa Bapak, Pak Fadli ngomong muter-muter, investor udah mulai gelisah, terus-”
“Stop.” Deon angkat tangan pelan, gaya slow motion ala drama Korea.
“Kamu panik, tapi suara kamu terlalu cempreng buat suasana segenting ini.”
Citra langsung membeku.
Deon tersenyum tipis, kayak bos mafia yang baru bangun tidur. “Tunggu lima belas menit. Saya akan bersiap siap dulu ke kantor. Saya akan datang dengan gaya.”
Begitu pintu ditutup, Deon langsung lari muter apartemen, “YA AMPUN APAAN SIH PROYEK MERCURY ITU?!?!”
Sambil ngerogoh laci, buka lemari, nyari dasi, parfum, dan Google semua dilakukan dengan panik tapi tetap gaya.
"Sepenting apa sih lo Damian sampe lo di tunggu banget kayak gitu? Padahal lo cuma seorang manager." gumannya.