"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yakin?
Acha sedang menunggu supirnya untuk menjemputnya pulang. Itu sebabnya ia sedang duduk di lobi bersama Serra dan Maya. Serra biasanya membawa motornya sendiri dan Maya menggunakan angkutan umum, tetapi mereka sengaja belum pulang untuk menunggu Acha dijemput terlebih dahulu.
"Eh, gue belum cerita ini ke kalian." Acha menarik lalu menghembuskan napasnya berulang kali. Ia merasa gugup. "GUE BAKAL KETEMU SAMA BAGAS!"
Serra dan Maya saling pandang. Tidak mengerti apa yang sahabatnya itu bahas. Tapi yang pasti, mereka tahu Acha akan membahas laki-laki, apalagi yang menurutnya tampan. Hanya saja, entah kenapa sampai sekarang gadis itu belum kunjung pacaran. Bahkan, pacaran saja tidak pernah.
"Sorry, lupa jelasin," kata Acha terkekeh. "Bagas itu sahabatnya Al. Inget Al, kan?"
Maya mulai mengangguk pelan. "Yang waktu itu dari TikTok, kan? Kalian ... mau ketemu?"
Acha mengangguk cepat. Lalu, ia menunjukkan sederet pesannya dengan Bagas kepada dua temannya itu. "Iya! Menurut kalian gimana?"
"Yakin lo? Inget, dia itu orang asing. Kalian baru kenal lewat media sosial," papar Serra. "Gue tanya, kalian kenal sejak kapan?"
"Baru kemarin," jawab Acha sambil memelankan suaranya.
Serra langsung melotot. Ia mencubit lengan Acha pelan. "GOBLOK!"
Acha menghela napas sambil meringis kesakitan akibat cubitan Serra. Ia tahu seharusnya ia tidak boleh pergi bersama orang asing yang baru berkenalan. Tetapi ia ada ide bagus untuk mengatasinya. "Tapi, gue ada ide! Gimana kalau kalian ikutan ketemu sama dia juga? Cuman kalian diem-diem ngikutin di belakang aja."
Serra menggeleng tanda tidak setuju. Meski jumlah mereka ada tiga, tetap saja bahaya jika bertemu dengan orang asing—apalagi seorang laki-laki. Bisa saja Bagas membawa teman laki-lakinya juga lalu membuat rencana jahat. Toh, di dunia ini, kita tidak bisa percaya pada orang lain.
Maya ikut menggeleng. Matanya memperlihatkan rasa khawatir. "Terlalu bahaya, Cha. Mending kamu tolak aja deh. Kalau mau ketemu, tunggu bener-bener deket."
Tetapi Acha keras kepala. Menurutnya, idenya sudah bagus. Lagi pula, Serra lumayan jago bela diri. Barangkali ada sesuatu yang tidak terduga, Acha bisa meminta pertolongan dari Serra. "Ayolah, Guys! Gue kan perginya sama kalian! Coba gue tanya, kalian mau lihat cogan nggak?!"
"MAU!"
"NGGAK!"
Jawaban Maya dan Serra saling bertolak belakang. Mereka pun saling menoleh karena tidak menyangka jawaban mereka berbeda. Padahal tadinya satu pemikiran ketika Acha hendak menemui pria asing. Tentu saja Maya menjawab mau, gadis itu kurang lebih sama seperti Acha—sama-sama menyukai cogan alias cowok ganteng. Hanya saja Acha lebih terobsesi dibanding dirinya.
"Kalau gitu, Maya wajib ikut gue," sahut Acha agak memaksa. "Serra juga harus ikut, tapi berdiri di belakang."
Maya melotot. "Kamu kok nggak ada takut-takutnya, sih?!"
Acha mengangkat bahunya tak acuh. Lalu, tangannya menunjuk Serra yang mulai memasang ekspresi tidak peduli. "Kan, ada Serra!"
"Lah, kok gue?!" protes Serra. Ia merasa tidak paham dengan jalan pemikiran Acha.
Lagi-lagi, Acha mengangkat bahunya tak acuh. "Ya, pokoknya ada elo!" Kebetulan supirnya sudah datang, sehingga gadis itu cepat-cepat meraih tasnya lalu berpamitan. Kemudian, ia berjalan memasuki mobil dan meninggalkan Serra dan Maya yang masih termenung.
"Kamu ikut Acha pergi, kan?" tanya Maya.
Serra mendengus kesal. "Memangnya ada opsi tolak?"
Maya tersenyum geli. Acha tidak menerima penolakan. Ya, semoga saja tidak ada bahaya yang menghampiri mereka.
***
Hari ini, Al merasa terbantu dengan kedatangan Bagas di rumahnya. Kebetulan, ia sedang menyiapkan dan membungkus kotak-kotak berisi kue kering yang akan dijual. Karena angka pesanan sedang tinggi, maka Al meminta Bagas ikut berpartisipasi dalam pekerjaannya ini.
"Ye, lo itu temen apa bukan, sih? Gue dateng bukannya disambut malah dikasih kerjaan," sungut Bagas. Meski begitu, ia tetap senantiasa membantu sahabatnya.
Al terkekeh pelan. "Entar gue kasih kue buat bawa pulang, deh!"
Bagas tidak protes lagi. Kue buatan ibu Al memang sangat enak. Tidak mungkin ia menolak camilan seenak itu. Lalu, laki-laki yang memiliki lesung pipi itu teringat sesuatu yang menjadi salah satu alasan dirinya datang ke rumah Al.
"Gue mau ketemuan sama Khansa."
Al tidak merespons. Ia masih sibuk memasang isolasi pada kotak kue. Bagas sudah menduga bahwa sahabatnya itu tidak akan peduli atau mungkin ... pura-pura tidak peduli?
"Lo mau ikut nggak?" tawar Bagas. "Kayaknya dia suka sama lo tuh."
"Nggak," tolak Al cepat.
Bagas tidak akan menawarnya dua kali. Ia cukup senang Al menolaknya. Dengan begitu, ia bisa leluasa mendekati Acha tanpa perlu memikirkan saingan. Yang ia perlu pikirkan adalah cara agar Acha meliriknya.
Tidak lama kemudian, seorang ibu paruh baya dengan tubuh yang masih proporsional berjalan dari arah dapur menuju ruang makan. Ia terkejut melihat ada tamu yang datang ke rumahnya.
"Eh, ada Bagas? Ya ampun! Maaf ya, kamu harus bantuin bungkus kue," ujar Marlina sembari menarik kotak kue dari tangan Bagas. "Al juga nggak bilang Bunda. Kalian masuk kamar aja, ya."
Bagas menyengir. "Santai aja, Bun. Maaf juga nggak sapa Bunda dulu. Tadi waktu datang, tiba-tiba ditodong suruh bantu bungkus kue."
Marlina melirik tajam ke arah Al. Yang dilirik justru tidak peduli dan sibuk membungkus kue yang sebentar lagi akan selesai.
"Oh iya, Bun, ada yang suka sama Al nih," ucap Bagas tiba-tiba untuk memecah keheningan. "Tapi nggak tahu Al-nya suka balik atau nggak."
Al langsung menatap Bagas dengan kesal. Memang selama ini banyak perempuan mendekatinya tetapi ia sengaja tidak menceritakannya pada Marlina. Toh, tidak ada untungnya karena perempuan itu tidak menarik di mata Al.
Marlina langsung menatap Al sambil tersenyum geli. "Emangnya Al udah move on?"
Sudah bukan rahasia lagi bagi Marlina dan Bagas perihal Al yang pernah berpacaran sewaktu SMP selama tiga tahun. Tetapi akhirnya putus karena suatu hal yang membuat putra Marlina itu berujung kegalauan selama beberapa bulan. Marlina sengaja tidak membicarakan hal itu lagi, tetapi Bagas malah memancingnya.
"YA BELUM DONG! HAHAHA." Bagas tertawa terbahak-bahak.
"Udah! Udah dari lama! Lo sok tahu!" jawab Al judes. Ia menyingkirkan kotak kue yang sudah dibungkus rapi itu dari hadapannya lalu berjalan masuk ke kamar. Telinganya panas mendengar Bagas yang meledeknya.
"Ngambek tuh, Bun," ledek Bagas.
Marlina terkikik geli. Lalu, matanya fokus menatap kotak-kotak kue yang sudah terbungkus rapi. "Bagus deh kalau udah."
Bagas paham karakter Marlina yang sangat menyayangi Al. Waktu Al sedang galau, laki-laki itu mogok makan dan membuat Marlina khawatir setengah mati. "Bunda masih khawatir?"
"Bunda cuman nggak mau anak Bunda dekat sama perempuan nggak benar," jelas Marlina. Kemudian, matanya mengerjap dan tersadar sesuatu. "Eh, maaf, Bunda nggak bermaksud menge-cap dia sebagai anak nggak benar."
"Iya, Bagas paham kok, Bun." Bagas tersenyum tipis.