Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku suaminya!
Reyhan berjalan dengan langkah tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit. Detak jantungnya berpacu begitu cepat, sementara pikirannya penuh dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa henti.
Mira hanya melupakan dirinya.
Kenapa?
Kenapa hanya dirinya?
Tangannya mengepal, matanya nanar menatap lurus ke depan, dan tanpa pikir panjang, ia membuka pintu ruang dokter dengan kasar.
Brak!
Dokter yang tadi memeriksa Mira terkejut, tetapi segera menenangkan diri saat melihat wajah pria yang berdiri di ambang pintu.
“Pak Reyhan?”
“Saya ingin penjelasan.” Reyhan langsung maju, suaranya penuh ketegangan.
“Silakan duduk dulu.” Dokter menghela napas dan menutup berkas yang ada di mejanya. Ia tahu ini akan terjadi.
“Saya tidak ingin duduk. Jawab pertanyaan saya,” suara Reyhan bergetar, matanya merah penuh emosi. “Kenapa Mira hanya melupakan saya? Kenapa hanya saya?”
Dokter menghela napas, menatap Reyhan dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Pak Reyhan, saya mengerti kebingungan Anda. Secara medis, kehilangan ingatan bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Beberapa orang melupakan segalanya, sementara yang lain hanya melupakan kejadian atau orang tertentu yang berhubungan dengan trauma yang mereka alami.”
“Trauma? Apa maksudmu?” Reyhan mendengus sinis.
“Pasien mungkin mengalami trauma psikologis yang sangat kuat, yang secara tidak sadar membuat otaknya menekan ingatan tertentu untuk melindungi dirinya sendiri, dalam kasus Mira, tampaknya ingatan tentang Anda adalah bagian dari trauma tersebut.” dokter menjelaskan dengan hati-hati.
Reyhan merasa seperti baru saja ditinju tepat di dadanya.
Mira melupakannya bukan karena cedera biasa.
Tapi karena dirinya sendiri.
Karena ingatan tentang dirinya adalah sesuatu yang begitu menyakitkan bagi Mira, sampai-sampai otaknya menolaknya.
“Jadi… Anda ingin bilang, aku adalah luka terbesarnya?” Reyhan tertawa kecil, getir, nyaris seperti orang gila.
Dokter diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Dari hasil pemeriksaan dan riwayat yang kami gali, kemungkinan besar begitu.”
Dada Reyhan terasa seperti diremas.
Sakit.
Sakit yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Selama ini, ia berpikir bahwa membenci Mira adalah hal paling menyakitkan yang pernah ia rasakan. Tapi ternyata, dibenci bukanlah apa-apa dibandingkan dengan ini—
Dilupakan.
Ia bukan sekadar kehilangan Mira.
Ia bahkan tidak lagi eksis dalam dunia Mira.
Reyhan memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Tapi semakin ia berusaha tenang, semakin nyeri itu terasa di dadanya.
“Apa ada kemungkinan ingatannya kembali?” tanyanya dengan suara parau.
Dokter menatapnya, ragu-ragu sejenak sebelum menjawab, “Sulit untuk memastikan. Beberapa kasus amnesia akibat trauma bisa pulih dengan sendirinya seiring waktu, tetapi ada juga yang permanen. Itu semua tergantung pada kondisi psikologis pasien.”
“Jadi… saya hanya harus menunggu?”
“Tidak,” dokter menatapnya dalam-dalam. “Anda harus membuatnya merasa aman terlebih dahulu. Jika memang kehadiran Anda adalah pemicu traumanya, maka memaksa dia mengingat justru akan membuatnya semakin menjauh.”
Reyhan terdiam.
Kepalanya terasa penuh. Hatinya terasa hancur.
Ia ingin Mira kembali.
Tapi Mira…
Bahkan tidak ingin mengingatnya.
Tanpa sadar, lututnya melemah. Ia jatuh duduk di kursi yang ada di belakangnya, menundukkan kepala dan mencengkeram rambutnya dengan frustrasi.
Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia adalah korban. Ia percaya bahwa Mira-lah yang menghancurkan hidupnya. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia sadar... Mira adalah korban sebenarnya.
Dan ia adalah penyebabnya.
Reyhan menatap dokter di depannya dengan mata merah penuh emosi. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan amarah yang membara dalam dadanya.
“Apa yang harus aku lakukan?” suaranya terdengar penuh tekanan. “Aku suaminya! Aku tidak bisa terima dia melupakanku begitu saja!”
Dokter tetap duduk dengan tenang, meski jelas-jelas bisa merasakan emosi Reyhan yang sedang memuncak. Ia menatap pria itu dengan penuh empati, mencoba memilih kata-kata yang tepat.
“Pak Reyhan, saya mengerti ini sulit bagi Anda. Tapi Anda harus memahami satu hal, amnesia karena trauma bukan sesuatu yang bisa dipaksakan untuk pulih dalam waktu singkat.”
“Aku tidak peduli berapa lama!” bentak Reyhan, suaranya pecah. “Aku hanya ingin tahu bagaimana caranya membuat dia mengingatku! Aku akan melakukan apa pun!”
Dokter menghela napas, lalu menjawab dengan nada sabar, “Kalau Anda ingin Mira mengingat Anda, maka yang harus Anda lakukan adalah tidak menekannya. Jika Anda memaksa, ingatan yang terkunci itu justru bisa semakin sulit kembali.”
Reyhan memijit pelipisnya. Ia merasa frustrasi.
Bagaimana mungkin ia diminta untuk tidak memaksa, sementara ia adalah suaminya? Bagaimana mungkin ia harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat istrinya sendiri bahkan tidak mengenalinya?
“Apa tidak ada cara lain?” suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan putus asa.
Dokter menatapnya dengan penuh simpati. “Yang bisa Anda lakukan adalah membantunya merasa aman. Dekatilah dia dengan cara yang tidak mengintimidasi. Bangun kembali kepercayaan yang mungkin sudah hilang. Jika dia merasa nyaman, mungkin perlahan-lahan ingatannya bisa kembali.”
Reyhan tertawa sinis, tapi ada kepedihan dalam nada suaranya.
“Jadi Anda ingin bilang… aku harus memulai semuanya dari nol?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab dokter jujur.
Reyhan terdiam lama.
Matanya kosong, pikirannya berputar.
Ia dan Mira sudah melewati begitu banyak hal.
Dari awal, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang sempurna. Ada kebencian, ada dendam, ada pertengkaran yang tak berkesudahan. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang selalu tersisa, cinta.
Namun kini, bahkan itu pun sudah hilang.
Tidak ada yang tersisa.
Mira bahkan tidak mengingat bahwa ia adalah suaminya.
Dan kini, ia harus memulai semuanya lagi dari awal?
Seolah perasaan sakit hati yang selama ini mereka alami tidak pernah ada? Seolah semua pertengkaran, semua air mata, semua cinta yang terselip di antara kebencian itu tak pernah terjadi?
“Aku tidak bisa menerima ini…” gumamnya pelan, suaranya nyaris bergetar.
Dokter menatapnya penuh iba.
“Tapi kalau Anda benar-benar mencintainya,” ucapnya, “maka Anda akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya kembali, bukan?”
Reyhan menelan ludah, dadanya terasa sesak.
Apa ia benar-benar sanggup?
Demi mendapatkan Mira kembali…
Apa ia harus menjadi pria yang berbeda?
Mira duduk di tepi ranjang, menatap jari-jarinya yang saling bertaut. Hendi duduk di sampingnya, memperhatikan setiap ekspresi wajahnya dengan cermat. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.
“Kamu masih merasa pusing?” tanya Hendi lembut, mencoba membangun suasana yang nyaman.
Mira mengangguk pelan. “Sedikit. Tapi aku merasa lebih baik.”
Hendi tersenyum tipis, lalu mengambil album foto yang ia bawa sejak tadi.
“Aku membawa ini, mungkin bisa membantumu mengingat sesuatu.” katanya, membuka halaman pertama.
Mata Mira menatap lembaran foto-foto di dalamnya. Ada dirinya di berbagai momen, saat wisuda, saat liburan, saat berkumpul bersama keluarga. Hendi pun ada di banyak foto itu, tersenyum di sampingnya.
Mira mengernyit, mencoba menghubungkan potongan-potongan kenangan yang masih kabur di benaknya.
"Aku dan kamu... memang sudah lama kenal, ya?" tanya Mira ragu, mencoba mencari pegangan di tengah kebingungan ini. Hendi terkekeh kecil, ekspresinya tampak ringan seperti biasa.
"Tentu saja. Kita sahabat sejak lama," jawabnya tanpa ragu sedikit pun.
Mira tersenyum samar, matanya tertuju pada foto-foto yang tergeletak di meja. Ada sesuatu yang hangat di dada saat melihat kenangan itu.
Tapi... kenapa terasa aneh? Semakin ia memandangnya, semakin ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Sebuah lubang di dalam hatiku yang bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
"Kenapa rasanya... ada bagian yang kosong?" gumam Mira nyaris tak terdengar, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk Hendi.
Mira melihat sekilas bagaimana tubuh Hendi menegang. Meski hanya sesaat, ia bisa menangkapnya sebelum dia buru-buru menenangkan dirinya lagi. Dia menarik napas dan tersenyum tipis.
"Kamu masih dalam tahap pemulihan, Mira. Itu wajar. Jangan terlalu memaksakan diri," ujarnya dengan suara lembut yang berusaha menenangkan.
Namun, kata-katanya tak cukup memuaskan kerisauan Mira. Ia menggigit bibir, frustrasi dengan kegagalan otak yang sepertinya tidak mau bekerja sama.
"Tapi... kenapa aku merasa ada sesuatu yang penting? Sesuatu yang... aku seharusnya ingat, tapi entah kenapa aku tidak bisa," kata Mira dengan suara bergetar.
Iatahu terdengar lemah, tetapi rasa kehilangan yang aneh ini terlalu mendesak untuk diabaikan.
Hendi tak segera menjawab. Dia hanya memandang Mira dengan wajah yang sulit di artikan, lalu perlahan menutup album foto di hadapan mereka. Gerakannya begitu tenang, namun ada tekanan yang tak terlihat dalam tindakannya.
"Mira," ucapnya akhirnya dengan suara yang lebih berat dari sebelumnya, "tidak semua hal harus kamu ingat sekarang. Kadang... ada alasan kenapa beberapa ingatan tetap menghilang."
Alisnya bertaut mendengar pernyataannya.
"Apa maksudmu?" tanya Mira, memandangnya penuh kebingungan.
Apa yang dia sembunyikan? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalanya, tetapi tatapannya hanya tetap pada dirinya, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan... tetapi memilih untuk diam.
Hendi menarik napas dalam. Ia harus hati-hati. Jika Mira mulai mengingat tentang Reyhan… semuanya bisa berubah.
“Yang penting sekarang adalah kamu fokus pada pemulihanmu dulu,” lanjutnya. “Jangan terlalu memikirkan sesuatu yang justru bisa membuatmu stres.”
Mira menunduk, merasa janggal.
Hendi benar… Tapi kenapa hatinya terasa kosong?
Seakan ada seseorang… seseorang yang seharusnya ia ingat, tapi wajahnya tak kunjung muncul di kepalanya.
Tetapi disaat yang bersamaan Reyhan masuk ke ruangan itu.
"Mira..."
"Siapa dia?" Tanya mira dingin.
"Aku Reyhan, suamimu."
Bersambung...